Beranda / Rumah Tangga / Jangan Sesali Kepergianku / BAB 4. Bukan Milikmu, Tapi Milik Naura

Share

BAB 4. Bukan Milikmu, Tapi Milik Naura

Penulis: Ainindah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 11:42:17

Javran sudah tertidur pulas di sampingku. Diam-diam kepalaku masuk ke dalam selimut dan mulai membaca semua isi chat antara Javran dan Naura selama lima tahun terakhir. Awalnya mereka begitu canggung, tapi perlahan-lahan menghangat. Naura mengirimkan fotonya lebih dulu—lalu Javran. Hari-hari berlalu dan mereka intens sleep call dan video call. Rupanya selama ini, Naura menggunakan latar belakangku yang kuliah di Dongyang—tapi menggantinya sebagai bekerja.

Sekarang aku jadi tahu alasan Naura begitu memaksaku—untuk mengirimkan foto di kelas, di depan kampus, hingga saat jadi figuran di Hengdian. Bahkan saat makan pun Naura selalu merengek ingin tahu. Kupikir waktu itu, Naura melakukannya karena begitu ingin pergi ke Tiongkok, jadi aku menuruti semua keinginannya tanpa curiga. Tapi ternyata, semua foto dan video yang kukirim untuk Naura, semuanya dikirim ke Javran.

Naura menfarming dirinya sebagai gadis yang independent, cerdas, pekerja keras dan tahan banting. Beberapa kali Javran ingin pergi ke Tiongkok untuk bertermu dengan Naura, tapi Naura selalu bisa menolaknya dengan berbagai alasan. Bahkan, ketika Javran tetap diam-diam datang, Naura tidak membalas.

Bagaimana Naura bisa menemui Javran, kalau dia saja ada di Jakarta?

Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Naura. Kenapa dia bisa berbohong pada Javran—pria yang begitu mencintainya dengan dalam? Bahkan sampai sekarang pun…

Aku tersentak saat sebuah tangan tiba-tiba menyusup ke pinggangku. Embusan napas hangat Javran terasa di tengkukku. Seluruh tubuhku tiba-tiba berubah kaku. Apa Javran mengira aku adalah guling?

“Istriku…” Javran mengigau. “Akhirnya kamu jadi istriku, Naura.”

Aku menutup aplikasi chat, kemudian mematikan ponsel. Perlahan, aku menyingkirkan tangan Javran dari pinggangku. Mendengarnya mengigau nama Naura—dan melihatnya begitu mencintai Naura membuatku ingin memberitahu Javran kebenarannya—sebelum semua jadi semakin terlambat.

Sebab, bukan hanya Javran saja yang akan terluka jika tahu kenyataannya—melainkan juga aku.

Aku takut menjadi terbiasa dengan perhatian Javran dan kehagatan keluarga ini—hingga melupakan posisiku sendiri yang hanya seorang pengganti.

Tapi jika aku memberi tahu Javran kebenarnya… apakah kebebasan yang selama ini aku idamkan akan ikut lenyap?

Kugigit bibir bawahku dalam-dalam.

Tidak.

Aku tak boleh egois, kan?

***

Saat membuka mata, yang pertama kali kutemukan adalah wajah Javran. Aroma yang pertama kali kucium adalah aroma bodywash dan parfum segar yang menguar dari tubuh Javran, dan sentuhan yang pertama kali kurasakan adalah tangan hangat Javran yang membelai pipiku.

“Good morning, Sayang,” sapanya, mengulas senyum secerah matahari pagi. “Gimana tidurmu tadi malam?”

Javran meraih tanganku dan membantuku duduk. Dia menaruh sebuah cangkir ke tanganku. Isinya adalah cairan berwarna kecokelatan—dengan bau yang asam dan menyengat.

“Kamu pernah bilang kalau selalu minum teh kombucha tiap bangun tidur,” ujarnya, riang. “Jadi dua minggu lalu, aku beli anakan scoby dan bikin teh sendiri di rumah. Sekarang udah jadi tehnya. Coba kamu minum. Rasanya terlalu asem atau udah enak?”

Kebiasaan minum teh kombucha adalah kebiasaan Naura, bukan aku. Naura bilang tubuhnya terasa ringan jika minum teh itu setiap hari. Kalau aku lebih suka minum air putih hangat, lalu olahraga ringan dan sarapan. Aku pernah coba teh ini satu kali dan aku tidak suka dengan rasaya yang asam dan bersoda.

“Aku…” kutatap cairan berwarna kecokelatan itu. Ragu-ragu.

“Kenapa? Kamu khawatir rasanya nggak enak? Atau aku ambilin teh dari rumah kamu aja?” tanya Javran lagi, begitu perhatian.

Aku buru-buru mengibaskan tangan. Langsung kutenggak teh itu—lupa kalau soda-nya terlalu kuat. Alhasil, aku terbatuk-batuk dan hidungku terasa perih.

Javran menepuk-nepuk punggungku pelan. Nada khawatir dalam suaranya terdengar tulus.  “Hati-hati minumnya, Sayang. Jadi tersedak gini kan.”

Dia juga mengusap sudut bibirku yang basah dengan ujung jempolnya. “Nanti kita ke rumah kamu oke? Kita ambil teh kombucha-nya.”

Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Javran tersenyum. Dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku kilat. Mataku melotot terkejut. Jantungku berdebar kencang seolah hendak keluar dari tempatnya.

“Morning kiss.” Javran mengedipkan mata jail. “Mulai sekarang kamu harus terbiasa.”

****

Saat tiba di lantai bawah, Tante Melati sedang meletakkan berbagai macam menu makanan yang baru matang ke atas meja makan. Aroma-nya tercium dari sini—sedap dan menggugah selera. Tiba-tiba aku merasa menjadi menantu yang buruk—padahal aku hanya pengantin pengganti.

“Naura, sini. Ayo sarapan dulu. Mama udah masak banyak hari ini.” Tante Melati mendekatiku dan menarik tanganku untuk duduk di kursi. “Javran bilang kamu suka ikan gurame, jadi Mama bikin gurame goreng saus padang.”

Padahal aku benci sekali makan ikan karena baunya amis…

“Ada cumi, udang, sama ayam goreng. Masak banyak Mama hari ini.” Tante Melati meletakkan sepiring gurame ke depanku. “Kamu harus cobain dulu.”

Javran duduk di sampingku sambil pasang muka cemberut. “Masa makanan sebanyak ini nggak ada makanan favoritku sih.”

“Kamu kan udah tiap hari Mama masakin. Sekarang giliran menantu Mama yang paling cantik.” Tante Melati tersenyum cerah ke arahku. “Biarin si Javran ambil makanannya sendiri. Hari ini, kamu yang jadi ratu-nya.”

Kalau sosok yang berada di meja ini adalah Naura, dia pasti akan tersenyum sumringah, memeluk Tante Melati, memuji masakannya dengan wajah ekspresif, lalu makan dengan lahap. Sama seperti ketika Naura menghadapi Mama dan Tante Sundari. Tapi karena akulah yang ada di sini—yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum canggung, mengambil garpu dan mencoba satu suapan dengan kikuk.

“Gimana rasanya?” Tante Melati begitu antusias. “Ada yang kurang?”

“Enak banget, Ma. Ini gurame saus padang terenak yang pernah aku makan,” ujarku, berusaha tersenyum dan menelan daging ikan itu sampai habis. “Mama dulu mantan koki restoran, ya?”

Tante Melati tertawa sumringah.  Tangannya refleks menepuk bahuku. “Ah, bisa aja kamu. Tapi dulu Mama emang sempet kursus masak sama chef terkenal sih. Itu loh, chef yang mukanya ganteng tapi galak dan sinis. Chef Juna.”

“Wah, keren banget.” Aku bertepuk tangan sekali. Benar-benar antusiasa karena dulu aku juga mengidolakan chef Juna. “Kok bisa sih Ma? Mama punya kenalan orang dalam?”

Mama mengibaskan tangan. “Chef Juna itu ponakannya temen Mama.”

“Naura, jangan tanya mamamu soal chef Juna. Nanti dia cerita dari Sabang sampai merauke, terus sarapan kita jadi makan siang.” Papa Tomi menatap istrinya jail. “Istriku, duduk sini dulu.”

Beliau lalu kembali ke posisi duduknya dengan cemberut, lalu mengambilkan makanan untuk Om Tomi. Melihat suasana sarapan yang begitu hangat membuatku teringat hari-hariku di Dongyang. Saat sarapan, aku selalu sendiri—dan lebih banyak makan makanan instan. Saat pulang kuliah—aku selalu pergi ke minimarket untuk mencari makanan yang hampir kedaluwarsa—agar harganya lebih murah. Terkadang aku hanya bisa makan sehari sekali.

Bahkan saat makan dengan keluargaku sendiri, rasanya tak pernah sehangat ini. Semua orang akan memperhatikan Naura dan bertanya apa yang ingin Naura makan, sementara aku akan mendapat lauk sisa yang tidak diinginkan Naura. Selalu seperti itu. Aku harus mengah karena Naura memiliki fisik lemah dan memiliki banyak pantangan.

Javran menyenggol lenganku pelan. Dia berbisik, “Aku juga mau ikan gurame-nya dong.”

“Ah, iya.” Aku meraih piring Javran dan mengambilkan lauk untuknya. “Sama apa lagi? Udang?”

“Aku alergi udang. Kamu lupa, ya?” Javran cemberut.

Kugigit bibir bawahku. “Aku cuma gugup kok. Nggak lupa.” Tanganku masih terangkat di udara. Kutatap dia dengan sorot hati-hati. “Jadi kamu mau makan apa lagi selain ikan gurame?”

“Ayam.”

Aku mengangguk. Setelah selesai dengan lauk, kukembalikan piring itu kembali pada Javran. Dia memakannya dengan lahap. Perlahan-lahan, rasa gugupku mulai mencair.

Konyol sekali.

Padahal aku bertekad untuk memberitahu Javran kebenarannya, tapi sekarang aku malah takut ketahuan.

***

Sore harinya, kami pergi ke rumah lamaku untuk mengambil kombucha. Sepanjang perjalanan, aku terus meremas jari-jariku karena gugup. Berkali-kali aku melirik Javran, menunggu waktu yang tepat untuk memberitahunya soal Naura. Seolah tahu kegelisahanku, Javran bertanya.

“Kamu keliatan gugup. Ada apa?”

Aku mengalihkan tatapan. “Nanti setelah kita pulang dari rumahku, aku mau mampir ke sebuah tempat, bisa?”

Benar. Lebih baik mencari tempat yang nyaman untuk bicara.

Javran mengangguk dan tersenyum. “Oke.”

“Oh iya. Kamu nggak lupa kan, bulan depan kita ke Batam buat acara ngunduh mantu?” ujar Javran. “Besok Mama mau ngajakin kamu ke butik buat fiting gaun terakhir.”

Aku mengangguk. “Iya.”

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Javran sudah sampai di pekarangan rumahku. Rumah yang belum aku kunjungi selama hampir tiga tahun. Kemarin waktu pulang untuk menghadiri pernikahan Naura—dari bandara aku langsung bergegas ke rumah sakit karena mendapat kabar kalau Naura kecelakaan. Setelah itu aku langsung ke hotel untuk persiapan akad esok harinya.

“Sayang? Kenapa bengong?”

Aku menoleh. Rupanya Javran sudah turun dan membukakan pintu mobil untukku. Aku meraih tangannya dan turun.

“Ini kedua kalinya aku datang ke rumah kamu setelah lamaran,” ujar Javran, saat kami melewati pekarangan menuju rumah utama. “Waktu itu aku terlalu gugup, jadi nggak liat sekitar dengan baik. Ternyata rumah kamu unik banget, ya. Ada banyak patung dan ukiran kayu di tiang dan kanopi-nya.”

“Papa suka banget koleksi barang-barang klasik. Bahkan furniture rumah semuanya dari kayu yang ada ukirannya. Belum lagi koleksi patung kayu dan pajangan-pajangan unik lain. Nanti aku kasih liat seperangkat meja kursi di taman yang bentuknya kayak capit kepiting.”

Javran terkekeh renyah. “Capit kepiting? Beneran?”

“Iya.” Aku tertular senyum Javran. “Kamu nggak akan percaya sebelum liat send—.”

“Naura, Javran.”

Mama muncul dari ambang pintu dan tersenyum cerah. “Kenapa nggak bilang-bilang kalau kalian datang? Mama kan bisa siapin sesuatu.”

Javran meraih tangan Mama dan menyaliminya dengan hormat.

“Kami ke sini cuma mau ambil kombucha-nya Naura kok Ma, jadi nggak perlu repot-repot.”

“Oalah, teh asem itu, ya?” Mama meraih lengan Javran dan menariknya masuk. “Kebetulan Om sama Tante-nya Naura yang dari Surabaya masih di sini. Kalian ngobrol aja dulu, biar Mama sama Naura yang ambilin teh-nya.”

Mama menoleh ke arahku. Matanya seolah mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan padaku.

Setelah mengantar Javran ke ruang keluarga, Mama membawaku ke taman yang berada di belakang rumah dengan tergesa-gesa. Langkahnya juga terlihat gusar seolah sedang dikejar-kejar sesuatu. Lalu kalimat yang keluar dari mulutnya kemudian, membuatku sejenak tak bisa berkata-kata,

“Kamu udah tahu kan, Javran dan keluarganya sebaik apa ke Naura?” Mama menatapku dingin. “Mama peringatin kamu sebelum terlambat, Naima. Jangan berani nyimpen rasa untuk Javran atau berpikir buat rebut dia. Sejak awal, Javran adalah milik Naura, bukan milik kamu. Kamu harus pergi dalam diam setelah Naura bangun dari komanya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 11. Sosok Dari Masa Lalu

    Aku sudah selesai mandi dan berganti baju. Rambutku masih sedikit basah, menetes pelan di tengkuk, membuat kulitku merinding. Kaus longgar dan celana santai yang kupakai terasa agak lembap dan tidak nyaman karena tubuhku belum sepenuhnya kering. Tapi aku terlalu gelisah untuk memperhatikan semua itu.Ketika mengecek ponsel, mataku langsung membesar. Jantungku mencelos.Satu pesan dari Mama.‘Naura sudah sadar dari komanya.’Tanganku yang menggenggam ponsel langsung gemetar. Aku terdiam beberapa detik, mencoba mencerna isi kalimat itu. Rasanya seperti waktu berhenti, mendadak kosong dan hening.Lalu tubuhku tersentak. Aku buru-buru meraih tas yang tergantung di belakang pintu, menyampirkannya ke bahu, dan keluar dari kamar. Langkahku terburu-buru menuruni anak tangga.Saat menoleh ke ruang tengah, Javran tidak ada di sana. Mungkin dia sudah kembali ke kantor. Dan untuk kali ini, aku tidak akan mencarinya. Mungkin memang lebih baik begitu.Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti si

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 10. Naura Sudah Sadar

    JAVRAN POVSetelah kami kembali dari PRJ, Naura langsung tidur. Kupikir dia begitu karena kelelahan, jadi aku tak mempermasalahkannya. Aku pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan bahan presentasi besok. Tapi saat aku kembali ke kamar pukul satu dini hari, aku bisa melihat Naura yang terlihat gelisah dalam tidurnya.Dahi hingga leher Naura basah oleh keringat. Saat kusentuh, hawa panas langsung menusuk kulitku. Buru-buru aku mengambil handuk kecil di lemari dan mengelap keringat di dahi Naura. Setelah itu, aku membasahinya dengan air hangat untuk mengompres keningnya. Kugenggam tangan istriku dan duduk di sampingnya.Kejdian saat di mobil tadi kembali tergiang.Penolakan Naura. Tatapan tajam dan penuh amarahnya. Kenapa Naura terlihat benci saat aku menciumnya? Sekuat apapun aku berpikir, aku masih tak menemukan jawabannya. Apa jangan-jangan ada yang Naura sembunyikan dariku?Terkadang aku selalu tatapannya yang menyorot begitu jauh, seolah-olah jiwanya tidak berada di sampingku.“Apapun

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 9. Ma, Aku Juga Putrimu

    Saat kesadaranku kembali, aku langsung mendorong dada Javran menjauh. Kuusap bibirku dengan punggung tangan. Napasku terengah-engah. Tatapanku tajam saat melihat Javran.Tanpa sadar aku menaikkan nada suara. “Jangan cium aku tanpa persetujuanku!”Javran mengerjap, terkejut. Ada sorot terluka di sepasang matanya. “Naura, aku---” dia kehabisan kata-kata, sejenak. “Apa tadi aku terlalu kasar? Maafin aku karena nggak bisa nahan diri. Aku—”Kualihkan pandangan, kupejamkan mata sejenak dan mengatur napasku. Tidak seharusnya aku membentak Javran. Itu bukan salahnya. Jelas ini semua karenaku yang tak segera menghindar saat wajahnya mendekat. Salahku karena menikmati ciumannya hingga terlena.“Aku capek banget hari ini,” ujarku, dengan nada lemah, sambil menatap ke luar jendela. “Aku mau cepet pulang dan istirahat di rumah.”“Baiklah.”Javran kembali ke posisi duduknya, mulai mengemudi dalam diam.Sementara itu, aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rasa ciuman Javran masih tertinggal di sana

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 8. Ciuman Pertama

    Jika Tante Melati ingin bertindak seolah-olah dia adalah istri Javran—dengan menyiapkan sarapan, makan malam, hingga bekal untuk Javran, maka aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan berusaha keras mendahuluinya memasak—hanya untuk membuat Javran terkesan.Tiba-tiba aku menyadari satu hal yang penting: aku tak perlu berusaha keras untuk menyenangkan siapapun di rumah ini. Karena pada akhirnya, semua itu akan jadi milik Naura.Aku bahkan sudah tak peduli jika Tante Melati akan menfitnahku—atau bahkan mempermalukanku di depan Javran. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah bertahan. Bertahan sampai Mama membuat keputusan antara membiarkanku yang membongkar permainan ini—atau dia sendiri yang membongkarnya.“Naura… Naura. Kerjaanmu di rumah ini cuma makan, tidur dan nonton drama china.” Tante Melati duduk disampingku yang sedang nonton drama di ruang keluarga. Semua camilan kesukaanku baru saja diantar ojol, tergeletak begitu banyak di atas meja.Kalau tidak sekarang, kapan lagi ak

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 7. Hujan dan Payung

    Karena aku adalah Naima, aku tak terlalu sakit hati saat mendengar ucapan Tante Melati. Malahan aku kasihan pada Naura—jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu sendiri.Ah, tidak. Kenapa aku harus kasihan?Naura justru punya banyak akal untuk menghadapi manusia seperti Tante Melati dibanding aku. Tapi untungnya, aku menghabiskan nyaris seumur hidupku di samping Naura. Jadi aku tahu, trik apa yang bisa dipakai untuk menghadapi manusia munafik seperti Tante Melati. Naura telah mengajariku banyak hal tentang bagaimana cara memanipulasi orang lain.Karena tak bisa mempraktikannya pada keluargaku, aku bisa mencobanya pada Tante Melati.“Aku nggak pernah maksa Mas Javran buat bantuin bisnis keluargaku, Ma, Mas Javran sendiri yang mau,” jawabku, dengan nada tenang. “Mungkin Mas Javran ngelakuin itu karena pengin dapat pujian dari papa dan mamaku? Dia ingin dicap jadi menantu yang baik dan pengertian.”Bola mata Tante Melati berkilat, dipenuhi amarah yang siap meledak. Dia menunjuk-nunjuk

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 6. Pesona Adik Ipar

    “Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”Javran menatapku singkat, kem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status