Share

Itu mungkin sudah ajalnya.

“--Dokter mengatakan kalau penggunaan obat itu bisa berakibat fatal. Untung saja, nyonya bisa melewati masa kritisnya.” Sungguh, dia berharap atasannya ini berhenti menyiksa sang Nyonya. Bukan dia mendukung Herdanto, tapi bukankah ada cara lebih masuk akal untuk menyiksa pria itu?

“Jika dia tidak bisa melewati masa kritisnya dan mati, itu mungkin sudah takdirnya” sahut Briyan dengan santai. 

Tanpa perasaan, pria tampan itu masih saja kekeuh pada pendapatnya–melampiaskan dendam kepada wanita yang tidak bersalah.

“Tapi tuan—”

“Jangan menceramahi aku, Asep,” sela Briyan yang membuat Asep tidak melanjutkan kata-katanya. “Sekarang, suruh pelayan untuk mengurusnya,” lanjut Briyan memerintah Asep. 

“Baik tuan.” Asep pun meninggalkan ruang kerja Briyan dan melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Ia menemui pelayan Rati dan memintanya untuk mengurus Alena.

*****

Mendengar perintah sang majikan, wanita paruh baya itu segera menyiapkan makanan untuk Alena. Sepertinya, kali ini, wanita cantik itu tidak mungkin turun ke meja makan sama sekali.

“Permisi nyonya,” ucap Rati. Ia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Kedua matanya langsung berkaca-kaca melihat kondisi Alena yang begitu memprihatinkan.

Segera, Rati duduk di sisi ranjang. Sebagai sesama perempuan, hatinya sakit melihat keadaan Alena. Dia tidak bisa membayangkan seandainya keponakannya diperlakukan seperti sang Nyonya. Mungkin, dia akan segera melaporkan Briyan ke kantor polisi.

“Apalagi yang terjadi nyonya?” tanya Rati dengan wajah yang sedih.

Alena menatap sendu Rati. Bibirnya menyunggingkan sedikit senyuman, namun kedua sudut matanya mengeluarkan butiran bening. Entah mengapa, dia dapat merasakan bahwa pelayan ini memiliki hati yang tulus dalam merawatnya.

Menggeleng, Alena pun berkata, “Aku tidak tahu bi.” 

Rati mengelus ujung kepala Alena. “Nyonya yang sabar, ya?” ucapnya sambil meneteskan air mata.

“Aku tidak tahu kenapa tuan Briyan memperlakukanku seperti ini. Apa salahku, bi?” tanya Alena.

Rati menggelengkan kepala. Dia pun tak mengerti. “Aku tidak tahu nyonya, hanya waktulah yang dapat menjawab itu semua. Aku yakin suatu saat pasti nyonya mengetahuinya dan mendapatkan jawaban dari pertanyaan nyonya sendiri.” 

“Semoga saja waktu itu segera tiba sebelum aku mati,” sahut Alena.

Mendengar ucapan Alena, air mata Rati semakin deras. Sesungguhnya, ia tidak tega melihat Alena menderita seperti ini. Tetapi apalah daya Rati, dia hanya seorang pelayan dan tidak pantas ikut campur dalam urusan keluarga Wijaya.

*****

Hari telah berganti. Genap sudah lima hari Alena menjadi istri Briyan. Namun, wanita cantik itu selalu terkurung di dalam kamar. Bahkan, ia tidak pernah bertemu atau berbicara dengan ayahnya walaupun melalui sambungan telepon.

Tentu, Alena tidak bisa menghubungi ayahnya sebab Briyan pun sudah menyita ponselnya tiga hari yang lalu. 

Entah apa maksud pria tampan itu melarangnya bermain ponsel dan melarangnya keluar dari rumah.

Tok....tok....tok!

Seseorang kembali mengetuk pintu. Beginilah keseharian Alena–menanti orang-orang mengetuk pintunya. Seakan seperti orang sakit yang tidak bisa bergerak.

“Masuk!” Suara lembut Alena terdengar dari dalam kamar, hingga seorang pelayan masuk dengan hormat.

“Permisi, nyonya. Makan malam sudah siap.” 

“Apa tuan Briyan sudah di sana?” tanya Alena.

“Belum, Nyonya. Hari ini, tuan pulang terlambat karena beliau ada urusan penting ke luar kota.” 

“Baiklah, aku akan turun,” kawab Alena dengan sigap. Ia merasa semangat karena Briyan tidak ada di meja makan. Jadi, malam ini, ia bisa dengan santai menikmati makanannya. 

Menit demi menit, Alena nikmati dengan senang. Namun, saat Alena nyaris menghabiskan makanan yang di hadapannya, tiba-tiba Briyan muncul dari pintu utama sambil menggandeng dua wanita cantik berpakaian minim.

“Ah … malam ini, giliran aku dong,” ucap wanita yang satu dengan wajah menggemaskan dan nada yang manja.

“Kan, aku juga belum!” protes wanita yang satu lagi.

“Sudah jangan berdebat! Malam ini adalah malam kalian berdua,” sahut Briyan untuk mendamaikan kedua wanita yang bergelayut manja di lengannya.

Jujur, Alena jijik membayangkan Briyan akan bermain gila dengan perempuan itu. Namun, dia juga menghela nafas lega. 

“Untung saja dia membawa wanita-wanita itu, jika tidak ! Dia pasti menyiksaku,” ucapnya lembut–nyaris tidak terdengar.

Alena masih saja memperhatikan Briyan dan kedua wanita itu melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Briyan. Tak lama, pintu kamar itu tertutup rapat.

Dengan riang, Alena menghabiskan makanannya dan pergi meninggalkan meja makan–kembali ke kamarnya.

Sayangnya, saat Alena membuka pintu kamar, matanya membulat melihat Briyan duduk santai di atas sofa sambil membaca koran. 

“Apa kamu akan tetap berdiri di sana sampai pagi?” ucap Briyan santai.

“Ya Tuhan, kapan dia masuk ke kamarku? Bukankah dia bersama dua perempuan itu?” tanya dalam hati Alena, panik.

“Kau tuli?” tanya Briyan kesal kali ini.

“Ha… iya. Maaf. ” Alena pun  melangkah masuk ke dalam kamar. Ia menjatuhkan bokong di sisi ranjang.

Sementara itu, Briyan bangkit dari sofa, melangkah menuju Alena. Tak lama, ia menaruh sebuah kotak kecil di atas tempat tidur–tepat di samping Alena.

“Apa ini?” tanya Alena sambil menatap Briyan bingung.

“Titipan dari ayahmu,” jawab Briyan dengan singkat lalu pergi.

Terkejut, Alena dengan sigap membuka kotak itu dan melihat satu set perhiasan dan satu lembar kertas yang membuatnya menangis.

[ Ini adalah perhiasan peninggalan ibumu sayang. Sudah saatnya, ayah memberikannya kepadamu. Namun, saat kamu menerima kotak ini, ayah sudah tidak di Jakarta lagi ]

*

*

*

*

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status