Selepas resepsi yang panjang dan melelahkan, mobil keluarga Javran membawa kami ke rumah barunya di kawasan elit Jakarta Selatan. Jalan-jalan yang dipenuhi pohon rindang mengantar kami ke rumah dua lantai dengan pagar putih dan taman kecil yang asri. Saat mobil berhenti di depan garasi, kulihat lampu-lampu taman menyala lembut, menyambut kedatangan kami.
Pintu mobil di sampingku terbuka. Ibu mertua menyambutku dengan senyum ramah. Beliau meraih jemariku lembut, membantuku keluar dari mobil.
“Hati-hati,” ujarnya, lembut.
Aku mengangguk dan keluar dari mobil.
Setelah itu, kami berjalan beriringan memasuki rumah mewah keluarga Javran. Tante Melati memeluk lenganku erat-erat.
“Dulu Mama nentang banget keputusan Javran buat menetap di Jakarta dan jauh dari keluarga.” Tante memulai ceritanya. “Javran itu putra kami satu-satunya. Sejak kecil kami selalu kasih apapun yang dia inginkan. Hidupnya nggak pernah kekurangan uang, cinta dan kasih sayang. Tapi saat udah dewasa, dia malah ninggalin keluarga demi seorang wanita.”
Aku merasa tidak nyaman mendengar ucapan Tante Melati. Apa beliau akan jadi mertua jahat seperti di drama-drama? Kenapa dia tiba-tiba membicarakan soal ketidaksetujuannya atas pernikahan Javran dan Naura.
Tante Melati tiba-tiba tersenyum manis. “Tapi waktu lihat kamu pertama kali, Mama langsung ngerti sama keputusannya. Kamu secantik ini. Gimana Javran nggak terpesona?”
Pujian itu jelas tidak ditujukan padaku. Tapi kenapa aku malah tersipu?
Tapi aku tetap mengangguk dan tersenyum lebar. “Makasih, Ma.”
“Javran waktu kecil itu manja banget. Kalau mau apa-apa selalu minta ke ibunya. Dia nggak mau kerja keras karena ngerasa udah bisa dapetin semuanya dengan mudah. Javran tumbuh jadi pemalas dan punya tempramen buruk.” Melati masih terus bercerita. “Sampai-sampai Mama ngerasa udah salah mendidik Javran.”
Kehidupan Javran bak di negeri dongeng. Dia hidup tanpa kesusahan dan selalu bergelimang kasih sayang. Jika dibandingkan denganku yang sejak kecil hidup sebagai pengganti Naura, bukankah kami saling bertolak belakang?
“Tapi sejak kenal kamu, sifat Javran perlahan-lahan berubah.” Tante Melati menatapku dengan senyum bangga. “Jiwa kompetitif Javran bangkit dan dia jadi punya tujuan. Demi nikahin kamu dan tinggal di Jakarta, Javran kerja mati-matian selama lima tahun terakhir. Dan hasilnya bisa kamu lihat sekarang. Rumah mewah ini, dan cabang baru Pranaja Group di Jakarta.”
Tante Melati mengusap bahuku lembut, “Terima kasih, karena kamu udah ngubah sifat Javran jadi lebih baik.”
Aku hanya tersenyum palsu. Yang Tante Melati bicarakan bukan aku, melainkan Naura. Aku merasa tidak nyaman menerima pujiannya. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa? Jadi aku hanya tersenyum dan tersenyum sampai gigiku kering.
“Javran pernah bilang kalau kamu kerja di Hengdian.” tanyanya lagi, tiba-tiba berubah antusias. “Mama suka banget nonton dracin. Apa kamu pernah ketemu sama Bai Lu? Anak itu favorit Mama. Semua drama-nya udah Mama tonton.”
Aku agak terkejut mendengarnya. Sebenarnya cerita apa yang sudah dikarang Naura pada Javran? Selama ini Naura hanya tinggal di rumah karena fisiknya lemah. Tapi tadi Javran juga membahas soal tinggal di Dongyang dan sekarang Hengdian.
Yang bekerja di Hengdian itu aku, bukan Naura. Lebih tepatnya, aku kerja di sana saat libur semester. Seringnya aku ikut jadi figuran kecil—tanpa dialog—saat syuting drama besar. Wajahku yang masih memiliki darah chinese dari nenek membuatku terlihat seperti warga lokal sana. Kadang aku jadi petugas bersih-bersih atau mengurus catering, dan ikut vendor. Bisa dibilang, kerjaku di sana serabutan.
Ngomong-ngomong, Hengdian adalah studio film terbesar di China—lebih terpatnya di Asia. Drama-drama kolosal dengan budget besar rata-rata syuting di sana. Aku bisa bekerja sekaligus melihat-lihat proses syuting yang mendebarkan—juga melihat aktor favoritku bermain laga. Membayangkan soal Hengdian membuatku tiba-tiba rindu dengan Dongyang, kota tempat tinggalku.
Tanpa sadar aku tersenyum. Kali ini bukan terpaksa, melainkan tulus dari hatiku. “Aku belum pernah kerja di rumah produksi yang bintang utamanya Bai Lu. Tapi aku pernah lihat sekali. Waktu ikut vendor acara booting ceremony drama terbarunya Bai Lu.”
“Wah, beneran?” Mata Tante Melati langsung berbinar-binar seperti ikan koi. “Bai Lu aslinya gimana? Pasti cantik ba—"
“Udah, Ma. Sekarang giliranku.” Javran tiba-tiba muncul dan memotong kalimat Tante melati. Dia meraih pinggangku dengan lembut sembari tersenyum jail. “Mama masih punya waktu buat ngobrol sama Naura besok. Sekarang giliranku.”
Pipiku mendadak panas. Aku buru-buru mengalihkan tatapan karena canggung. Wajah tampan Javran memang sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Aku tidak boleh terpesona padanya karena aku hanyalah pengantin pengganti.
“Astaga bocah satu ini.” Tante Melati tertawa sambil menepuk bahu Javran keras. “Udah nggak tahan, ya?”
“Iya.”
Jawaban to the point Javran membuat mataku melotot.
“Jangan langsung brutal. Jangan maksa Naura juga. Naura pasti capek karena acara sejak pagi.” Tante Melati menatap putranya dengan sorot serius. “Mama selalu ngajarin kamu jadi cowok gentle dan beradab sama perempuan.”
Javran tiba-tiba mengecup pipi sang mama. Dia tersenyum lembut. “Iya, Ma, aku tahu.”
“Javran itu udah dewasa, Ma. Nggak usah terus-terusan diingetin nanti gumoh.” Om Tomi meraih tangan istrinya dan tersenyum. “Sekarang Mama sama Papa aja. Biarin Javran urus istrinya sendiri.”
Tante Melati mengerucutkan bibir, sambil bersandar di bahu sang suami. Aku yang melihat interaksi mereka tiba-tiba merasa iri. Keluarga Javran begitu harmonis dan hangat, bahkan pada menantu yang baru mereka temui dua kali. Naura beruntung sekali mendapat keluarga yang baik padanya—dan juga suami yang berjuang untuknya—serta menghormatinya sebagai perempuan.
“Nah, sekarang…”
Aku memekik terkejut saat Javran tiba-tiba membopong tubuhku. Tanganku refleks mencari lehernya untuk berpegangan. Dia tersenyum jail saat tatapannya bertemu denganku. Wajahnya mendadak mendekat, lalu berbisik di telingaku, “Saatnya kamu nagih janji yang udah aku buat.”
Keningku berkerut bingung.
“Jangan bilang kamu lupa?” Javran terlihat kecewa.
Gawat. Sekarang aku harus bagaimana?
“Nggak apa-apa kalau kamu lupa. Biar aku ingetin lagi,” lanjut Javran lagi, dengan senyum lebar. Dia lalu mulai berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat di mana kamar pengantin kami berada.
Aku harus mencari alasan supaya Javran tidak menyentuhku malam ini. Tapi alasan apa?
***
Ternyata janji yang dimaksud Javran adalah membantu Naura untuk melepas aksesoris di kepala, menguraikan sasak rambut, hingga memijat bahu dan kaki Naura. Javran melakukannya dengan begitu telaten. Matanya tak lepas dari wajahku di pantulan cermin. Aku duduk di depan meja rias sementara Javran di belakangku.
“Kamu keliaran tegang,” ujar Javran, saat tangannya mulai melepaskan hiasan rambutku. Bibirnya mengulum senyum. “Aku nggak akan minta hakku malam ini. Aku tahu kalau kamu pasti capek.”
Aku mengangguk. “Makasih.”
“Sayang-nya mana?”
Aku mengerjab. Bingung.
“Kamu kan selalu panggil aku Sayang. Tapi sejak akad dan resepsi, aku nggak pernah denger kamu panggil aku sayang.” Javran cemberut. “Apa kamu mau ubah panggilan sayang kita?”
Aku meringis sambil meremas jemariku gugup. “Aku cuma belum terbiasa.”
Sejak lahir sampai hari ini, aku tidak pernah pacaran. Hidupku sibuk digunakan untuk mengurus Naura, menuruti permintaannya, dan mencapai semua mimpi-mimpinya. Tak pernah sekalipun aku berpikir untuk memiliki pacar atau membangun hubungan romansa. Tapi bahkan setelah aku mendapatkan semua itu, tak pernah sekalipun aku mendapat pujian. Justru Naura yang selalu mendapat apresiasi atas semua pencapaian yang kulakukan.
Seumur hidup, aku selalu jadi bayang-bayang Naura. Rasanya begitu muak…
“Kamu ngelamunin apa sih?”
Aku tersentak saat Javran tiba-tiba berbisik di telingaku. Refleks aku berdiri dan mundur satu langkah.
“Maaf, aku udah bikin kamu terkejut.” Javran mengangkat kedua tangannya panik. “Aku beneran nggak bermaksud—”
“Nggak apa-apa,” potongku. Berada di kamar yang sama dengan pria yang baru kutemi belum ada sehari membuatku tiba-tiba merasa tidak nyaman. “Di mana kamar mandinya? Aku mau ganti baju dulu.”
“Di sana.” Javran menunjuk pintu bercat di sisi kiri. “Aku udah taruh semua barang-barang kamu di walkin closet. Sebelahan sama punyaku.”
Aku mengangguk dan menggumamkan terima kasih, kemudian berlalu dari hadapannya.
Javran begitu baik dan mencintai Naura begitu tulus, tapi aku malah membohonginya habis-habisan. Perasaan bersalah itu mencengkeram dadaku dan meremasnya dengan kuat. Kuharap Naura segera bangun, agar aku tidak perlu memainkan sandiwara ini lebih lama lagi.
Ah, tidak. Apa aku beri tahu saja kebenarannya pada Javran? Javran tidak terlihat seperti orang jahat. Dia pasti akan paham jika aku menjelaskannya dengan hati-hati…
Naura tidak tahu kalau Naima sedang hamil, karena Naima menutupi perutnya yang membuncit dengan pakaian lebar. Sengaja—agar Naura tidak bertanya dan berakhir dengan rasa curiga. Selain itu, Naima tak mau melibatkan Irgian lagi dalam huru-haranya dengan Naura.“Aku… minta maaf,” ujar Naura, dengan susah payah. Suaranya terdengar serak dan mengerikan. “Maaf karena udah ngambil Javran dari kamu, juga ngambil semua perhatian dan kasih sayang Mama dan Papa dari kamu…”“Sejak awal Javran emang tunangan kamu. Jadi kenapa kamu bilang kamu ngambil Javran dariku?”Kalau diingat-ingat lagi, Naura tak pernah membahas soal Naima yang menggantikan posisinya di meja akad, kan? Saat Javran menyeret Naima untuk minta maaf pada Naura waktu itu, Naura hanya menatap Naima dengan sorot penuh kerinduan, dan meminta Naima untuk tinggal lebih lama. Dia tak pernah menyalahkan Naima, atau bicara kejam padanya.Sebenarnya apa yang Naura pikirkan selama ini?“Sejak awal, aku emang nggak punya niat untuk nikah sa
Jakarta.Kota yang sampai sekarang masih membuat Naima tak terbiasa. Apalagi rumah sakit ini, adalah rumah sakit yang sama dengan tempat Naura dirawat terakhir kali. Lokasi taman dimana Mama memarahi Naima habis-habisan pun masih sama bentuknya, tidak berkurang sama sekali.“Irgian! Kenapa kamu bisa di sini? Bandung gimana? Udah aman?” tanya seorang dokter muda, saat melihat Irgian yang berjalan di sisi Naima.“Lagi nganterin istri jengukin saudaranya,” balas Irgian, tanpa rasa canggung sama sekali.“Anjir kok gue nggak diundang?” tanyanya, dengan mata membulat tak percaya. Dia meninju bahu Irgian main-main. “Lo anggep gue apa, baji ngan?”Naima agak gugup mendengar ucapan pria bername-tag Candra itu. Dia melirik Javran yang ekspresinya tenang tanpa riak. Semoga saja Javran tak mendeteksi keanehan, atau Naima akan kesulitan memberikannya penjelasan.“Masa lo nggak tahu konsep intimate wedding sih?” Irgian tersenyum lebar. “Gue sama Inara sepakat cuma ngundang sodara dari kedua keluarg
“Kemarin gue ketemu sama Naima di Bandung.”Nyaris saja Javran tersedak es kopinya saat mendengar nama Naima disebut.Sudah berbulan-bulan Naima pergi tanpa jejak. Lalu Noah bilang Naima ada di Bandung? Bagaimana bisa? Dan kenapa? Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyusup di hati Javran—perasaan yang hampir tak bisa didefinisikan. Mungkin… lega? Atau justru… rindu? Seluruh tubuh Javran mengkhianatinya. Dia seolah ingin terbang ke Bandung saat ini juga untuk menemui Naima dan memastikan gadis itu baik-baik saja.“Dia udah nikah sama Irgian, temen gue waktu SMA dulu,” lanjut Noah lagi—seketika membuat jantung Javran berhenti berdetak untuk sesaat. Javran tak salah dengar, kan?“Tahu dari mana kalau mereka udah nikah?” tanya Javran, berusaha tetap tenang.Meski hanya pernah bertemu satu kali, Javran masih mengingat Irgian si dokter magang yang Naima temui di rumah sakit. Apa saat bersandiwara dengannya, Naima memang sudah menjalin hubungan dengan Irgian? Tapi kenapa Naima tak melan
BAB 24.“Naima, kamu udah sadar? Gimana perasaan kamu? Apa ada yang sakit?”Baru bangun Naima langsung menemukan wajah Noah dan dicecari banyak pertanyaan. Naima berusaha duduk, dan menyadari kalau dia sedang berada di rumah sakit. Noah dengan sigap membantu memegangi lengan Naima.“Aku udah baik-baik aja kok,” balas Naima, tersenyum. “Makasih karena udah nolongin aku dan bawa aku ke rumah sakit. Kebetulan banget kita bisa ketemu di tangga apartemen itu, di antara sekian banyak tempat.”Noah tersenyum ceria. “Kalau kita bisa ketemu kayak gini, itu berarti tandanya jodoh.”Naima buru-buru mengatakan kebohongan, dengan nada diselipi canda, “Tapi aku udah nikah. Gimana bisa berjodoh? Kamu nggak liat perutku udah besar begini?”Noah terdiam—beberapa saat. “Kalau kamu punya suami, kenapa aku nggak nemuin nomornya di kontak darurat ponsel kamu?”Mata Naima melebar. “Kamu buka ponselku?”Noah mengangguk. Tatapan matanya lurus menatap Naima. “Aku nggak bermaksud buat ngintip privasimu. Tadi k
Lima bulan kemudian…Usia kandungan Naima sudah menginjak tujuh bulan. Perutnya sudah membesar, dan kakinya akan bengkak saat berjalan terlalu lama. Ada sedikit kekhawatiran yang diam-diam menghantui Naima saat mendekati hari kelahiran bayinya; jika Naima pergi bekerja, siapa yang akan meraat bayinya? Naima juga baru pertama kali menjadi seorang Ibu. Dia takut tindakannya yang hanya berdasar naluri dan modal sosmed akan membahayakan bayinya..Saat sedang berada di toilet tempat kerjanya, lagi-lagi Naima mendengar gosip yang tidak mengenakkan,“Denger-denger si Naima itu hamil di luar nikah. Pacarnya kabur setelah tahu dia hamil. Makanya dia pulang pergi kerja sendirian.”“Iya ih. Teh Novi kan satu kost sama si Naima. Katanya dia juga tinggal sendirian di kost. Mana nggak pernah kedatangan tamu lagi.”“Kasihan juga ya, harus kerja banting tulang sendirian. Pacarnya nggak bertanggung jawab banget.”“Emangnya dia nggak punya keluarga?”“Mungkin keluarganya nggak mau nanggung aib kehamila
a “Mas Javran masih belum nemuin keberadaan Naima?” tanya Naura, saat sedang berjalan di koridor rumah sakit bersama Javran. Mereka baru selesai dengan sesi fisioterapi Naura. “Beneran masih belum balik ke kampusnya?”Javran mengangguk. “Aku udah telpon ke kampusnya dan katanya Naima cuti selama satu semester.” Dia menatap Naura dalam. “Kalau kamu tahu asrama atau tempat tinggalnya, aku bisa nyuruh orang buat cari informasi ke sana.”Dua bulan terakhir, Javran mulai menyadari beberapa keanehan dari Naura. Ternyata Naura tak bisa bahasa mandarin—padahal dia sudah bekerja di sana selama tiga tahun. Naura juga tidak tahu apa-apa saat Javran menanyakan beberapa tempat di daerah Dongyang. Karena itu, Javran jadi ingat kalau Naura pernah sengaja menghindar dan tidak dapat dihubungi saat Javran memberi kejutan dengan diam-diam pergi ke China untuk menemuinya.“Naura nggak pernah mau ngasih tahu kalau ditanya soal tempat tinggalnya,” jawab Naura, dengan nada sedih. “Harusnya aku sebagai adik