Di tempat yang berbeda. Gio baru saja membuka mata. Seulas senyuman tersirat di bibirnya. "Ah ... akhirnya sebentar lagi aku akan memiliki Nindya," gumamnya.Gio beranjak, ia kemudian mengambil handuk lalu bergegas menuju kamar mand, membersihkan dirinya perlahan, sesekali ia bersiul. Sudah sejak lama hatinya tak sebahagia ini, bahkan saat bersama Raya dulu, tak sekali pun ia bisa melemparkan senyuman semanis ini.Pria tampan itu bergegas menuju kamar di mana Nindya tidur. "Inilah saatnya aku benar-benar memilikimu," ucapnya lirih setelah sampai di depan pintu.Gio menghela napas pelan. Ia lalu mengetuk pintu, tapi sayang, tak ada seorang pun yang merespon dari dalam sana. Gio mulai curiga, lalu segera membuka pintu, ia panik saat menyadari Nindya sudah tak ada lagi di sana.Gio berbekas meraih ponselnya lalu mencoba menghubungi nomor Nindya, tapi yang memberikan jawaban hanyalah operator telepon."Sial! Kenapa aku bisa kecolongan!" umpatnya penuh emosi.Gio bergegas menghubungi Raya.
Gio dan Raya kembali bertemu, mereka mulai memikirkan cara untuk memisahkan Andy dan Nindya. Keduanya masih tak mau mengalah, keduanya masih tak mau menerima keadaan dan takdir yang sudah seharusnya. Rasa cinta yang terlalu dalam membuat Gio dan Raya bersikeras untuk mencari segala cara agar bisa meraih keinginan mereka.Tiba-tiba Gio memiliki ide yang brilliant. Ia merasa ide cemerlangnya akan berhasil dan membuatnya bisa bersatu dengan Nindya. Gio membisikkan ide yang datang tiba-tiba itu pada Raya. Tentu saja Raya sangat menyetujui itu. Raya merasa itulah cara terbaik dan yakin akan berhasil."Kita mulai dari mana?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?""Astaga! Gio! Aku serius, kenapa malah ngajak bercanda sih?""Hahahha ... enggak. Aku hanya ngerasa lega akhirnya menemukan ide yang luar biasa ini.""Jadi keputusannya gimana?""Kita harus menemui seseorang. Tidak mungkin kan, tanpa bukti kamu tiba-tiba ngomong ke orang tuamu? Mereka tidak akan percaya.""Jadi?""Ikut aku!"Gio dan Ra
Nindya sudah diperbolehkan pulang setelah beberapa lama berada di rumah sakit. Tak ada masalah yang berarti pada kesehatannya. Dokter hanya menyarankan agar Nindya tidak terlalu berusaha keras mengingat semua hal yang ia lupakan. Dengan dukungan beberapa obat, diharapkan ingatan Nindya bisa kembali pulih.Andy mengantarkan Nindya masuk ke dalam kamar, berharap wanita yang begitu sangat ia cintai bisa bertahan istirahat lebih banyak lagi. "Tidurlah, Sayang. Nanti kalau butuh apa-apa panggil aku ya?""Iya, Sayang. Oh ya, boleh nggak aku minta supaya Alya tinggal di sini saja? Tidak usah khawatir tentang aku, aku juga ingin agar lebih cepat mengingat semua tentang kita juga Alya. Mungkin dengan seringnya aku berinteraksi dengan Alya, aku akan mengingat banyak hal yang sudah terlupakan lebih cepat.""Kalau memang itu keinginan kamu, tidak masalah. Aku akan menjemput Alya besok. Kamu beristirahatlah, ini sudah malam.""Terima kasih, Sayang. Kamu mau ke mana? Kamu tidak lelah? istirahat saj
"Mama sehat? Mama sadar dengan apa yang barusan mama katakan?""Please, Nin. Tolong lah.""Ma ... jangan mentang-mentang aku anak tiri Mama, Mama malah seenaknya mengajukan permintaan yang menurutku tidak masuk akal. Mama lupa? Aku sedang sakit juga. Aku sedang butuh perhatian dan dukungan untuk memulihkan kembali ingatanku. Mama lupa?""Raya lebih butuh Andy daripada kamu. Raya bisa dipanggil Tuhan kapan aja. Salahkah mama mengabulkan permintaannya? Sementara kamu, kamu punya waktu untuk sembuh dan kamu akan memiliki Andy sepenuhnya. Nin, mama tidak meminta Andy menikahi Raya, tidak sama sekali! Tapi, berikan kesempatan dia bahagia dengan lebih dekat dengan Andy. Please ...."Nindya terdiam. Meski ia melupakan perasaannya pada Andy, tapi itu tak membuat dia bisa melepas Andy begitu saja. Ini benar-benar tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia harus merelakan Andy membagi kasih sayang dengan Raya. Tiba-tiba Kiara berlutut, ia memohon pada Nindya seraya memegang kedua kaki Nindy
"Apa yang sebenarnya terjadi, An? Ada apa ini?""Tadi siang, Raya mengancam bunuh diri. Ia hampir sja menoreh lengannya dengan pisau kecil. Aku replek, terpaksa mengatakan bersedia mendampinginya.""Astaga! Kenapa kamu seceroboh itu? Sekarang bagaimana? Nindya juga sangat membutuhkan kamu! Apalagi Alya, coba pikirkan, apa yang ada dibenaknya melihat ulah papanya?""Pa ... Kenapa yang ada di pikiran Papa hanya Nindya? Aku tahu dia putrimu. Salahkah aku jik aku pun ingin membahagiakan putriku? Putriku yang entah hidupnya berapa lama lagi. Tolong berilah waktu untuknya mengecap kebahagiaan walau tak selamanya. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya sebentar saja." Kiara mulai membela putrinya."Tidak seperti ini juga caranya, Ma. Papa tidak setuju. Ini cara yang salah. Sebaiknya Raya kita bawa ke rumah sakit terlebih dahulu.""Apakah Papa menuduh Raya berbohong? Bukankan sudah jelas surat keterangan dari dokter yang tempo hari ditunjukkan Raya pada kita?""Apa salahnya kita memeriksak
Rendy, Kiara, Andy dan juga Nindya sepakat untuk mengajak Raya ke rumah sakit memeriksakan kondisinya. Semua sudah dibicarakan semalam tanpa sepengetahuan gadis itu. Ada rasa sakit di hati Kiara, sebagai sang ibu yang sudah membesarkannya ia merasa terluka. Ia merasa perlakuan Rendy terhadap putrinya sungguh tidak adil. Meski sikap dan sifat Raya yang selama ini sedikit meresahkan, Kiara tetap menyayanginya."Raya, bersiaplah, Nak. Mandi dan segera bergabung ke meja makan." Kiara menghampiri putrinya yang masih berbaring di balik selimut. Padahal, hari sudah sangat pagi. Jam di dinding kamar pun sudah menunjuk angka 08.45 pagi. Tak bisa dipungkiri, gadis itu memang jauh berbeda dengan Nindya.“Hmmm … ini masih pagi, Ma. Memangnya kita mau ke mana?” tanya Raya setelah membuka mata. Beberapa kali gadis itu menggeliat lalu menguap.Kiara menggenggam tangan putri kesayangannya. Ada perasaan menyesal yang terbesit tiba-tiba. Kiara menyesal pernah menyakiti hati putrinya itu. “Kita mau jala
"Aku iri! Padahal jelas-jelas dia yang dulu merebut Andy dariku, kenapa dia yang harus bahagia? Sementara aku? Hidupku berantakan, pernikahanku gagal, aku diusir dan Gio memaksaku untuk kembali ke tanah air."Raya menghela napas pelan, bulir-bulir bening mulai memenuhi sudut matanya. Ia hampir saja menangis. Namun, sebisa mungkin ditahannya.Pemandangan yang tampak di depan mata membuatnya terluka. Hatinya teriris perih melihat sosok laki-laki yang dulu pernah mengisi hatinya tertawa bahagia bersama dengan seorang wanita cantik yang berstatus sebagai istrinya. Candaan gadis kecil yang berusia kurang lebih 5 tahun juga seakan-akan menambah kelengkapan kebahagiaan keluarga kecil itu."Papa berangkat dulu ya, Alya? Nindya ... Sayang, aku pamit dulu." Andy Melambaikan tangannya kepada Nindya juga Alya, tentu saja setelah ia berhasil meluncurkan kecupan hangat di kening keduanya."Jangan lupa nanti belikan es krim ya, Pa?" pinta Alya sedikit berteriak."Siap, Bos Kecil!" Andy menaikkan tan
Nindya baru saja menikmati waktunya bersama dengan Wina dan Bella. Setelah selesai melahap makan siang, ia berinisiatif untuk mampir ke sekolah di mana Andy mengajar. "Ahh ... sepertinya sekali-sekali, tidak apa-apa jika aku membawakan makan siang untuk Andy," gumam Nindya dalam hati. "Nak, kita ke sekolah papa dulu ya?" Nindya berjongkok, menyetarakan dirinya dengan Alya lalu menatap mata gadis kecil itu."Kita bawakan papa makan siang. Ok?" sambungnya."Ok, Ma." Alya mengangguk.Nindya membantu gadis kecilnya masuk ke dalam mobil, lalu diriya bergegas melangkah ke kursi kemudi dan segera menelusuri jalanan yang padat menuju sekolah Andy. Nindya sudah membeli makan siang untuk suami tersayangnya tadi di Cafe Lanila. Kebetulan Cafe Lanila saat ini sudah memiliki menu yang lengkap. Selain menyediakan beberapa camilan, beraneka ragam minuman, mereka juga menyediakan rice bowl istimewa yang bisa langsung dibawa pulang dengan harga yang tidak menguras kantong.Nindya memarkirkan mobiln