Share

Bab 8

Luna baru saja pulang dari kuliah. Gadis itu belum sempat makan siang. Ia memutuskan untuk pergi ke cafe dan menikmati hidangan ala kadarnya. Namun, baru saja memasuki cafe, ia dikejutkan oleh keberadaan Nindya di sana yang tengah duduk bersama dengan seorang pria, tapi bukan suaminya, Andy.

Ada yang aneh di pandangan Luna. Gadis itu melihat seperti ada yang tidak wajar dengan Nindya juga pria yang duduk di sisi kanannya. Luna berniat menegur dan mencoba bertanya, "Kak Nindya? Kenapa Kakak ada di sini? Siapa pria ini? Kenapa kalian terlihat begitu romantis? Suami kakak mana?"

"Kamu? Kamu gadis yang sempat datang ke rumah sakit saat aku sakit itu kan?"

"Iya, Kak! Aku Luna, aku yang sempat datang untuk menjenguk Kakak. Aku juga yang sempat menolong Kakak dari kecelakaan itu, juga putri Kakak." Luna sengaja menjelaskan panjang lebar siapa dirinya, berharap Nindya sadar.

"Setiap kita bertemu kamu selalu mengulang perkataan itu. Maksud kamu apa?"

"Tidak ada maksud buruk, Kak. Aku hanya ingin mengingatkan Kakak saja. Kakak sudah punya suami juga seorang putri kecil yang begitu cantik dan manis."

"Maaf ya, Luna. Bukannya aku tidak mau mengakui itu semua. Entah kenapa perasaanku sama sekali tidak bisa percaya dengan hal itu. Kalau pun iya aku mengalami amnesia, masa sih sedikit pun aku tidak mengingatnya."

"Maaf ya, tolong jangan ganggu kami. Aku merasa kehadiran kamu di sini sudah mengacaukan acara aku dan Nindya." Gio yang merasa Luna ingin mengacaukan acaranya mulai mencari cara untuk mengusir Luna secara halus.

Luna tak membantah. Gadis itu tahu bagaimana yang dialami oleh Nindya. Ia mengalah, memutuskan mundur dan bergegas pergi. Menunda niatnya untuk makan, meski perutnya telah lapar. Ia ingat, ia sempat meminta alamat Nindya dulu pada orang tua Nindya.

Luna bergegas melajukan kendaraannya. Ia merasa begitu sangat penting untuk menyampaikan keberadaan Nindya saat ini kepada keluarganya.

Hari sudah sore, membuat semua penghuni rumah sudah pulang dari beraktivitas. Semua tengah berkumpul di ruang keluarga, membicarakan kepergian Nindya yang sampai saat ini belum diketahui.

Ketukan pintu rumah terdengar. Semua orang hampir secara bersamaan menoleh, kemudian Andy berkata, "Mungkin itu Nindya yang sudah pulang. Aku buka pintu dulu."

"Sepertinya bukan. Kalau memang itunya Nindya, dia tidak akan sibuk mengetuk pintu," kata Rendy, Papa Nindya.

"Mudah-mudahan tebakan Andy benar, Pa," jawab Kiara.

Andy bergegas menuju pintu rumah utama. Membuka dengan segera. "Luna? Ternyata kamu, aku kira Nindya. Kok tumben?"

"Ada yang ingin aku sampaikan, Kak. Penting!"

"Oh ... ayo masuk! Kita bicara di dalam. Kebetulan ada papa dan mama juga."

Andy kemudian mengajak Luna masuk, turut bergabung bersama dengan kedua orang tuanya Nindya. Luna pun mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Nindya yang tengah bersama dengan seorang pria.

"Apa? Nindya sama seorang pria? Kamu kenal dia nggak?"

"Aku nggak kenal, Kak. Aku nggak tahu itu siapa."

"Kita ke sana sekarang! Siapa tahu dia masih di sana! Kita nggak boleh terlambat!

Andy akhirnya memutuskan pergi bersama dengan Luna. Mereka bergegas ke cafe yang dituju, di mana tadi ada Nindya di sana bersama dengan Gio. Dengan tergesa-gesa Andy memarkirkan kendaraannya di parkiran cafe lalu bergegas mengajak Luna masuk ke dalam untuk memastikan keberadaan Nindya.

'Tadi ada di sana, Kak. Sepertinya mereka sudah pergi."

"Kamu ingat nggak, ciri-ciri cowok yang diajak sama Nindya?"

Luna menyebutkan ciri-ciri Gio, tapi sayang Andy sama sekali tak bisa menebak siapa pria yang disebutkan oleh Luna. Keduanya akhirnya kembali pulang dan kembali mermebugkan jalan tengah yang akan diambil untuk menemukan Nindya.

***

Di tempat yang berbeda. Hari ini Alya bersama dengan kedua orang tua Andy. Sejak keadaan Nindya yang kurang baik akibat kecelakaan, Alya lebih sering diajak oleh kedua orang tua Andy. Sementara Andy dan kedua orang tua Nindya ingin fokus untuk kesembuhan Nindya.

"Tante Raya? Kok ke sini?" tanya Alya dengan polosnya.

"Mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau ngga?"

"Mau! Mau!" jawab Alya girang.

Tak ada kecurigaan dari pihak kedua orang tua Andy. Mereka juga belum paham apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Raya dan kelurganya. Yang mereka tahu hanya Raya adalah kakak tiri Nindya. Jadi, hal yang wajar apabila Raya mengajak Alya bepergian.

Setelah berpamitan. Raya bergegas menggandeng lengan kecil Alya. Mengajak gadis itu ke luar menuju arena bermain khusus untuk anak-anak. Alya senang bukan main. Ia menikmati segala arena permainan sampai puas.

"Sekarang kita beli es krim yuk?" ajak Raya.

"Asik! Alya mau," jawab Alya masih dengan riangnya.

Sambil menikmati es krim, Raya mulai memikirkan cara bagaimana ia akan menaklukkan hati Alya untuk membujuk papanya agar mau memilih Raya dan menikahinya.

"Alya suka ga sama tante?"

Alya hanya menggangguk kecil seraya menikmati ek krimnya.

"Kalau sama mama Nindya gimana?"

"Aku sayang mama."

"Mama Nindya sudah lupa sama, Alya."

"Tante!"

"Jangan marah dulu, Nak. Kamu dengar ya. Tante juga bisa jadi mama yang baik untuk kamu. Kalau kamu setuju, nanti setiap hari tante belikan es krim. Boleh ya, papa kamu menikah sama tante?"

"Tante, papa kan punya mama. Jangan rebut papaku, Tante."

"Tante tidak rebut. Papa masih punya Alya. Hanya saja, tante ingin papa kamu menikah dengan tante."

"Itu namanya rebut, Tante."

Raya mulai emosi. Ia merasa sia-sia berbicara dengan Alya. Gadis kecil itu tak bisa memahami dirinya. Raya memutuskan menunda lagi. "Ah ... suatu saat Alya akan mengerti. Dia hanya masih kecil saja. Aku harus bisa menaklukkan hatinya agar bisa menikah dengan Andy."

Raya mengantar Alya kembali ke rumah orang tua Andy. Setelah itu ia bergegas pergi menemui Gio. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di sebuah restoran yang jarang dikunjungi Andy mau pun Nindya.

"Gimana?" tanya Raya to the point.

"Nindya sudah berada di rumahku. Aman. Aku tidak akan pernah membiarkannya ke luar dan pergi."

"Baguslah! Jangan sampe ada pihak dari Andy yang tahu tentang semua ini. Kamu harus berhsil meracuni otak Nindya agar percaya dengan apa yang kamu katakan."

"Tentu saja! Aku tahu apa yang harus aku lakukan."

Nindya tengah berbaring di dalam kamar yang telah disediakan Gio untuknya. Wanita itu menatap langit-langit kamar dengan sesekali berkedip. Pikirannya jauh menerawang. Entah apa yang sedang ia bayangkan.

Ia meraih ponsel di atas nakas sebelah sisi kanannya. Sejak kepergiannya dari rumah ponsel itu belum sekali pun ia nyalakan. Nindya menekan tombol power untuk kembali mengaktifkan ponselnya.

Beberapa menit setelah ponselnya menyala, tiba-tiba ada sebuah notifikasi pengingat.

[Happy wedding anniversary untukku dan Andy.]

"Happy wedding anniversary? Apakah benar-benar ada pernikahan antara aku dan om Andy?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Indah Hayati
sama2 thor :) semangat terus ya bikin karya nya
goodnovel comment avatar
Christina
makasih kakak, uda sabar bgt nunggu lanjutannya...
goodnovel comment avatar
Indah Hayati
moga nindya cepat ingat kembali momen nya bersama andy dn anak nya parah bangat deh raya dn gio gara2 pengen miliki nindya dn andy smpai lakuin licik kyak gini makin gregetan ama mereka berdua lanjut terus ya thor makin penasaran ni
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status