Share

BAB 5. Curiga

Penulis: Ainindah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 10:09:12

BAB 5.

Tujuh belas belas tahun yang lalu…

“Kenapa kamu baru pulang jam segini? Habis dari mana aja kamu?” Mama menjewer telinga Naima, yang waktu itu baru berusia tujuh tahun. “Mama udah bilang kan kalau kamu nggak boleh keluyuran sembarangan? Naura dari tadi nangis nyariin kamu!”

Naima meringis. Matanya sudah basah karena tangis.

Naima hanya menepati janjinya untuk main dengan anak-anak kompleks setelah pulang sekolah. Pukul tiga sore Naima sudah pulang padahal teman-temannya masih asyik bermain. Tapi kenapa Naima dimarahi?

“Kedepannya, jangan main-main ke luar lagi. Di rumah aja temenin adikmu main!” Mama melepaskan jewerannya, membuat Naima terjatuh ke tanah. Tangis yang sejak tadi tertahan mulai keluar satu per satu. “Naura itu lahir lemah gara-gara kamu! Kamu jangan asal lari atau lompat-lompatan dan bikin Naura sedih! Kamu denger nggak apa yang Mama bilang?”

“Iya, Ma,” jawab Naima, sesenggukan. “Naima janji nggak akan main di luar lagi.”

“Bagus. Kamu cuma boleh main di rumah sama Naura. Kamu juga harus jagain Naura di sekolah, jangan sampai Naura kecapean atau dibully temennya. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Naura, kalian berdua nggak usah lagi pergi ke sekolah!”

Naima hanya bisa mengangguk berkali-kali karena tidak ingin dimarahi lagi.

“Kak Ima!” Naura kecil berlarian ke arah Naima. Bibirnya terlihat pucat, tapi senyumnya sangat lebar. Dia begitu bahagia dan langsung menempel pada kakaknya seperti lintah. “Kak Ima ke mana aja sih? Ura kan kan nunggun Kakak dari pagi.”

Naima hanya diam.

“Kalian itu saudari kembar, dari kecil udah tumbuh bersama di perut Mama. Jadi kemana-mana harus selalu bareng. Naima sebagai Kakak, harus selalu jagain dan nemenin adeknya, oke?” nada suara Mama melembut. Dia mengusap puncak kepala Naima dan Naura dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Sejak saat itu, Naima berperan sebagai pelindung—sekaligus pengganti Naura untuk menanggung semua kesalahan. Tidak pernah sekalipun, Naura hidup untuk dirinya sendiri.

***

“Kamu udah tahu kan, Javran dan keluarganya sebaik apa ke Naura?” Mama menatapku dingin. “Mama peringatin kamu sebelum terlambat, Naima. Jangan berani nyimpen rasa untuk Javran atau berpikir buat rebut dia. Sejak awal, Javran adalah milik Naura, bukan milik kamu. Kamu harus pergi dalam diam setelah Naura bangun dari komanya.”

Aku sudah menuruti mereka dan berjalan sejauh ini. Tapi aku tetap saja dicurigai. Apa seburuk itu aku dimata mereka?

“Aku tahu.” Kedua tanganku saling mengepal di sisi tubuh. “Dari dulu sampai sekarang emang selalu begitu kan Ma? Semua yang aku lakuin selalu buat kebahagiaan Naura.”

“Kamu tahu sendiri kalau Naura sering sakit-sakitan. Jadi—”

“Aku udah muak denger kalimat itu lagi dan lagi.” Potongku, dengan nada lelah. “Alih-alih Mama selalu khawatir aku bakal rebut Javran dari tangan Naura, kenapa nggak sekalian aja Mama kasih tahu kebenarannya sama keluarga Javran? Biar Javran tahu kalau wanita yang dia cintai lagi koma!”

“Lancang kamu!” Mama menampar pipiku, membuatku hanya bisa meringis mendahan sakit. “Keadaannya udah kayak gini. Kamu mau keluarga kita hancur karena keegoisan kamu? Gimana kalau keluarga Javran nggak terima dan nuntut kita? Kamu mau mendekam di penjara? Hah?”

Aku mengerjabkan mata berkali-kali agar air mataku tidak jatuh. Aku tak mau terlihat menyedihkan dimatanya. Ini memang bukan pertama kalinya Mama menamparku demi membela Naura. Tapi rasanya tetap saja menyakitkan, seperti duri yang ditancapkan berkali-kali, pada luka yang masih basah dan bernanah.

Kenapa Mama melahirkanku, jika aku tak pernah dianggap berharga?

Kenapa aku harus menyaksikan semua kasih sayang dan cinta yang hanya diberikan pada Naura, padahal kami lahir dari rahim yang sama?

“Kalaupun harus dipenjara, itu pasti bukan Naura, melainkan aku, kan? Karena aku dilahirkan cuma sebagai pengganti Naura.” Kutatap ibuku dengan sorot dingin. “Ma, aku beneran muak dan ingin berhenti. Aku nggak mau jadi boneka kalian lagi.”

“Naima, kamu—” Mama hendak menamparku, tapi aku lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

“Mama takut aku bakal rebut Javran dari tangan Naura, kan? Gimana kalau aku wujudin ketakutan Mama?” kutatap wanita yang sudah melahirkanku itu lekat-lekat, berusaha menembus kedalaman hatinya. “Aku nggak akan bisa dapet kasih sayang dari Mama dan keluarga ini. Tapi setidaknya, aku bisa dapetin kasih sayang dari orang yang dicintai Naura. Aku mau jadi anak egois untuk sekali aja.”

Tentu saja aku tidak serius. Aku hanya ingin memprovokasi Mama, agar membawaku pergi dari sisi Javran. Dengan begini, aku tak perlu lagi memikirkan cara untuk memberi tahu Javran karena Mama sendiri yang akan bertindak. Mama pasti akan gelisah dan ketakutan setengah mati, kan? Memikirkan aku yang akan merebut Javran dari tangan Naura.

“Naima, kamu—” Mama berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeramanku, tapi tenagaku lebih kuat. “Dasar anak kurang ajar! Kalau bukan karena Mama, kamu nggak akan lahir ke dunia ini! Harusnya kamu bersyukur—”

“Mas Javran udah nunggu. Aku harus pergi sekarang,” potongku, sudah muak mendengar ucapan Mama. Kulepas cengkeraman tanganku dan mundur satu langkah. “Mama pikirin aja kata-kataku tadi. Aku bakal kasih waktu Mama satu minggu buat berpikir.”

 Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan pergi dengan langkah lebar dan cepat. Berada di tempat yang sama dengan Mama membuatku sesak.

Satu minggu.

Sebelum berangkat ke Batam, aku harus menunggu keputusan Mama. Jadi setelahnya aku bisa pergi dari hidup mereka selamanya.

***

Saat aku tiba di ruang tamu, aku bisa melihat Javran yang begitu akrab dengan Om Luhan dan Tante Rika. Dia jelas bisa menempatkan diri dalam kondisi apapun, dan berbaur dengan mudah, tidak sepertiku yang selalu diliputi dengan rasa tidak percaya diri di manapun aku berada. Setiap ada Naura, maka semua perhatian akan selalu mengarah padanya.

“Sayang, kamu udah selesai?” Mata Javran bertemu denganku. Dia langsung melangkah mendekatiku.

Aku mengangguk. “Iya. Udah aku taruh di bagasi mobil. Ayo kita pulang sekarang.”

“Aduh Naura, keponakan Tante yang paling cantik. Kenapa buru-buru banget sih?” Tante Rika meraih lenganku dan mendorongku untuk duduk. “Kamu kan jarang banget bisa kumpul sama keluarga besar. Berapa tahun kamu nggak pulang? Hm? Dua kali lebaran nggak liat kamu.”

Aku mengerjap. Rupanya mereka tahu kalau aku sedang menggantikan posisi Naura. Mereka akting dengan sangat baik.

“Sekarang setelah aku nikah, aku menetap di Jakarta. Jadi bisa lebih sering ketemu,” ujarku, berusaha ramah dan basa-basi meski malas.

“Kamu dong yang sekali-kali datang ke Surabaya. Ajak suamimu tuh.” Om Luhan menunjuk Javran. “Tiket pp Jakarta-Surabaya kan nggak mahal.”

“Iya, nanti kalau ada waktu kita main ke sana,” ujarku sekenannya.

“Di Surabaya ada banyak tempat bagus. Nanti Om bakal ajak kalian keliling.” Om Luhan begitu antusias. “Nggak kalah sama bangunan-bangunan yang ada di Tiongkok.” Beliau lalu menatap Javran. “Javran gimana udah pernah main ke Surabaya?”

Javran tersenyum tipis. “Belum Om. Aku pengin liat patung suro dan boyo. Sama nyobain lapis legitnya. Terus ke jalan-jalan ke museum juga.”

“Nanti Om yang nyetirin keliling Surabaya kalau kalian datang. Kamu juga suka mancing? Om ada spot bagu—"

Kapan basa-basi ini akan berakhir?

Biasanya saat keluarga Mama berkunjung, aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Toh, mereka juga tidak pernah menganggapku ada. Aku cuma dianggap pembawa sial bagi keluarga sejak dalam kandungan. Tidak ada yang memedulikan keberadaanku. Bahkan jika aku menghilang, tidak akan ada yang menyadarinya.

“Kalian ada rencana bulan madu mau ke mana?” Tanya Tante Rika, penasaran. Dia menatapku meminta jawaban, membuatku gelagapan.

Aku bahkan enggak pernah terpikir soal bulan madu. Kuharap Naura segera bangun, jadi aku tak perlu cari-cari alasan untuk menolak sentuhan Javran…

“Nanti setelah acara ngunduh mandu di Batam, kami rencananya mau langsung terbang ke Shanghai, terus lanjut ke Korea Selatan dan Jepang.” Javran menatapku dengan ekspresi hangat dan lembut. “Naura bilang, masih banyak kota-kota di China yang belum pernah dia kunjungi. Jadi kami mau eksplore bareng-bareng.”

Javran terlihat sangat antusias menjawab soal bulan madu. Tapi bagaimana ini? Sepertinya aku harus menolak rencana Javran. Aku tidak pantas menerima kado honeymoon yang seharusnya menjadi milik Naura.

“Wah, kedengeran seru banget.” Tante Rika menatapku, tiba-tiba ekspresinya berubah sinis. “Naura pasti bakal happy terus bisa punya suami kayak kamu, Javran. Kaya dan baik hati.”

Meski diucapkan dengan senyum, aku tahu kalau Tante Rika sedang menyindirku. Dia seolah mengatakan bahwa aku tak boleh pergi dan merebut hak Naura. Tentu saja aku tak akan tinggal diam. Sudah cukup aku dijadikan bahan tertawaan keluarga.

“Iya, Tante. Aku beruntung banget bisa dapat suami kayak Mas Javran. Semoga Tante juga bisa dibiayain jalan-jalan ke luar negeri sama Om Luhan ya,” balasku, sambil tersenyum manis. Kulihat wajah Tante Rika berubah tertekuk.

Dulu sebelum aku berangkat ke Tiongkok, Tante Rika menyindirku. Dia bilang aku tak akan betah di sana dan merengek ingin pulang. Tapi  nyatanya aku bisa bertahan dua tahun.

“Aku ada janji sama Mama Melati, jadi nggak bisa lama-lama di sini.” Aku bangkit dari sofa. “Kami harus pulang sekarang.”

 Dengan begitu, aku bisa meninggalkan rumah yang membuatku sesak.

***

“Kenapa tadi kamu bohong?” tanya Javran, saat kami sedang dalam perjalanan ke rumah. “Kamu nggak nyaman sama Tante Rika dan Om Luhan?”

Aku menatap ke luar jendela, menggesekkan jariku di sana. Bagaimana cara menjawab pertanyaan ini?

“Enggak kok, aku cuma masih capek, pengin istirahat di rumah. Energiku juga udah habis karena ngobrol sama banyak orang,” balasku akhirnya. “Kalau nggak nyari-nyari alasan, mereka bakal ngajak ngobrol sampai dini hari.”

“Bukannya kamu bilang kalau kamu seneng ketemu orang banyak?” Javran menatapku dengan sorot heran. “Kamu bilang kamu selalu happy setelah ketemu banyak orang.”

Ah, benar.

Sifatku dan Naura saling bertolak belakang.

Naura selalu punya cara untuk memikat orang-orang agar menyukainya dengan menjual cerita sedih. Dia bak kupu-kupu cantik yang hinggap di sana-sini sesuka hati, tidak sepertiku yang lebih suka menyendiri, dan menghabiskan waktu dengan menonton drama atau baca buku.

“Entahlah. Mungkin tergantung orangnya?” Kali ini aku menyandarkan punggung dan menatap ke depan. “Tiba-tiba aku pengin makan seblak level lima, yang kuahnya super merah dan banyak bumbunya.”

“Seblak?” nada suara Javran terdengar heran. “Bukannya kamu nggak bisa makan pedes?”

Kugigit bibir bawahku kuat-kuat. Padahal aku yang paling tahu kebiasaan Naura—hingga makanan apa saja yang tidak bisa dia makan karena penyakit jantungnya. Tapi sekarang aku malah bersikap tidak hati-hati. Siapa sangka kalau Javran begitu mengenal Naura hingga bagian terkecil?

Sekarang aku harus menjawab apa agar Javran percaya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 11. Sosok Dari Masa Lalu

    Aku sudah selesai mandi dan berganti baju. Rambutku masih sedikit basah, menetes pelan di tengkuk, membuat kulitku merinding. Kaus longgar dan celana santai yang kupakai terasa agak lembap dan tidak nyaman karena tubuhku belum sepenuhnya kering. Tapi aku terlalu gelisah untuk memperhatikan semua itu.Ketika mengecek ponsel, mataku langsung membesar. Jantungku mencelos.Satu pesan dari Mama.‘Naura sudah sadar dari komanya.’Tanganku yang menggenggam ponsel langsung gemetar. Aku terdiam beberapa detik, mencoba mencerna isi kalimat itu. Rasanya seperti waktu berhenti, mendadak kosong dan hening.Lalu tubuhku tersentak. Aku buru-buru meraih tas yang tergantung di belakang pintu, menyampirkannya ke bahu, dan keluar dari kamar. Langkahku terburu-buru menuruni anak tangga.Saat menoleh ke ruang tengah, Javran tidak ada di sana. Mungkin dia sudah kembali ke kantor. Dan untuk kali ini, aku tidak akan mencarinya. Mungkin memang lebih baik begitu.Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti si

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 10. Naura Sudah Sadar

    JAVRAN POVSetelah kami kembali dari PRJ, Naura langsung tidur. Kupikir dia begitu karena kelelahan, jadi aku tak mempermasalahkannya. Aku pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan bahan presentasi besok. Tapi saat aku kembali ke kamar pukul satu dini hari, aku bisa melihat Naura yang terlihat gelisah dalam tidurnya.Dahi hingga leher Naura basah oleh keringat. Saat kusentuh, hawa panas langsung menusuk kulitku. Buru-buru aku mengambil handuk kecil di lemari dan mengelap keringat di dahi Naura. Setelah itu, aku membasahinya dengan air hangat untuk mengompres keningnya. Kugenggam tangan istriku dan duduk di sampingnya.Kejdian saat di mobil tadi kembali tergiang.Penolakan Naura. Tatapan tajam dan penuh amarahnya. Kenapa Naura terlihat benci saat aku menciumnya? Sekuat apapun aku berpikir, aku masih tak menemukan jawabannya. Apa jangan-jangan ada yang Naura sembunyikan dariku?Terkadang aku selalu tatapannya yang menyorot begitu jauh, seolah-olah jiwanya tidak berada di sampingku.“Apapun

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 9. Ma, Aku Juga Putrimu

    Saat kesadaranku kembali, aku langsung mendorong dada Javran menjauh. Kuusap bibirku dengan punggung tangan. Napasku terengah-engah. Tatapanku tajam saat melihat Javran.Tanpa sadar aku menaikkan nada suara. “Jangan cium aku tanpa persetujuanku!”Javran mengerjap, terkejut. Ada sorot terluka di sepasang matanya. “Naura, aku---” dia kehabisan kata-kata, sejenak. “Apa tadi aku terlalu kasar? Maafin aku karena nggak bisa nahan diri. Aku—”Kualihkan pandangan, kupejamkan mata sejenak dan mengatur napasku. Tidak seharusnya aku membentak Javran. Itu bukan salahnya. Jelas ini semua karenaku yang tak segera menghindar saat wajahnya mendekat. Salahku karena menikmati ciumannya hingga terlena.“Aku capek banget hari ini,” ujarku, dengan nada lemah, sambil menatap ke luar jendela. “Aku mau cepet pulang dan istirahat di rumah.”“Baiklah.”Javran kembali ke posisi duduknya, mulai mengemudi dalam diam.Sementara itu, aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rasa ciuman Javran masih tertinggal di sana

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 8. Ciuman Pertama

    Jika Tante Melati ingin bertindak seolah-olah dia adalah istri Javran—dengan menyiapkan sarapan, makan malam, hingga bekal untuk Javran, maka aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan berusaha keras mendahuluinya memasak—hanya untuk membuat Javran terkesan.Tiba-tiba aku menyadari satu hal yang penting: aku tak perlu berusaha keras untuk menyenangkan siapapun di rumah ini. Karena pada akhirnya, semua itu akan jadi milik Naura.Aku bahkan sudah tak peduli jika Tante Melati akan menfitnahku—atau bahkan mempermalukanku di depan Javran. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah bertahan. Bertahan sampai Mama membuat keputusan antara membiarkanku yang membongkar permainan ini—atau dia sendiri yang membongkarnya.“Naura… Naura. Kerjaanmu di rumah ini cuma makan, tidur dan nonton drama china.” Tante Melati duduk disampingku yang sedang nonton drama di ruang keluarga. Semua camilan kesukaanku baru saja diantar ojol, tergeletak begitu banyak di atas meja.Kalau tidak sekarang, kapan lagi ak

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 7. Hujan dan Payung

    Karena aku adalah Naima, aku tak terlalu sakit hati saat mendengar ucapan Tante Melati. Malahan aku kasihan pada Naura—jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu sendiri.Ah, tidak. Kenapa aku harus kasihan?Naura justru punya banyak akal untuk menghadapi manusia seperti Tante Melati dibanding aku. Tapi untungnya, aku menghabiskan nyaris seumur hidupku di samping Naura. Jadi aku tahu, trik apa yang bisa dipakai untuk menghadapi manusia munafik seperti Tante Melati. Naura telah mengajariku banyak hal tentang bagaimana cara memanipulasi orang lain.Karena tak bisa mempraktikannya pada keluargaku, aku bisa mencobanya pada Tante Melati.“Aku nggak pernah maksa Mas Javran buat bantuin bisnis keluargaku, Ma, Mas Javran sendiri yang mau,” jawabku, dengan nada tenang. “Mungkin Mas Javran ngelakuin itu karena pengin dapat pujian dari papa dan mamaku? Dia ingin dicap jadi menantu yang baik dan pengertian.”Bola mata Tante Melati berkilat, dipenuhi amarah yang siap meledak. Dia menunjuk-nunjuk

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 6. Pesona Adik Ipar

    “Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”Javran menatapku singkat, kem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status