Home / Rumah Tangga / Jangan Sesali Kepergianku / BAB 3. Keluarga Javran

Share

BAB 3. Keluarga Javran

Author: Ainindah
last update Last Updated: 2025-07-01 11:41:18

Selepas resepsi yang panjang dan melelahkan, mobil keluarga Javran membawa kami ke rumah barunya di kawasan elit Jakarta Selatan. Jalan-jalan yang dipenuhi pohon rindang mengantar kami ke rumah dua lantai dengan pagar putih dan taman kecil yang asri. Saat mobil berhenti di depan garasi, kulihat lampu-lampu taman menyala lembut, menyambut kedatangan kami.

Pintu mobil di sampingku terbuka. Ibu mertua menyambutku dengan senyum ramah. Beliau meraih jemariku lembut, membantuku keluar dari mobil.

“Hati-hati,” ujarnya, lembut.

Aku mengangguk dan keluar dari mobil.

Setelah itu, kami berjalan beriringan memasuki rumah mewah keluarga Javran. Tante Melati memeluk lenganku erat-erat.

“Dulu Mama nentang banget keputusan Javran buat menetap di Jakarta dan jauh dari keluarga.” Tante memulai ceritanya. “Javran itu putra kami satu-satunya. Sejak kecil kami selalu kasih apapun yang dia inginkan. Hidupnya nggak pernah kekurangan uang, cinta dan kasih sayang. Tapi saat udah dewasa, dia malah ninggalin keluarga demi seorang wanita.”

Aku merasa tidak nyaman mendengar ucapan Tante Melati. Apa beliau akan jadi mertua jahat seperti di drama-drama? Kenapa dia tiba-tiba membicarakan soal ketidaksetujuannya atas pernikahan Javran dan Naura.

Tante Melati tiba-tiba tersenyum manis. “Tapi waktu lihat kamu pertama kali, Mama langsung ngerti sama keputusannya. Kamu secantik ini. Gimana Javran nggak terpesona?”

Pujian itu jelas tidak ditujukan padaku. Tapi kenapa aku malah tersipu?

Tapi aku tetap mengangguk dan tersenyum lebar. “Makasih, Ma.”

“Javran waktu kecil itu manja banget. Kalau mau apa-apa selalu minta ke ibunya. Dia nggak mau kerja keras karena ngerasa udah bisa dapetin semuanya dengan mudah. Javran tumbuh jadi pemalas dan punya tempramen buruk.” Melati masih terus bercerita. “Sampai-sampai Mama ngerasa udah salah mendidik Javran.”

Kehidupan Javran bak di negeri dongeng. Dia hidup tanpa kesusahan dan selalu bergelimang kasih sayang. Jika dibandingkan denganku yang sejak kecil hidup sebagai pengganti Naura, bukankah kami saling bertolak belakang?

“Tapi sejak kenal kamu, sifat Javran perlahan-lahan berubah.” Tante Melati menatapku dengan senyum bangga. “Jiwa kompetitif Javran bangkit dan dia jadi punya tujuan. Demi nikahin kamu dan tinggal di Jakarta, Javran kerja mati-matian selama lima tahun terakhir. Dan hasilnya bisa kamu lihat sekarang. Rumah mewah ini, dan cabang baru Pranaja Group di Jakarta.”

Tante Melati mengusap bahuku lembut, “Terima kasih, karena kamu udah ngubah sifat Javran jadi lebih baik.”

Aku hanya tersenyum palsu. Yang Tante Melati bicarakan bukan aku, melainkan Naura. Aku merasa tidak nyaman menerima pujiannya. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa? Jadi aku hanya tersenyum dan tersenyum sampai gigiku kering.

“Javran pernah bilang kalau kamu kerja di Hengdian.” tanyanya lagi, tiba-tiba berubah antusias. “Mama suka banget nonton dracin. Apa kamu pernah ketemu sama Bai Lu? Anak itu favorit Mama. Semua drama-nya udah Mama tonton.”

Aku agak terkejut mendengarnya. Sebenarnya cerita apa yang sudah dikarang Naura pada Javran? Selama ini Naura hanya tinggal di rumah karena fisiknya lemah. Tapi tadi Javran juga membahas soal tinggal di Dongyang dan sekarang Hengdian.

Yang bekerja di Hengdian itu aku, bukan Naura. Lebih tepatnya, aku kerja di sana saat libur semester. Seringnya aku ikut jadi figuran kecil—tanpa dialog—saat syuting drama besar. Wajahku yang masih memiliki darah chinese dari nenek membuatku terlihat seperti warga lokal sana. Kadang aku jadi petugas bersih-bersih atau mengurus catering, dan ikut vendor. Bisa dibilang, kerjaku di sana serabutan.

Ngomong-ngomong, Hengdian adalah studio film terbesar di China—lebih terpatnya di Asia. Drama-drama kolosal dengan budget besar rata-rata syuting di sana. Aku bisa bekerja sekaligus melihat-lihat proses syuting yang mendebarkan—juga melihat aktor favoritku bermain laga. Membayangkan soal Hengdian membuatku tiba-tiba rindu dengan Dongyang, kota tempat tinggalku.

Tanpa sadar aku tersenyum. Kali ini bukan terpaksa, melainkan tulus dari hatiku. “Aku belum pernah kerja di rumah produksi yang bintang utamanya Bai Lu. Tapi aku pernah lihat sekali. Waktu ikut vendor acara booting ceremony drama terbarunya Bai Lu.”

“Wah, beneran?” Mata Tante Melati langsung berbinar-binar seperti ikan koi. “Bai Lu aslinya gimana? Pasti cantik ba—"

“Udah, Ma. Sekarang giliranku.” Javran tiba-tiba muncul dan memotong kalimat Tante melati. Dia meraih pinggangku dengan lembut sembari tersenyum jail. “Mama masih punya waktu buat ngobrol sama Naura besok. Sekarang giliranku.”

Pipiku mendadak panas. Aku buru-buru mengalihkan tatapan karena canggung. Wajah tampan Javran memang sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Aku tidak boleh terpesona padanya karena aku hanyalah pengantin pengganti.

“Astaga bocah satu ini.” Tante Melati tertawa sambil menepuk bahu Javran keras. “Udah nggak tahan, ya?”

“Iya.”

Jawaban to the point Javran membuat mataku melotot.

“Jangan langsung brutal. Jangan maksa Naura juga. Naura pasti capek karena acara sejak pagi.” Tante Melati menatap putranya dengan sorot serius. “Mama selalu ngajarin kamu jadi cowok gentle dan beradab sama perempuan.”

Javran tiba-tiba mengecup pipi sang mama. Dia tersenyum lembut. “Iya, Ma, aku tahu.”

“Javran itu udah dewasa, Ma. Nggak usah terus-terusan diingetin nanti gumoh.” Om Tomi meraih tangan istrinya dan tersenyum. “Sekarang Mama sama Papa aja. Biarin Javran urus istrinya sendiri.”

Tante Melati mengerucutkan bibir, sambil bersandar di bahu sang suami. Aku yang melihat interaksi mereka tiba-tiba merasa iri. Keluarga Javran begitu harmonis dan hangat, bahkan pada menantu yang baru mereka temui dua kali. Naura beruntung sekali mendapat keluarga yang baik padanya—dan juga suami yang berjuang untuknya—serta menghormatinya sebagai perempuan.

“Nah, sekarang…”

Aku memekik terkejut saat Javran tiba-tiba membopong tubuhku. Tanganku refleks mencari lehernya untuk berpegangan. Dia tersenyum jail saat tatapannya bertemu denganku. Wajahnya mendadak mendekat, lalu berbisik di telingaku, “Saatnya kamu nagih janji yang udah aku buat.”

Keningku berkerut bingung.

“Jangan bilang kamu lupa?” Javran terlihat kecewa.

Gawat. Sekarang aku harus bagaimana?

“Nggak apa-apa kalau kamu lupa. Biar aku ingetin lagi,” lanjut Javran lagi, dengan senyum lebar. Dia lalu mulai berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat di mana kamar pengantin kami berada.

Aku harus mencari alasan supaya Javran tidak menyentuhku malam ini. Tapi alasan apa?

***

Ternyata janji yang dimaksud Javran adalah membantu Naura untuk melepas aksesoris di kepala, menguraikan sasak rambut, hingga memijat bahu dan kaki Naura. Javran melakukannya dengan begitu telaten. Matanya tak lepas dari wajahku di pantulan cermin. Aku duduk di depan meja rias sementara Javran di belakangku.

“Kamu keliaran tegang,” ujar Javran, saat tangannya mulai melepaskan hiasan rambutku. Bibirnya mengulum senyum. “Aku nggak akan minta hakku malam ini. Aku tahu kalau kamu pasti capek.”

Aku mengangguk. “Makasih.”

“Sayang-nya mana?”

Aku mengerjab. Bingung.

“Kamu kan selalu panggil aku Sayang. Tapi sejak akad dan resepsi, aku nggak pernah denger kamu panggil aku sayang.” Javran cemberut. “Apa kamu mau ubah panggilan sayang kita?”

Aku meringis sambil meremas jemariku gugup. “Aku cuma belum terbiasa.”

Sejak lahir sampai hari ini, aku tidak pernah pacaran. Hidupku sibuk digunakan untuk mengurus Naura, menuruti permintaannya, dan mencapai semua mimpi-mimpinya. Tak pernah sekalipun aku berpikir untuk memiliki pacar atau membangun hubungan romansa. Tapi bahkan setelah aku mendapatkan semua itu, tak pernah sekalipun aku mendapat pujian. Justru Naura yang selalu mendapat apresiasi atas semua pencapaian yang kulakukan.

Seumur hidup, aku selalu jadi bayang-bayang Naura. Rasanya begitu muak…

“Kamu ngelamunin apa sih?”

Aku tersentak saat Javran tiba-tiba berbisik di telingaku. Refleks aku berdiri dan mundur satu langkah.

“Maaf, aku udah bikin kamu terkejut.” Javran mengangkat kedua tangannya panik. “Aku beneran nggak bermaksud—”

“Nggak apa-apa,” potongku. Berada di kamar yang sama dengan pria yang baru kutemi belum ada sehari membuatku tiba-tiba merasa tidak nyaman. “Di mana kamar mandinya? Aku mau ganti baju dulu.”

“Di sana.” Javran menunjuk pintu bercat di sisi kiri. “Aku udah taruh semua barang-barang kamu di walkin closet. Sebelahan sama punyaku.”

Aku mengangguk dan menggumamkan terima kasih, kemudian berlalu dari hadapannya.

Javran begitu baik dan mencintai Naura begitu tulus, tapi aku malah membohonginya habis-habisan. Perasaan bersalah itu mencengkeram dadaku dan meremasnya dengan kuat. Kuharap Naura segera bangun, agar aku tidak perlu memainkan sandiwara ini lebih lama lagi.

Ah, tidak. Apa aku beri tahu saja kebenarannya pada Javran? Javran tidak terlihat seperti orang jahat. Dia pasti akan paham jika aku menjelaskannya dengan hati-hati…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 11. Sosok Dari Masa Lalu

    Aku sudah selesai mandi dan berganti baju. Rambutku masih sedikit basah, menetes pelan di tengkuk, membuat kulitku merinding. Kaus longgar dan celana santai yang kupakai terasa agak lembap dan tidak nyaman karena tubuhku belum sepenuhnya kering. Tapi aku terlalu gelisah untuk memperhatikan semua itu.Ketika mengecek ponsel, mataku langsung membesar. Jantungku mencelos.Satu pesan dari Mama.‘Naura sudah sadar dari komanya.’Tanganku yang menggenggam ponsel langsung gemetar. Aku terdiam beberapa detik, mencoba mencerna isi kalimat itu. Rasanya seperti waktu berhenti, mendadak kosong dan hening.Lalu tubuhku tersentak. Aku buru-buru meraih tas yang tergantung di belakang pintu, menyampirkannya ke bahu, dan keluar dari kamar. Langkahku terburu-buru menuruni anak tangga.Saat menoleh ke ruang tengah, Javran tidak ada di sana. Mungkin dia sudah kembali ke kantor. Dan untuk kali ini, aku tidak akan mencarinya. Mungkin memang lebih baik begitu.Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti si

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 10. Naura Sudah Sadar

    JAVRAN POVSetelah kami kembali dari PRJ, Naura langsung tidur. Kupikir dia begitu karena kelelahan, jadi aku tak mempermasalahkannya. Aku pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan bahan presentasi besok. Tapi saat aku kembali ke kamar pukul satu dini hari, aku bisa melihat Naura yang terlihat gelisah dalam tidurnya.Dahi hingga leher Naura basah oleh keringat. Saat kusentuh, hawa panas langsung menusuk kulitku. Buru-buru aku mengambil handuk kecil di lemari dan mengelap keringat di dahi Naura. Setelah itu, aku membasahinya dengan air hangat untuk mengompres keningnya. Kugenggam tangan istriku dan duduk di sampingnya.Kejdian saat di mobil tadi kembali tergiang.Penolakan Naura. Tatapan tajam dan penuh amarahnya. Kenapa Naura terlihat benci saat aku menciumnya? Sekuat apapun aku berpikir, aku masih tak menemukan jawabannya. Apa jangan-jangan ada yang Naura sembunyikan dariku?Terkadang aku selalu tatapannya yang menyorot begitu jauh, seolah-olah jiwanya tidak berada di sampingku.“Apapun

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 9. Ma, Aku Juga Putrimu

    Saat kesadaranku kembali, aku langsung mendorong dada Javran menjauh. Kuusap bibirku dengan punggung tangan. Napasku terengah-engah. Tatapanku tajam saat melihat Javran.Tanpa sadar aku menaikkan nada suara. “Jangan cium aku tanpa persetujuanku!”Javran mengerjap, terkejut. Ada sorot terluka di sepasang matanya. “Naura, aku---” dia kehabisan kata-kata, sejenak. “Apa tadi aku terlalu kasar? Maafin aku karena nggak bisa nahan diri. Aku—”Kualihkan pandangan, kupejamkan mata sejenak dan mengatur napasku. Tidak seharusnya aku membentak Javran. Itu bukan salahnya. Jelas ini semua karenaku yang tak segera menghindar saat wajahnya mendekat. Salahku karena menikmati ciumannya hingga terlena.“Aku capek banget hari ini,” ujarku, dengan nada lemah, sambil menatap ke luar jendela. “Aku mau cepet pulang dan istirahat di rumah.”“Baiklah.”Javran kembali ke posisi duduknya, mulai mengemudi dalam diam.Sementara itu, aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rasa ciuman Javran masih tertinggal di sana

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 8. Ciuman Pertama

    Jika Tante Melati ingin bertindak seolah-olah dia adalah istri Javran—dengan menyiapkan sarapan, makan malam, hingga bekal untuk Javran, maka aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan berusaha keras mendahuluinya memasak—hanya untuk membuat Javran terkesan.Tiba-tiba aku menyadari satu hal yang penting: aku tak perlu berusaha keras untuk menyenangkan siapapun di rumah ini. Karena pada akhirnya, semua itu akan jadi milik Naura.Aku bahkan sudah tak peduli jika Tante Melati akan menfitnahku—atau bahkan mempermalukanku di depan Javran. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah bertahan. Bertahan sampai Mama membuat keputusan antara membiarkanku yang membongkar permainan ini—atau dia sendiri yang membongkarnya.“Naura… Naura. Kerjaanmu di rumah ini cuma makan, tidur dan nonton drama china.” Tante Melati duduk disampingku yang sedang nonton drama di ruang keluarga. Semua camilan kesukaanku baru saja diantar ojol, tergeletak begitu banyak di atas meja.Kalau tidak sekarang, kapan lagi ak

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 7. Hujan dan Payung

    Karena aku adalah Naima, aku tak terlalu sakit hati saat mendengar ucapan Tante Melati. Malahan aku kasihan pada Naura—jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu sendiri.Ah, tidak. Kenapa aku harus kasihan?Naura justru punya banyak akal untuk menghadapi manusia seperti Tante Melati dibanding aku. Tapi untungnya, aku menghabiskan nyaris seumur hidupku di samping Naura. Jadi aku tahu, trik apa yang bisa dipakai untuk menghadapi manusia munafik seperti Tante Melati. Naura telah mengajariku banyak hal tentang bagaimana cara memanipulasi orang lain.Karena tak bisa mempraktikannya pada keluargaku, aku bisa mencobanya pada Tante Melati.“Aku nggak pernah maksa Mas Javran buat bantuin bisnis keluargaku, Ma, Mas Javran sendiri yang mau,” jawabku, dengan nada tenang. “Mungkin Mas Javran ngelakuin itu karena pengin dapat pujian dari papa dan mamaku? Dia ingin dicap jadi menantu yang baik dan pengertian.”Bola mata Tante Melati berkilat, dipenuhi amarah yang siap meledak. Dia menunjuk-nunjuk

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 6. Pesona Adik Ipar

    “Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”Javran menatapku singkat, kem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status