Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.
Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.
Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.
Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.
Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di meja makan. Dipta mengayunkan langkah ke kamar mandi yang berada dalam kamar mereka untuk mandi dan bersiap berangkat kerja. Setelan kemeja biru langit polos dan celana bahan hitam sudah melekat di tubuh atletisnya saat dia melangkah mendekati Aina. Disentuhnya bahu wanita itu pelan untuk membangunkannya.
"Aina, sudah jam 6. Bangun."
Aina hanya melenguh, lalu membalikkan tubuh membelakangi Dipta.
"Aina, bangun. Aku akan berangkat kerja. Sarapannya ada di bawah," ucap Dipta lagi masih dengan menggoncang bahu Aina pelan.
"Ck! Aku sudah bangun. Sana berangkat saja," keluh Aina sambil menepis tangan Dipta.
Dipta hanya menggumam samar sebelum meninggalkan kamar.
Aina mengerjapkan mata lalu memandang pintu yang baru saja tertutup. Diraihnya ponsel dari atas nakas untuk memeriksa jadwalnya sepanjang hari ini. Sepertinya hari ini jadwalnya akan padat lagi. Maklum saja, Hari Senin.
Diseretnya langkah kaki dengan setengah tidak ikhlas ke kamar mandi. Setelah urusan mandinya selesai, dia menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya.
Jarinya menyentuh permukaan meja setrika.
Hangat. Berarti mas Dipta baru saja menyetrika. Gumamnya dalam hati.
Selesai mengenakan pakaian kerjanya, Aina turun ke meja makan dan menemukan roti bakar dan segelas susu di atas meja.
Hatinya sedikit tidak nyaman melihat itu. Mengapa Dipta masih memperlakukan dia begitu baik? Padahal sikapnya saja sedingin es pada laki-laki itu.
Mungkin lain kali aku akan membuatkan sarapan juga untuknya. Batinnya.
Aina menyantap sarapannya sambil membuka aplikasi W******p di ponselnya. Setelah segelas susu ditandaskannya, Aina beranjak ke garasi dan mengeluarkan motor matic yang selalu digunakannya untuk berangkat ke sekolah.
//
Suara ketukan dari sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer putih mengiringi langkah Dipta menyusuri lorong-lorong bangunan serba putih yang menjadi tempatnya bekerja. Bagian bawah jubah putih yang dia kenakan melambai mengikuti gerakan saat berbelok memasuki ruang praktiknya. Di depan pintu ruangannya terdapat papan bertuliskan dr. Alvin Pradipta, Sp.PD-KPsi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Psikosomatik.
Dipta sedang membuka beberapa berkas pasien di meja saat pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, memunculkan sosok pria tampan seusianya dengan jubah dokter seperti yang dia dikenakan.
"Selamat pagi, pengantin baru," sapa laki-laki itu seraya mendudukkan diri di kursi kosong depan Dipta. Senyum miring terbesit dari wajah tampannya.
Dipta menanggapi dengan enggan. "Mau apa kau kesini, Yudi?" tanyanya dengan wajah datar tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangan.
"Oho, ada apa, brother? Apa malam pertamanya nggak berjalan lancar? Ini bukan wajah yang biasa diperlihatkan pria yang baru menikah." Laki-laki yang dipanggil Yudi itu bertanya sambil menelungkupkan tangan di atas meja.
Dipta masih membalas dengan nada datar tanpa menatap rekan sejawat sekaligus sahabatnya itu. "Bukan urusanmu. Pergilah. Pasienmu sedang menunggu."
Mengabaikan perintah Dipta, laki-laki itu kembali bertanya, "Apa dia masih bersikap dingin sama lo?"
Kali ini Dipta mengangkat wajah. Sorot matanya begitu dingin dengan ekspresi datar, namun ada kilatan amarah yang terusik mendengar pertanyaan itu.
Bukannya takut, Yudi justru tergelak melihat ekspresi Dipta. Tanpa Dipta berkata pun Yudi sudah tau jawabannya. "Ayolah, brother. Lo kan dokter idola di rumah sakit ini. Masa menaklukkan hati seorang Aina aja lo nggak bisa? Apa gue harus turun tangan?" tanya Yudi dengan senyum lebar dan alis yang naik turun.
Memang Dipta sudah menceritakan semuanya kepada laki-laki dihadapannya itu. Sejak awal dia dijodohkan dengan Aina, lalu saat bertemu Aina dan akhirnya jatuh cinta pada wanita itu, sampai pernikahan dingin mereka. Semuanya sudah Dipta ceritakan pada Yudi.
"Sudah, Yudi. Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu. Pekerjaanku masih banyak." Yudi terkekeh pelan.
"Oke, oke, gue pergi. Takut ganggu singa yang nggak dikasih jatah malam pertama," ucap Yudi sambil melangkah keluar diiringi tawa yang terdengar bahkan saat dia sudah di luar.
//
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat deru mesin mobil milik Dipta memasuki halaman. Dia melangkah ke pintu masuk lalu merogoh kunci dalam tas untuk membukanya.
"Kamu baru pulang? Tumben sampai malam?" tanya Dipta yang sudah berada di samping Aina yang sedang membuka pintu.
Aina hanya bungkam dan melenggang masuk begitu saja tanpa berniat menjawab pertanyaan Dipta. Setelah berada di kamar, dia segera mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sedangkan Dipta baru saja memasuki kamar saat Aina keluar dari kamar mandi. Karena dia menaruh beberapa jurnal kedokteran di ruang kerjanya terlebih dahulu sebelum memasuki kamar.
"Kalau kamu sudah lapar makanlah dulu." Dipta berucap saat melihat Aina membuka pintu.
Lagi-lagi wanita itu hanya diam. Namun tetap melangkahkan kaki ke ruang makan. Menata nasi dan lauk pauk yang sudah dibeli Dipta untuk makan malam mereka.
Setelah mandi, sholat, dan membaca Al-Qur'an sebentar, Dipta menyusul Aina ke ruang makan. Ternyata perempuan itu belum memulai makan malamnya. Saat ekor mata Aina melihat Dipta yang berjalan menuruni tangga, barulah dia mengambil sendok dan mulai menyantap makanan di depannya.
"Kamu kenapa pulang sampai malam?" tanya Dipta seraya menarik kursi di depan Aina dan mendudukinya.
Aina melirik sekilas. "Kenapa bertanya?"
"Aku hanya khawatir kamu ada apa-apa tadi." Dipta menjawab sebelum menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Aku ada les privat tadi, sepulang mengajar. Mungkin sampai seminggu ke depan," jawab Aina malas. Wajahnya datar dan nada bicaranya begitu dingin. Seperti biasa.
Dipta menatap lekat wajah wanita di hadapannya sebelum bertanya, "Mau kuantar jemput saja? Aku khawatir kalau kamu membawa motor sendiri malam-malam."
Aina mengangkat sebelah alis. "Memang kamu pikir aku sudah tua sampai tidak bisa mengendarai motor sendiri saat malam hari? Tak perlu berlebihan. Kerjakan saja pekerjaanmu sendiri."
"Tapi mengantar jemput istri termasuk kewajiban suami," sanggah Dipta.
Seketika Aina mengangkat wajah. Menatap tajam laki-laki yang sedang membalas tatapannya.
"Aku tidak pernah menganggap diriku sebagai istrimu. Jadi tidak perlu berlebihan. Urus saja urusanmu sendiri," tegas Aina dengan sorot mata menusuk, sebelum mengalihkan perhatian ke piringnya lagi.
Dipta menghela nafas berat. Melanjutkan makan malamnya dengan tidak berselera.
Padahal aku hanya ingin membuatmu nyaman, gumamnya dalam hati.
***
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m