Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.
Selama satu minggu mereka menikah, mereka seolah orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Berangkat masing-masing, pulang juga masing-masing. Khusus untuk makan, Dipta memang selalu membeli dari luar untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.
Dipta mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk."Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.
Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruang makan.
Terlihat di atas meja makan itu dua mangkok soto ayam dan dua gelas es teh telah tersaji. Mereka segera duduk dan makan dalam diam. Selesai makan malam, Aina kembali ke kamar sedangkan Dipta masuk ke ruang kerjanya di samping kamar utama.
Pukul 10 malam dan Dipta sudah mulai mengantuk. Dia pun kembali ke kamarnya lalu agak terkesiap melihat pemandangan di atas ranjang. Aina sudah terlelap dengan posisi miring menghadap nakas, membelakangi tempatnya seperti biasa. Namun yang membuatnya terkejut adalah gaun malam yang digunakan Aina.
Biasanya dia selalu menggunakan baju tidur lengan panjang dengan bahan yang tebal supaya tidak menerawang. Sedangkan sekarang, Aina mengenakan gaun malam putih berbahan satin yang panjangnya hanya sebatas lutut.
Susah payah Dipta menelan ludah lalu memalingkan wajah dari kaki jenjang serta lengan Aina yang mulus. Dengan sangat hati-hati dia menaiki ranjang dan merebahkan diri menghadap punggung Aina.
Dipta memang tidak seperti lelaki kebanyakan. Dia tidak pernah mengenal yang namanya free sex atau semacamnya. Dia tidak pernah menyentuh perempuan sebelumnya. Bahkan dia hanya pernah berpacaran sekali saat kuliah dulu. Itupun hanya sekedar berpegangan tangan dan berboncengan. Yah, sebatas itu. Tidak pernah lebih.
Meski teman-temannya sering mengajaknya bermain ke tempat hiburan malam ataupun memesan perempuan untuk mendatangi apartemen mereka, Dipta tidak pernah dan tidak tertarik melakukan itu.
Namun, bukan berarti nalurinya tidak berfungsi. Naluri seorang lelaki dewasa yang setiap malam harus tidur bersama perempuan cantik yang sudah sah menjadi istrinya namun tidak bisa dia sentuh. Bukankah itu sangat menyiksa? Setiap malam terasa seperti uji nyali bagi Dipta. Malam-malam panjang yang dia lewati begitu menegangkan sekaligus mendebarkan. Dia sangat menginginkan Aina tapi tak bisa berbuat apa-apa karena perjanjian sialan yang dengan bodohnya dia setujui.
Terkadang dia bertanya-tanya, mengapa dia mau menandatangani surat perjanjian itu? Namun, jika dia tidak menandatanganinya, mana mungkin dia bisa menikahi Aina. Wanita galak yang sialnya berhasil mencuri hatinya ini.
Erangan lirih dari balik punggung yang membelakanginya membuatnya menoleh. Semakin lama rintihannya semakin keras diikuti bahu Aina yang perlahan bergetar. Kenapa dia?
"Aina, ada apa?" Tanya Dipta sambil menyentuh bahu Aina pelan, berusaha membangunkannya.
Namun, bukannya bangun. Justru suara isakan yang terdengar sebagai jawaban. Segera ditariknya bahu Aina supaya terlentang, dan apa yang dilihatnya membuatnya terhenyak.
Aina, perempuan galak yang setiap hari memarahinya, saat ini sedang menangis sesenggukan dengan air mata membanjiri wajahnya namun matanya masih terpejam. Buru-buru digoncangkannya bahu Aina untuk membangunkannya.
"Aina, bangunlah. Aina, bangun." Panggilnya berkali-kali. Namun, sial bagi Dipta. Bukannya pelukan hangat yang didapatnya sebagai balasan, malah suara teriakan yang memekakkan telinga yang terdengar olehnya.
"Kyaaaa! Apa yang kau lakukan?!!" Aina mendorong tubuh Dipta kuat-kuat agar menjauh dari sisinya.
"Ini bukan cara yang baik untuk berterima kasih," ujar Dipta datar dengan sorot mata dingin."Apa maksudmu? Kenapa aku harus berterima kasih padamu?" tanya Aina masih dengan teriakan nyaringnya.
"Barusan kau menangis sesenggukan saat tidur. Aku membangunkanmu untuk membebaskanmu dari apapun yang membuatmu menangis itu. Bukankah seharusnya kau berterima kasih?" Jawab Dipta tak kalah sinis.
Tuhan, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita seperti Aina?
"Benarkah?" Nada bicara Aina melunak. Dia terdiam mengingat apa yang membuatnya menangis tadi.
"Kenapa kamu menangis seperti itu tadi? Apa kau bermimpi buruk?" Tanya Dipta penasaran.
Aina masih terdiam. Ditatapnya mata Dipta lekat-lekat. Tersirat keraguan dalam tatapannya sebelum akhirnya dia menjawab, "Bukan urusanmu. Tidurlah. Ini sudah larut." Lalu kembali merebahkan diri membelakangi suaminya.
Dipta menghela nafas kasar. Dirinya sungguh lelah menghadapi Aina. Entah bagaimana caranya mendapatkan hati perempuan itu. Baginya, Aina seperti gunung es kokoh yang sangat sulit dia taklukan.
//
02.15 WIB
Aina kembali terbangun dengan nafas memburu dan dada berdebar. Butir-butir kecil keringat membasahi pelipis dan anak rambutnya. Wajah cantiknya memucat dengan bibir mengatup rapat, terlihat begitu tegang. Seperti biasa, dia kembali bermimpi buruk. Mimpi yang menemaninya selama hampir 5 tahun terakhir.
Diraihnya gelas di atas nakas dan meneguk air di dalamnya untuk menenangkan diri. Perlahan, dia menurunkan kaki dari ranjang dan beranjak menuju kamar mandi. Sekilas dilihatnya wajah pulas sang suami yang masih berada di alam mimpi. Begitu damai dan-ehm, tampan.
Dipta memang tampan, Aina mengakui itu. Wajahnya yang teduh dengan mata bulat bermanik hitam pekat, alis tebal, hidung mancung, bibir sensual, rahang tegas, serta tubuh tegap dengan bahu lebar dan dada membidang. Sungguh mahakarya sempurna dari Yang Maha Kuasa, bukan? Belum lagi tutur katanya yang begitu sopan dan perlakuan yang menenangkan. Selalu mengalah, sabar meski Aina bersikap kasar dan ketus. Tak pernah sekalipun Dipta membalas perlakuan Aina dengan sama kasarnya. Dia selalu lembut, baik perkataan maupun perbuatan.
Dipta selalu memperlakukan Aina seperti tuan putri. Bukankah dia adalah jodoh sempurna yang dikirimkan Tuhan untuknya?
Buru-buru Aina menggelengkan kepala, mengusir segala khayalan tentang suaminya. Ia meneruskan langkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Saat keluar, dilihatnya Dipta sudah duduk di tepi ranjang sambil menggeliat.
"Kamu sudah bangun? Kenapa tidak membangunkanku?" tanya Dipta dengan suara serak khas bangun tidur.
Aina melengos. Meraih mukena dan sajadah dari meja samping lemari kemudian menggelarnya.
"Aku berniat membangunkanmu setelah sholat. Tapi ternyata kamu sudah bangun lebih dulu." Aina menjawab sembari mengenakan mukena.Oh benar. Mereka sudah tidak lagi berbicara formal sejak dua bulan lalu, saat pertama kali pindah ke rumah yang sekarang mereka tempati. Aina juga sudah belajar memanggil Dipta dengan sebutan 'Mas', bukan dokter lagi seperti biasanya.
Sejujurnya, Aina enggan melakukan itu. Namun, dia juga tidak punya kata yang tepat untuk menyanggah saat Dipta berkata bahwa mereka harus membiasakan diri bersikap seperti suami istri. Aina tidak bodoh. Dia tidak ingin rumah tangganya yang kacau ini diketahui orang lain. Oleh karena itu, mau tidak mau Aina menurut.
Wanita berambut hitam sepinggang itu memulai sholat malamnya saat Dipta berada di kamar mandi. Setelah selesai, dia bangkit dan duduk di tepi ranjang. Membuka laptop. Sedangkan Dipta gantian menempati sajadah Aina dan menunaikan sholat di atasnya.
"Kamu sedang apa?" Dipta bertanya sambil melipat sajadah.
Aina hanya melirik dari sudut mata kemudian menjawab singkat, "Menulis."
"Kamu tidak ingin tidur lagi? Masih jam segini." Tanya Dipta lagi. Dia membaringkan tubuh di ranjang dengan posisi miring, menghadap Aina yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuan.
Aina hanya menggeleng sebagai jawaban, tanpa mengalihakn pandangan dari layar laptop.
"Baiklah. Kamu jangan terlalu memaksakan diri. Istirahat jika lelah," balas Dipta sebelum memejamkan mata dan perlahan kembali ke alam mimpi.
***
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m