Home / Romansa / Jangan Salahkan Aku Mencintainya / Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

Share

Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

last update Last Updated: 2025-10-08 14:19:18

Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.

“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”

Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. 

Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. 

Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.

Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.

Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.

“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut saja, Bos!”

Narendra menyipitkan matanya. “Terlalu mudah. Aku ingin permainan yang lebih.”

Narendra menarik nafas resah. 

“Aku sudah memutuskan. Bahwa aku akan merebut kembali, Andini.”

Ken mengatupkan bibirnya. Selama bertahun-tahun Bos tidak pernah mengizinkan hatinya untuk jatuh cinta. Bahkan semua perjodohan ditolaknya mentah-mentah.

Semuanya itu hanya demi …

Ken mengangguk. “Kita harus menyusun semuanya, bos. Ini sesuatu yang berat, kita harus berhati-hati.”

Sekarang, Narendra yang mengangguk.

Mobil berhenti di depan apartemen sederhana.

Ken buru-buru keluar untuk membukakan pintu mobil.

Narendra keluar dengan menggendong Andini.

Ken berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu kamar. Lalu segera pergi setelah menutup pintu. Menyerahkan semua urusan kepada Narendra saja. 

Naren membaringkan Andini dengan hati-hati di atas tempat tidur. 

Dia tidak peduli dengan gemuruh jantungnya saat dia harus membuka satu persatu pakaian Andini.

Dia berusaha secepat mungkin mengganti pakaian Andini yang basah, dan berusaha sekuat mungkin untuk mengendalikan pikirannya.

"Andini, sadarlah." Narendra mengusap-usap telapak tangan Andini dengan kedua tangannya agar hangat.

Terdengar pintu dibuka. Narendra menoleh. 

"Bos, bagaimana keadaannya?" Ken melangkah masuk.

"Dia masih belum sadar."

"Apa perlu aku panggil dokter kemari?"

"Besok pagi saja. Ini sudah terlalu malam. Biarkan dia istirahat dulu."

Ken hanya mengangguk, “Kalau begitu aku pergi ya, kalau ada apa-apa, telpon saja.”

Narendra mengangguk. Tapi saat Ken sudah berbalik, dia memanggil. “Ken,”

Ken menoleh, “Iya Bos.”

“Selidiki keluarga Andini. Terutama suaminya.”

Ken berkedip, lalu mengangguk. “Baik.” Lalu Ken pergi dan menutup pintu dengan lembut.

Narendra kemudian keluar. Hanya beberapa menit, dia sudah kembali dengan baskom kecil berisi handuk dan air hangat.

Naren menarik kursi dan duduk disamping tempat tidur. Dia memandangi wajah Andini. Dengan hati-hati, lalu dia mengompres dahi Andini.

"Tolong lepaskan aku … lepaskan saja aku. Aku benci kalian .… “ Andini tiba-tiba mengigau. Matanya masih terpejam.

Narendra tertegun saat mendengar  igauan Andini.

Dia mulai yakin dengan pemikirannya tentang rumah tangga Andini yang tidak baik-baik saja. 

Mata Andini terbuka perlahan kemudian memutar menatap sekeliling. Dia merasa seperti familiar dengan tempat ini.

Tapi dimana? 

"Kamu sudah sadar?" Tiba-tiba suara pria mengejutkannya. Dia langsung menoleh.

Andini berkedip-kedip, dia memiringkan kepalanya untuk berusaha mengenali pria itu. 

Setelah kesadarannya penuh, dia tercengang.

“Narendra?” Wajah itu, mana mungkin dia melupakannya.

“Ini beneran kamu?” Andini menggelengkan kepalanya beberapa kali sampai berkedip-kedip. Dia takut ini hanya halusinasinya.

“Benar, Andin. Ini aku, Naren.”

Andini terkesiap, lalu kembali menatap sekeliling. Sekarang dia telah mengingatnya.

Dua tahun yang lalu.

Di hari ketujuh dia berkenalan dengan Narendra, dia pernah datang ke tempat ini satu kali. Bahkan dia menemukan, foto yang terbingkai tergantung di sudut ruangan.

Foto itu diambil Narendra, saat di kamar ini. Satu hari sebelum mereka kemudian tidak pernah bertemu lagi.

Andini kembali menoleh pada Naren, menatapnya dengan tidak percaya.

“Kamu yang menolongku?”

Narendra mengangguk lembut. “Hem. Aku menemukanmu pingsan di pinggir jalan.”

Ekspresi terkejut di wajah Andini berubah murung. 

Narendra mendekat, “Bagaimana kabarmu?”

Andini mengulum bibirnya, “Aku .…”

Dia tidak melanjutkan, namun malah bertanya, “Bagaimana bisa kamu menemukan aku?”

Narendra belum menjawab, dia kemudian berdiri. “Tunggu sebentar.” Lalu dia keluar.

Andini hanya bisa menatap punggung Narendra yang menghilang di balik pintu yang terbuka.

Andini masih seperti belum percaya. Bagaimana bisa dia tiba-tiba bertemu dengan Naren dan sampai ke kamar ini?

Apa ini kebetulan saja?

Dia kembali menatap sekeliling. 

Kamar ini sama persis seperti dua tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Dari tata letak dan warnanya masih sama. 

Foto itu?

Dia kembali menatap foto ukuran jumbo yang terpajang di dinding itu.

Kala itu, Naren adalah satu-satunya orang yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya.

Pertemuannya dengan Narendra tidak sengaja. 

Setiap hari dia sangat rajin berangkat ke kampus. Tidak peduli hujan, tidak peduli tidak ada mata pelajaran.

Dia akan datang ke kampus, hanya untuk duduk di tempat favoritnya. 

Baginya dunia ini sangat tidak adil. Semua orang hanya bisa menuntut. Tidak ada yang mau mendengar dan memahami perasannya. 

Dalam keluarga Winanto, meski tidak tertulis jelas, tetapi secara turun temurun sudah memiliki peraturan yang terikat. Perempuan di keluarga itu tidak memiliki hak untuk memilih. Tugas mereka hanya untuk patuh.

Perhatian para orang tua akan lebih fokus pada anak laki-laki mereka. Sebab akan menjadi pewaris keluarga. Sedangkan anak perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap.

Hari itu, Andini bertengkar hebat dengan kakak laki-lakinya.

Arya mengambil uang tabungannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. 

Andini bermimpi menjadi pelukis, sedangkan orang tuanya lebih menginginkan dia mengambil jurusan teknik informatika.

Meskipun Arya salah, tetap saja Andini yang akan disalahkan. Begitu terus dan seterusnya.

Andini membenci hari-harinya. Dia hanya ingin jadi pelukis. Bukan programmer. 

Dia berteriak-teriak, memaki dan marah seorang diri. 

“Aku benci kalian! Aku ingin mati saja!”

Tiba-tiba, suara yang hangat menyapanya. 

“Kalau kamu mau, kamu bisa cerita padaku. Aku pasti akan menjadi pendengar setia.”

Andini terkejut.

Dia belum pernah melihat pria itu sebelumnya.

Dia seorang mahasiswa dengan jaket levis. Yang saat ini sedang berbaring santai di kursi taman kampus yang persis berada dibalik pohon tempat Andini menangis.

“Sejak kapan kamu berada di sana?!”

“Sebelum kamu datang aku sudah berada di sini,”

“Be-berarti kamu mendengarkan semua ocehanku?”

“Ya semuanya. Kamu ingin mati?” Pria itu duduk.

“Apa pedulimu?!”

“Aku cuma kasihan saja, kematian itu bukan akhir segalanya.”

Suara itu terdengar tenang.

Andini terdiam.

"Namaku Narendra. Kamu bisa panggil aku Naren," kata pria itu.

Andini mendengus. Antara kesal tapi dia juga malu. Dia tidak langsung menjawab.

Beberapa detik kemudian, barulah ia berkata pelan, “Aku Andini,”

“Hem. Sepertinya kita memiliki permasalahan yang sama, mengenai keluarga.”

Andini berkedip-kedip, “Aku sering duduk di sini. Sendirian.”

“Tapi kedepannya, mungkin kamu nggak akan sendirian lagi." Narendra tersenyum.

Sejak hari itu, Andini jadi lebih sering melihat Naren di taman yang sama. 

Mereka bicara banyak hal, film, seni, musik, hidup, luka. Tapi tidak satu pun dari mereka bicara soal masa depan.

Naren tidak pernah bilang kuliah di jurusan apa. Andini juga tidak tak pernah bertanya. Seolah mereka bersepakat untuk saling memahami tanpa peduli jati diri mereka masing-masing.

Namun pada hari kedelapan, Naren tak muncul.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 7. Pulang Kerumah

    Ditempat yang terpisah, akan tetapi di waktu yang hampir bersamaan. Perjalanan pulang Andini terasa begitu panjang. Taksi yang ditumpanginya melaju pelan menembus keramaian kota.Meskipun dia marah dan kecewa pada keluarganya, akan tetapi saat mendengar kabar ibunya yang sakit dan terkena serangan jantung, tetap saja dia merasa sangat khawatir.Saat langkah kaki Andini yang gontai memasuki pintu utama rumah mewah keluarga Winanto, bukannya keharuan yang menyambut, Andini justru dibuat terpaku. Ibunya terlihat duduk dengan tegap di ruang tamu, sambil tangannya sibuk mengulir ponsel. Dari raut wajahnya jelas sama sekali tidak tampak jika dirinya sedang sakit.“Andini, kamu sudah pulang,” suara sang ibu dingin namun tegas menyambutnya.“Mami, bukankah kata Kak Arya, Mami—”“Cukup!” potong ibunya cepat. “Nggak ada yang sakit. Kamu itu ya, memang keras kepala dan selalu buat masalah.”Andini tertegun. “Siapa yang keras kepala, Mi? Aku seperti ini karena Radit yang menurunkan aku di teng

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 6. Kenangan

    Setelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela.Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi.Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu.Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal.Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi.Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini.Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.Walau perkenalannya dengan Andini

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 5. Andini

    Andini menunggu.Satu hari.Dua hari.Tiga hari.Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih me

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

    Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut s

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 3. Teraniaya.

    Kemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan.Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta.Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya.Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa.Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masala

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 2. Merasa Dejavu

    Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?Dengan lukisan miliknya.Lukisan yang pernah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status