Compartilhar

Bab 5. Andini

last update Última atualização: 2025-10-08 14:23:35

Andini menunggu.

Satu hari.

Dua hari.

Tiga hari.

Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.

Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.

Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.

Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.

Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.

Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.

Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih membawa pulang serpihan dirinya yang dulu.

Dunia seketika kembali menggema dalam sunyi, yang hanya mereka berdua bisa mengerti nya.

Beberapa saat kemudian, Naren kembali dengan segelas susu hangat.

“Minumlah, ini akan menghangatkan tubuhmu.” Narendra mengulurkan gelas susu. 

Namun tangannya masih menggantung di udara. 

Saat ini, Andini justru langsung menatap bajunya. Dia langsung mendongak, “Kamu yang mengganti bajuku?”

“Tidak ada orang lain disini. Bajumu basah, kamu bisa sakit kalau aku biarkan. Maafkan aku.”

Wajah Andini memerah. Jauh di dasar hatinya dia ingin marah, akan tetapi saat mendengar penuturan Naren, Andini mulai merenungkan kata-kata itu “kamu bisa sakit kalau aku biarkan.”

Kata yang begitu ringan, tapi mengapa Andini merasa begitu dalam. Ingin rasanya Andini menumpahkan semua beban di hatinya, sama seperti dulu.

“Apa rasanya akan tetapi sama? Nyaman dan menenangkan?” batinnya, Andini menghembuskan nafas dalam,

Lalu dengan ragu-ragu, dia menerima gelas susu dan meneguknya sedikit. Sisanya, dia masih memegangnya dengan kedua tangannya.

“Terima kasih sudah menolongku.”

Narendra menghela nafas berat, “Sebenarnya, ini bukan cuma kebetulan.”

Andini berkedip, “Bukan kebetulan?”

Narendra mengangguk, “Aku datang ke pestamu. Lalu aku mendengar, kalau kamu pergi dari pesta ulang tahun pernikahanmu. Jadi aku mencarimu. Tapi justru aku menemukanmu dalam keadaan pingsan di jalanan dalam guyuran hujan.”

Andini kembali tercengang, “Kamu datang ke pestaku?”

“Ya. Untuk mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan.”

Mendengar perkataan Narendra, hati Andini bergetar. “Jika kehadiran mu hanya untuk mengucapkan selamat, aku rasa … Itu benar-benar nggak perlu.”

Narendra tertegun, kemudian dia duduk diatas tempat tidur di samping Andini.

“Andini, sebenarnya ada apa?”

Andini tidak menjawab, matanya berkaca-kaca.

“Apa pernikahanmu nggak baik-baik saja?” Narendra kembali bertanya.

Andini masih diam, dia mengusap air matanya yang hampir menetes.

Narendra menghela nafas, “Tidak apa-apa kalau kamu ingin bercerita. Aku siap mendengarnya sama seperti dua tahun yang lalu.”

Andini mendongak. Dua tahun yang lalu, dia selalu menceritakan apa saja tentang kesedihannya.

Tentang bagaimana keluarganya memperlakukannya. 

Tentang mimpinya yang ingin menjadi seorang pelukis.

Tapi sekarang … keadaan sudah berbeda. Perihal rumah tangganya, juga keluarganya, semua itu bukanlah hal yang pantas jika diceritakan. 

Apalagi pada … Naren. Pria yang perna membuat senyum diwajah Andini merekah indah.

“Rumah tanggaku baik-baik saja. Aku hanya, ada sedikit masalah.”

“Dengan suamimu?”

Andini mengulum bibirnya, kemudian mengangguk tak berdaya.

Narendra mendengus, dia juga tidak ingin memaksa Andini agar bercerita. Dia memilih mengambil kotak obat dan kembali mendekati Andini. 

Narendra mengulurkan tangannya untuk mengambil tangan Andini. “Biar kuobati lukamu.”

Andini ingin menarik tangannya kembali, tetapi Narendra menahannya. “Luka gores ini jika nggak segera diobati takutnya bisa terinfeksi.”

Andini tidak mengatakan apa-apa. Dia menatap sedih pada Naren yang dengan telaten mengobati luka-lukanya.

Kamar menjadi hening, tidak ada obrolan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

“Kamu masih tinggal disini?” Suara Andini memecah kesunyian.

Naren hanya mengangguk.

“Auuww.” Andini terlihat meringis.

“Tahan sedikit ya, ini memang sedikit perih.” tutur Naren sambil meniup pelan pada bagian luka yang diobatinya.

Kristal bening yang sejak tadi ditahannya perlahan jatuh tanpa Andini sadari dan menetes pada tangan Naren.

Naren menoleh, “Kamu menangis?” tangan Naren terulur ingin mengusap air mata itu.

Akan tetapi, belum sempat tangan Narendra menyentuh pipinya, Andini sudah lebih dulu menghapus air mata itu.

“Tiba-tiba aku merasa ada debu yang masuk ke mataku.” Andini memberikan alibi.

Naren tau jika saat ini Andini sedang berbohong, “Aku bersumpah, jika kalian akan membayar mahal setiap tetes air mata yang keluar ini.” batin Naren dengan sebelah tangan nya yang terkepal saat menatap manik mata Andini yang berkaca-kaca.

Beberapa saat kemudian, Narendra selesai mengobati luka Andini.

Dia merapihkan bantal dan meminta Andini untuk beristirahat, sedangkan dia tidur di ruangan depan.

Semalam Andini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jadi ketika pagi hari ponselnya berdering, dia langsung terbangun.

Saat itu dia melihat pesan teks masuk. 

[Semua gara-gara kamu, sialan!]

Andini tertegun dan segera mengetik balasan.

[Kenapa gara-gara aku?]

Arya kakaknya membalas dengan cepat. 

[Radit bilang, semalam kamu nggak mau pulang dan memaksanya untuk minta turun di jalan!]

[Perempuan sialan! Cari masalah saja bisanya!]

Andini membeku. Beberapa detik kemudian pesan singkat kembali masuk.

[Radit nggak tidur semalaman Karena memikirkan kamu, akibatnya pagi ini Radit nggak bisa ngantor!]

[Akibatnya, acara akhir pekan ku berantakan! Aku harus membatalkan janji dengan Sherly.]

Membaca setiap pesan singkat yang dikirimkan kakaknya, Andini hanya bisa menggelengkan kepala.

Radit yang telah menurunnya di tengah jalan tanpa kasihan. Dan sekarang, pria itu dengan liciknya memutar balikkan fakta?

Andini benar-benar tidak mengerti mengapa Radit begitu senang menyiksa dirinya.

Setelah itu, sebuah pesan gambar masuk. 

Ketika membukanya, dia langsung panik.

Kakaknya mengirim foto sang ibu yang sedang terkulai di atas ranjang. Sang ayah mendekap dengan wajah khawatir.

Pesan dari Arya kembali masuk. 

[Mami terkena serangan jantung. Dan itu gara-gara kamu. Kalau terjadi apa-apa pada mami, lihat saja!]

[Buruan pulang!!! Jika kamu masih ingin hidup didunia ini.]

Andini tercengang. Dia segera bangun dan buru-buru berkemas.

Tepat ketika Andini membuka pintu, Narendra berdiri di depan pintu. 

Pria itu menatap wajah panik Andini.

“Andini, ada apa?”

“Naren, terima kasih telah menolongku. Aku harus pulang sekarang. Ibuku mendadak sakit”

Sebenarnya Naren ingin sekali menahan Andini. Setidaknya ingin Andini lebih lama lagi tinggal disini.

Karena jauh di dasar hati terkecilnya, dia masih … sangat merindukan wanita pujaannya itu.

Tapi dia tidak memiliki hak apapun. Jadi dia mengangguk lemah, “Aku akan mengantarmu.”

“Jangan.” Andini menolak.

“Maksudku, nggak baik kalau keluargaku tahu jika aku sampai diantar oleh pria lain.”

Naren hanya bisa mengangguk tak berdaya, menatap punggung Andini yang menjauh.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 7. Pulang Kerumah

    Ditempat yang terpisah, akan tetapi di waktu yang hampir bersamaan. Perjalanan pulang Andini terasa begitu panjang. Taksi yang ditumpanginya melaju pelan menembus keramaian kota.Meskipun dia marah dan kecewa pada keluarganya, akan tetapi saat mendengar kabar ibunya yang sakit dan terkena serangan jantung, tetap saja dia merasa sangat khawatir.Saat langkah kaki Andini yang gontai memasuki pintu utama rumah mewah keluarga Winanto, bukannya keharuan yang menyambut, Andini justru dibuat terpaku. Ibunya terlihat duduk dengan tegap di ruang tamu, sambil tangannya sibuk mengulir ponsel. Dari raut wajahnya jelas sama sekali tidak tampak jika dirinya sedang sakit.“Andini, kamu sudah pulang,” suara sang ibu dingin namun tegas menyambutnya.“Mami, bukankah kata Kak Arya, Mami—”“Cukup!” potong ibunya cepat. “Nggak ada yang sakit. Kamu itu ya, memang keras kepala dan selalu buat masalah.”Andini tertegun. “Siapa yang keras kepala, Mi? Aku seperti ini karena Radit yang menurunkan aku di teng

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 6. Kenangan

    Setelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela.Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi.Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu.Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal.Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi.Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini.Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.Walau perkenalannya dengan Andini

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 5. Andini

    Andini menunggu.Satu hari.Dua hari.Tiga hari.Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih me

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

    Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut s

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 3. Teraniaya.

    Kemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan.Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta.Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya.Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa.Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masala

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 2. Merasa Dejavu

    Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?Dengan lukisan miliknya.Lukisan yang pernah

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status