MasukBagi sebagian besar para istri yang tersenyum manis di sana, cinta hanyalah topeng lain yang mereka pakai di panggung besar bernama dunia.
Sebagian bisa dikatakan bertahan karena terpaksa, dan sebagian lagi bertahan karena harta dan tahta. Sesekali, Andini melirik Radit dan Tiara yang saling melempar pandang. Hanya sekilas saja, tapi cukup untuk membuat dadanya bergemuruh. Dari tatapan keduanya, jelas mereka saling memberi isyarat. Akan tetapi Andini menahan diri. Ia seolah tidak melihat apa-apa, karena dirinya sudah terlalu terbiasa menelan kenyataan pahit akan hubungan gelap suaminya itu. Lima menit setelah keduanya saling pandang, Tiara terlihat meletakkan gelas wine di tangannya, lalu berdiri anggun dan beranjak pergi. Tatapan singkatnya sempat menembus mata Andini. Dingin, penuh kesombongan yang terselubung. Hanya selang satu menit, Radit yang tadinya asyik bercengkrama dengan rekan bisnis lainnya, terlihat menghampiri Andini dan tersenyum. “Sayang, kamu di sini dulu bersama mereka. Aku ke kamar mandi sebentar.” Andini membalas senyumnya dan mengangguk lembut. Dia hafal betul nada suara itu, halus di luar, tapi menyimpan pisau bermata dua di baliknya. Begitu punggung Radit menghilang di balik kerumunan, mata Andini berubah tajam. Tatapan yang tadi kosong kini menyala, dorongan dari hatinya begitu kuat bahwa malam ini dirinya harus mendapatkan kebenaran. Dia berdiri perlahan, berpamitan pada para istri di sebelahnya dengan senyum sopan, lalu berjalan keluar. Ada sesuatu yang bergetar hebat di dalam dadanya, bukan sekedar rasa penasaran biasa, meski itu nantinya akan melukai dirinya sendiri. Langkahnya ringan tapi penuh waspada. Jantungnya berdebar cepat, nafasnya terasa berat dan tertahan di tenggorokan. Dia tahu ke mana arah langkah Radit. Suaminya itu pasti bukan ke kamar mandi. Dirinya terlalu sering menebak benar firasatnya sendiri, dan firasat itu jarang meleset. Lorong hotel yang sepi membuat suara hak sepatunya bergema, bergantian dengan suara degupan jantungnya sendiri yang bergemuruh seperti genderang di arena peperangan. Dinding berlapis marmer memantulkan bayangan tubuhnya yang bergetar halus karena menahan gugup. Setiap langkahnya terasa seperti menuju jurang yang sudah lama menunggunya untuk terjun ke dalam sana. Di ujung koridor, dia melihat Radit dan Tiara memasuki sebuah ruangan secara bersamaan. Tangannya gemetar saat merogoh tas. Ia mengeluarkan ponsel dengan hati-hati, lalu menyalakan kamera. Cahaya layar ponselnya memantul di wajahnya yang mulai basah oleh keringat dingin. Tapi dia tak peduli. Malam ini, dirinya tidak ingin lagi diam. Dia ingin memiliki bukti agar bisa terlepas dari belenggu yang selama ini mencengkeramnya. Dengan hati-hati, Andini mendorong pintu yang belum sepenuhnya tertutup. Dari celah kecil itu, dia melihat Tiara berdiri bersandar pada dinding dengan posisi dada yang sengaja dicondongkan supaya menggoda. Radit berdiri persis di depannya sambil tersenyum mesra. Tangan Radit mulai menelusuri pipi Tiara, gerakannya lembut tapi berani, seakan setiap sentuhan itu sah untuk dilakukan oleh keduanya. “Sayang, kamu jangan marah,” ucap Radit pelan, nada suaranya penuh rayuan. “Kamu tahu persis, kalau tadi itu cuma akting saja.” Tiara mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk. “Tapi aku cemburu,” tutur Tiara sambil menarik dasi Radit, membuat jarak keduanya semakin dekat begitu dekatnya sampai keduanya bisa merasakan setiap hembusan nafas masing-masing. “Aku sudah nggak tahan Radit, jika terus bersembunyi seperti ini, aku .…” Belum sempat Tiara meneruskan ucapannya, Radit langsung menarik tubuh seksi itu ke dalam pelukannya dan dengan rakusnya melumat bibir mungil rasa cherry milik Tiara tanpa ampun, sampai membuat Tiara susah bernapas. “Ehm! Radit!” Tiara kehabisan kata-kata dan hanya bisa menikmati kecupan mesra dari pria yang sangat dicintainya itu. Puas keduanya saling bertukar saliva, kini pergerakan nakal Radit mulai menjangkau leher jenjang milik Tiara. Setiap sentuhan yang ada menciptakan polkadot merah di sekeliling leher putih Tiara. “Ehm! Ahh!” Suara desah manja penuh kelembutan keluar begitu saja dari bibir Tiara, seolah alunan lembut itu menjadi simfoni yang membuat Radit semakin bergairah untuk melancarkan permainan lidah dan bibirnya. “Aah! Oh Radit, aku mencintaimu, sayang…” “Aku juga begitu mencintaimu, sayang…” Tatapan mata keduanya saling bertemu pandang. Dari cara keduanya saling menatap, terlihat jelas jika keduanya begitu saling mencintai. Perlahan tangan kokoh Radit mulai bergerilya turun, menyusuri bagian lain dari tubuh Tiara yang begitu menggoda. Kembali bibir keduanya saling berpagutan. Tubuh Tiara semakin menggeliat, dan area sensitifnya kini terasa basah. Tubuhnya berdesir, semakin tidak terkendalikan saat pergerakan lidah nakal Radit semakin menggelitiknya. Setiap sentuhan Radit selalu menjadi candu untuknya. Pria itu memang pandai membuat Tiara terbang dalam hangatnya surga dunia. “Ehm! Aah!” Mendengar setiap ocehan serta lenguh panjang itu, napas Andini tercekat. Matanya panas. Tubuhnya gemetar hebat. Ada suara yang retak di dalam dirinya. Suaminya begitu romantis dan benar-benar pandai membuat wanita selingkuhannya terbang menuju nirwana. Sedangkan saat bersamanya? Radit selalu menampilkan wajah masam dan penuh amarah. Jangankan untuk mencumbu, menatap penuh cinta saja tak pernah. “Kuat, Andin. Kamu harus kuat. Ini kesempatan emas, terus rekam adegan ini supaya kamu punya bukti,” hati kecilnya berkata. Walaupun Andini merasa dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar setiap kali menyaksikan pengkhianatan dari seseorang yang berstatus suaminya itu.Pintu ruangan terbuka sangat keras hingga memantul ke dinding. Semua orang di ruangan itu sontak menoleh.Seorang wanita dengan penampilan elegan memakai coat panjang, sepatu hak tinggi melangkah masuk dengan wajah penuh kemarahan. Mata itu adalah tatapan mata seorang ibu yang cemas serta khawatir tentang keadaan putrinya. Seketika dia memasuki ruangan, matanya langsung menatap lurus ke arah Jessica, putri tunggalnya.“JESSICA!” suaranya menggelegar, menusuk sampai ke ujung telinga. “Kau mengapa kesini dan ikut-ikutan bersembunyi? Kau mau menjatuhkan martabat keluarga kita?! Cepat ambil barangmu kita pulang, sekarang juga!”Semua orang terdiam, hanya suara napas Jessica yang kini tersengal.“Mami… ma-maaf, aku nggak bisa mengikuti permintaan mami untuk pulang.” Jessica berusaha bicara selembut mungkin. “aku, aku nggak bisa meninggalkan Andini, aku janji setelah urusan ini selesai, aku akan menjelaskan semuanya …”“Diam!” Ibunya maju, meraih lengan Jessica paksa. “Kau pikir mami akan
Jessica tak bisa menjawab, suasana villa itu kembali sunyi. Hingga suara parau Andini kembali terdengar.“Jessi, tolong jujur padaku? Apa kau mencintai Naren?”Jessica yang tadinya tertunduk karena kehabisan kata-kata untuk menjelaskan apa lagi pada Andini, kini mendadak tubuhnya menegang seolah listrik tegangan tinggi sedang menyengat tubuhnya.Walau sedikit ragu tapi Jessica tetap harus menceritakan semuanya, “Awalnya aku memang mencintai Naren, sangat mencintainya terlebih lagi kedua belah pihak keluarga memang merestui.”Jessica menghentikan ucapannya lalu menatap kearah mata Andini, “Namun seiring berjalannya waktu aku semakin sadar, jika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan Dan…”Belum selesai Jessi menjelaskan Andini tiba-tiba langsung memeluknya.“Maafkan aku Jessi, aku … aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan mu. Tolong jangan benci aku.” tutur Andini terbata-bata.“Hei, aku belum selesai berbicara, lagian mana mungkin aku membencimu. Justru aku harus berterima kasih p
Andini duduk termenung di tepi tempat tidur mewah yang berbahan kayu jati yang dihiasi ukiran mewah dari ciri khas suatu daerah. Dia masih mengenakan kemeja kerja yang dipakainya kemarin siang, kemeja itu sudah berantakan, ujung lengannya kusut karena sudah berkali-kali digunakan untuk menyeka air mata.Andini merasa tubuhnya benar-benar tidak ada energi yang tersisa, bahkan untuk sekedar berdiri dia pun tak mampu.Diluar villa kicauan burung terdengar riang saling bersahutan, menyambut sang mentari. Angin pegunungan membelai pucuk pohon pinus dengan lembut, menyapu udara dingin melewati tebing tinggi tempat villa mewah itu berdiri megah.Dari balik tirai kaca yang terhubung dengan balkon belakang villa, lautan biru terbentang luas tampak damai, tenang, keindahan alam yang jauh dari hiruk-pikuk dunia yang selalu menghakimi.Tapi kedamaian itu sama sekali tidak menyentuh hati Andini. Semalaman Andini tak bisa tidur, pikirannya berkelana tak tau kemana.Tok tok tokTerdengar suara pintu
Radit membalas pelukannya bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah. Dan itu terasa. Pelukan itu dingin. Hampa. Terkendali. Tiara tidak bodoh. Dia tahu sentuhan itu bukan sentuhan cinta.Tapi dia membiarkan dirinya menipu hati. Dia butuh ilusi itu.“Apa yang terjadi, mengapa aku bisa berada di sini?”Belum sempat Radit menjelaskan, Thomas sudah duluan bersuara.“Kamu mendadak pingsan, tadinya Daddy sangat khawatir. Tapi setelah dokter Pras memeriksa ternyata rasa khawatir itu hilang dan berubah jadi rasa bahagia.”Tiara sedikit mengerutkan keningnya, “Ma-maksud Daddy rasa bahagia yang seperti apa? Lalu apa hubunganya dengan aku?”“Kamu sedang mengandung Tiara, Daddy akan menjadi seorang kakek.”“A-apa, aku sedang hamil?” mata Tiara terlihat berkaca-kaca. “Radit, sayang apa benar yang diucapkan oleh Daddy?”Radit hanya mengangguk tanpa suara.“Berjanjilah untuk selalu bersama ku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dit. Kamu milikku. Kita milik satu sama lain. Sekarang kita sudah puny
Thomas kembali memberi tekanan.“Tiara, pastikan jika Radit tetap nggak mau kembali mengikuti rencana kita, kau harus temukan cara untuk mengendalikannya.”Mendapatkan tekanan dari sang ayah kepala Tiara seketika berdenyut, wajahnya terlihat meringis saat menahan sakit dikepalanya. “Aku akan berusaha, Daddy.”“Berusaha nggak akan cukup! Kalau kau nggak bisa mengendalikan Radit, maka Radit akan menjadi ancaman. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Ancaman dalam konteks yang diucapkan oleh seseorang yang bergelut dalam dunia hitam seperti Thomas Hilton itu bukan sekadar kata. Tiara tahu persis apa arti ucapan dari sang ayah.Jika Radit sampai keluar garis, maka Radit akan dihabisi. Seperti ini lah bahasa yang ingin disampaikan itu.“Kau mengerti kan, sayang?” dengan senyuman Thomas menepuk pipi Tiara, tepukan yang begitu lembut dan manis lebih mirip seperti sedang membelai, akan tetapi dibalik semua itu terselip ancaman yang begitu mematikan.Lutut Tiara terasa lemas.Dia keluar dari
Kemarin siang, beberapa menit sebelum pesawat Radit dan Tiara lepas landas.Andini yang merasa dirinya tertekan, begitu melihat kehadiran Naren seketika dia langsung memeluknya.“Hei, sayang kenapa menangis? Kamu aman sekarang.” suaranya berguncang, bukan karena takut tapi karena menahan gejolak yang terlalu berat untuk dijelaskan.Andini terus menangis menumpahkan rasa rindu, menumpahkan segala beban yang menumpuk dihatinya.Sementara Jessica berdiri di samping pintu, nafasnya masih memburu, ada senyum haru saat melihat Andini memeluk Naren seperti itu.Kenzo yang berdiri di sampingnya menggenggam tangan Jessica yang terlihat gemetar karena ketegangan.Menyadari gengaman tangan Kenzo, Jessica tersenyum.“Ada CCTV dari lobi belakang,” Kenzo berbisik pada Jessica. “Kita lihat rekamannya. Aku yakin jika mereka melarikan diri lewat pintu belakang dan kita menemukan petunjuk dari jejak mereka.”Jessica mengangguk. Mereka sengaja memisahkan diri dari Andini dan Naren membiarkan keduanya l







