“Hah? Ayah? Tidak … tidak!” ucap Alena dengan perasaan linglung, “Ayah tidak mungkin pergi meninggalkanku sendiri, kan?”
Alena pun bangkit dari sisi ranjang melangkah menuju kamar Briyan untuk mencari pria itu. Ia membuka pintu secara tiba-tiba tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Apakah kamu tidak memiliki etika saat memasuki kamar orang lain?” ucap Briyan dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam.
“Ma...ma... maaf.” Alena gugup dan memalingkan wajah agar tidak melihat Briyan yang bertelanjang dada dengan posisi kedua wanita bergelayut manja di lengannya.
Briyan segera melepaskan lengannya dari kedua wanita itu. Ia melangkah menghampiri Alena yang berdiri di bibir pintu. Hanya dalam hitungan detik, tangan kekar Briyan sudah mencengkram pergelangan tangan Alena dan membawanya masuk ke dalam kamar wanita cantik itu.
“Apa kamu datang ke kamarku untuk bertanya siapa kedua wanita itu?” todong Briyan, percaya diri.
Mendengar itu, Alena menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak akan mengganggu urusanmu. Aku hanya ingin bertanya di mana ayahku?” ucapnya.
Briyan diam sambil menatap Alena. Dia tidak menyangka perempuan di hadapan ini, tidak peduli sama sekali pada dua perempuan di sampingnya.
Setelah tiga menit, barulah Briyan membuka mulut. “Aku sudah mengirimnya ke tempat yang lebih layak.”
Mendengar itu, tangis Alena pecah, “Katakan ke mana kamu buang ayahku?” Ia tak mampu bila membayangkan sang ayahnya sudah tiada karena dihabisi oleh bodyguard Briyan.
“Dengar baik-baik, aku tidak membuang ayahmu. Tetapi, aku mengirimkannya ke tempat yang lebih layak,” tegas Briyan sebelum pergi dan kembali ke kamarnya.
Tubuh Alena merosot dan jatuh ke atas lantai.
Ia hanya bisa menangis dan menangis. Ingin rasanya menghubungi ayahnya untuk memastikan kondisinya, tetapi Alena tidak memiliki ponsel. Alena hanya bisa pasrah dan berdoa dalam hati, semoga ayahnya dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara di kamar sebelah, Briyan akhirnya bersenang-senang bersama kedua wanitanya tanpa memikirkan perasaan Alena sang istri.
Briyan memang pria yang tidak bisa lepas dari belaian wanita, bahkan ia rela mengeluarkan uang ratusan juta untuk mendapatkan wanita yang masih suci.
Kedua wanita itu dengan lihai menaikkan gairah Briyan, hingga benda tumpul pria tampan itu berdiri sempurna.
“Stop!” ucap Briyan saat salah satu wanita itu mengambil posisi aman untuk menancapkan benda tumpul Briyan ke dalam miliknya.
“Ada apa sayang?” tanya wanita itu dengan nada mendesah dan tatapan penuh nafsu.
Briyan bangkit dari tempatnya. Ia melangkah menuju meja rias lalu mengambil sesuatu dari dalam laci.
“Ambil ini!” ucapnya sambil menyodorkan dua lembar cek.
Kedua wanita itu terdiam karena bingung.
“Ini untuk apa? Kenapa memberikannya padahal kita belum melakukannya?” tanya salah satu wanita pada akhirnya.
“Hari ini aku merasa tidak enak badan. Jadi, acaranya kita lanjutkan lain waktu. Sekarang, pulanglah biar Asep yang mengantar,” dalih Briyan.
Tubuh Briyan sebenarnya baik-baik saja. Bahkan, ia sudah sangat bergairah. Tetapi, saat wanita itu bersiap menjamah keduanya, tiba-tiba bayangan Alena muncul di matanya.
Briyan bahkan sempat membayangkan wanita yang di pangkuannya saat itu adalah Alena. Hal itu membuat Briyan drop dan tidak sanggup untuk melanjutkan.
“Sial, kenapa bayangan wanita itu tiba-tiba muncul ?” gerutu Briyan dengan kesal.
*******
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun gairah Briyan masih di puncak. Dia tidak bisa berhenti membayangkan tubuh indah istrinya sendiri.Briyan yang geram, akhirnya meraih ponsel dari atas meja lalu menghubungi seseorang.
“Iya bro,” sahut seseorang dari seberang sana.
“Lu di mana Lex? Ngopi, yuk?” ajak Briyan.
“Ini sudah larut malam bro, mau ngopi di mana lagi? Kafe sudah pada tutup.”
“Sok lugu lo, Lex. Ngopi di tempat biasa, ya” gerutu Briyan.
“Oke, on the way!”
Segera setelah mendengar persetujuan dari Alex, Briyan segera memutuskan sambungan teleponnya.
Keduanya bertemu di sebuah klub malam, dan memasuki ruangan VIP. Tidak hanya Briyan dan Alex yang ada di dalam ruangan itu, tetapi ada James dan beberapa wanita penghibur.
Mereka menikmati minuman wine sambil menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik remix hingga malam berganti menjadi pagi.
Kondisi Briyan yang mabuk parah membuat kedua sahabatnya Alex dan James harus mengantarnya pulang ke kediaman Wijaya.
“Ada apa dengan tuan Briyan, tuan?” tanya Asep kepada Alex dan James.
“Seperti biasa, pak,” sahut Alex.
Megerti maksud dari Alex, segera Asep membantunya membawa Briyan masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja, suara pria-pria tampan itu mengundang Alena ke luar dari kamar.
“Siapa yang ribut pagi-pagi seperti ini?” ucap Alena sambil melirik ke arah jam yang terletak di atas meja kecil yang berada di samping tempat tidur.
Alena bangkit dari ranjang lalu melangkah menuju pintu. Ia mengerutkan kening saat melihat beberapa pria masuk ke dalam kamar Briyan.
“Tadi, dua wanita yang masuk ke dalam, sekarang beberapa pria? Apa mereka?” Alena tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi, satu yang pasti, otak Alena saat ini sedang traveling ke mana-mana membayangkan beberapa wanita dan pria ada di dalam satu kamar.
Alena pun menutup pintu dan kembali masuk ke dalam kamar. Ia membaringkan tubuh di atas tempat tidur menunggu matahari terbit karena saat ini waktu baru menunjukkan pukul 4 pagi.
****
Saat Alena membuka mata, telinganya mendengar suara tertawa dari ruang tamu yang ada di lantai dua–tepat di depan kamarnya.“Bocah mah seperti itu, minum satu gelas saja langsung keok,” ucap Alex dengan nada bercanda.
“Bukan bocah bro, tapi bayi,” sahut James.
Alex dan James mencibir Briyan, keduanya tertawa bahagia melihat wajah Briyan yang terlihat merah karena malu. Selama ini, dialah yang sering mencibir sahabatnya saat mabuk. Kini pria tampan itu mendapat balasan dari kedua sahabatnya.
“Eh bro, istri lu di mana?” tanya Alex tiba-tiba.
Sebelum menikah dengan Alena, Briyan sempat cerita kepada kedua sahabatnya kalau ia akan menikahi putri dari musuh bebuyutannya. Namun saat pernikahan itu, Briyan tidak mengundang Alex dan James. Alasannya, pernikahan mereka hanya dilaksanakan di kantor KUA dengan seadanya dan dihadiri beberapa orang saja.
Padahal, itu semua sengaja dilakukan Briyan agar orang-orang tidak mengetahui pernikahannya dengan Alena.
“Ada di kamar,” jawab Briyan tak peduli.
“Kok aku gak lihat, ya? Lu simpan di lemari, ya?” canda Alex.
“Bukan di lemari, tapi di kloset,” timpal Briyan.
“Lu mah—” Alex tidak melanjutkan kata-katanya karena tanpa sengaja matanya melihat seorang wanita cantik keluar dari pintu kamar di seberang.
“Kamu lihat apa?” tanya James yang kebetulan duduk memunggungi kamar Alena–bersama Briyan.
“Bidadari,” jawab Alex dengan mata melotot tanpa berkedip.
Briyan dan James refleks memutar kepala secara bersamaan ke arah belakang.
“Oh iya, ada bidadari,” timpal James setelah melihat Alena sedang melangkah menuju tangga.Sementara itu, Briyan terkejut melihat Alena keluar dari kamarnya. Seluruh jari sudah dikepalkan, kesal karena merasa Alena sengaja mencari perhatian kedua sahabatnya.
“Woi, selera kalian berdua memang rendah! Masa, pelayan dibilang bidadari. Cih, bidadari dari Hongkong!” dalih Briyan.
“Ha … pelayan?” sahut Alex dan James secara bersamaan.
Kedua pria tampan itu terkejut mendengar kalau Alena adalah pelayan di kediaman Wijaya. Kulitnya yang putih mulus, rambut hitam panjang, hidung mancung, dan body bak gitar Spanyol itu pembantu? Hebat sekali keluarga Wijaya ini menemukan karyawan.
“Masa sih dia pelayan?” protes Alex yang masih tidak percaya.
“Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Sekarang, kalian berdua pulang ke rumah masing-masing karena aku masih ada janji dengan klien siang ini.” Briyan membuat alasan agar kedua sahabatnya pergi.
“Wah. Oke deh, Bro. Sampaikan salam dariku kepada pelayanmu yang cantik itu, ya” ucap Alex dengan lantang.
Sempat ia mencuri pandang mencari Alena. Namun, Alena tidak terlihat. Justru, dia menemukan bahwa dirinya telah dipelototi oleh Briyan. Oleh sebab itu, segera ia berlari menuju mobilnya dan pergi meninggalkan kediaman Wijaya–bersama James tentunya.
******
Setelah mobil Alex tidak terlihat lagi, Briyan memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah.
Pria tampan itu tidak langsung ke kamarnya melainkan melangkah, menuju dapur. Tanpa berbicara, tangan kekarnya mencengkram lengan Alena dengan kasar.
“Aw, sakit!” Alena merintih sambil mengikuti Briyan menaiki anak tangga–menuju kamar Alena.
“Wanita jalang,” desis Briyan. Ia melemparkan Alena dengan kasar ke atas tempat tidur.
“Aku sudah katakan kepadamu, kan? Jangan keluar dari kamar tanpa perintah dariku,” lanjut Briyan.
“Aku keluar hanya untuk mengambil air hangat, tuan,” dalih Alena sambil berurai air mata.
Sesungguhnya, Alena keluar dari kamar bukan untuk mengambil air hangat, tetapi ingin meminjam ponsel salah satu pelayan untuk menghubungi ayahnya. Tetapi, baru saja pelayan Siti masuk ke kamar untuk meraih ponsel, Briyan tiba-tiba datang dan menarik paksa Alena ke kamar.
“Aku tidak peduli apapun alasan kamu. Yang penting, kamu tidak boleh ke luar dari kamar ini,” tegas Briyan.
Alena benar-benar sudah muak dengan sikap Briyan yang memperlakukannya dengan sesuka hati layaknya boneka. Jadi, dia pun segera menantang pria itu. “Aku tidak bisa, aku bukan burung peliharaan kamu. Jadi aku berhak untuk ke luar dari kamar ini.”
“Oh, ya? Kamu berani menantangku, hmm?” Briyan justru tersenyum seribu arti.
“Asep!” panggil Briyan dengan nada yang tinggi.
“Siap, tuan,” sahut Asep yang langsung membuka pintu dan masuk. Pria paruh baya itu selalu setia mengawal tuannya ke manapun pergi.
“Orang yang berani membantahku apa akibatnya?” tanya Briyan kepada Asep.
“Akan diikat di pinggir kolam renang atau dikunci di dalam gudang bawah tanah,” jawab Asep spontan.
Sejak dulu, peraturan itu sudah ada di kediaman Wijaya. Peraturan itu dibuat oleh almarhum kakek Briyan dan masih berlaku hingga saat ini.
Mendengar jawaban dari Asep, membuat Alena takut membayangkan betapa gelapnya gudang bawah tanah. Apalagi, sejak kecil ia fobia dengan kegelapan. Itu sebabnya Alena selalu menyalakan lampu setiap tidur.
“Pintar!” puji Briyan sambil tersenyum manis. “Jadi, lakukan tugasmu,” lanjutnya.
Asep menelan salivanya dengan kasar. Ia memutar mata untuk melihat Alena yang duduk di sisi ranjang. Wajah wanita cantik itu sudah terlihat pucat seperti tidak ada darah.
“Tapi tuan—”
“Kamu ingin membantahku?” sela Briyan yang membuat Asep menutup mulut dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Akhirnya, Asep pun memanggil dua pengawal untuk membantunya membawa Alena ke gudang bawah tanah. Sungguh, Asep tidak tega mengunci wanita cantik itu di bawah sana, tetapi ia tidak punya kekuasaan untuk membantah tuannya, karena dia hanyalah seorang sopir.
“Tolong jangan kunci pintunya, aku mohon!” teriak Alena sambil menangis dan memukul pintu dari dalam.
Sayangnya, semua terjadi dengan cepat. Alena tetap dikurung di sana. Siapa pun yang dapat mendengar teriakan dan tangisannya, pasti tak akan kuat. Termasuk, Asep.
“Maafkan aku, nyonya.” Asep bahkan meneteskan air mata saat mengunci pintu gudang. Ia pun bergegas meninggalkan ruang bawah tanah.
*****Satu hari satu malam berada di gudang bawah tanah, Alena hanya bisa menagis sambil meringkuk memeluk kedua kakinya. Makanan yang diantar oleh pelayan, sama sekali tidak ia sentuh. Untuk apa dia hidup ? Kalau hanya disiksa oleh Briyan setiap hari. Mati adalah pilihan yang tepat untuk Alena saat ini. Di sisi lain, Asep berusaha membujuk tuannya untuk membebaskan Alena dari ruangan gelap itu. "Apa kamu ingin mengajariku?" Ucap Briyan kepada Asep. "Bu...bukan begitu, tuan." Asep gugup, "Jika nyonya tidak makan sepanjang hari, tentu akan terjadi sesuatu kepada beliau. Dan tuan tidak akan bisa balas dendam" Briyan terdiam sesaat, "keluarkan dia." Asep bergegas meninggalkan ruang kerja Briyan, dengan langkah seribu kaki jenjangnya menuju gudang bawah tanah. Saat pintu terbuka, Asep melihat Alena meringkuk di sudut ruangan. Wanita cantik berambut hitam itu, sama sekali tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Asep melangkah menghampiri Alena, ia menjatuhkan lututnya di lantai.
Tangan kekar Briyan menarik lengan Alena dengan kasar, lalu melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia menindih tubuh wanita cantik itu, menghujani ciuman di seluruh leher jenjang Alena dan meninggalkan beberapa tanda kepemilikan di sana.Sikap dingin dari Alena, membuat Briyan mengubah aksinya menjadi lebih kasar. Ia meremas benda kenyal milik Alena dengan kasar, hingga wanita cantik itu merintih kesakitan.Melihat Alena memejamkan mata, membuat Briyan berpikir kalau istrinya mulai menikmati permainannya. Namun dugaan Briyan salah, justru Alena semakin dingin bagaikan patung. Wanita cantik itu menutup mulutnya rapat-rapat dan menegangkan tubuhnya.Anjas menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar. Ia bangkit dari tubuh Alena, melangkah menuju meja untuk meraih ponsel dan menghubungi seseorang."Lakukan tugasmu, dan buang mayatnya ke jurang," ucap Briyan kepada lawan bicaranya.Mendengar ucapan Briyan, Alena segera bangkit dari tempat tidur. Berlari, memohon di kaki Briyan,
Panggilan yang masuk ke ponselnya, membuat Briyan mengurungkan niat untuk menghukum Alena. Pria tampan itu meminta Asep untuk mengurus Alena, selama ia pergi."Urus Alena dengan baik, jangan sampai dia kabur atau bunuh diri. Aku belum puas menyiksanya, bahkan ayahnya belum melihat seperti apa derita putrinya," ucap Briyan sebelum masuk ke dalam mobil yang akan mengantarnya ke bandara.Asep menunduk sopan, "baik tuan."Setelah Briyan meninggalkan kediaman Wijaya, Asep meminta Rati untuk mengantar makanan ke kamar Alena. Rati hanya mengantarnya saja, setelah itu ia langsung pergi. Sedangkan Asep, masih tetap di sana menemani Alena hingga selesai makan."Apa nyonya masih butuh sesuatu?" Tanya Asep.Alena menggelengkan kepala, "tidak pak.""Baiklah nyonya, kalau begitu saya permisi dulu." Asep bergegas menuju pintu."Tunggu sebentar pak." Panggil Alena.Asep menghentikan langkahnya, ia memutar tubuh menghadap Alena, "iya nyonya," sahutnya.Alena bangkit dari sofa, melangkah menghampiri As
Dua jam berlalu, akhirnya Alena membuka mata setelah dokter memberikannya suntikan. Ia membuka mata secara perlahan, dan bayangan wajah Briyan langsung menyambut penglihatannya yang masih buram."Alena, Alena. Tidak semudah itu kabur dariku." Ucap Briyan.Pria tampan itu, duduk di sofa dengan posisi kedua kaki diletakkan di atas meja.Alena sama sekali tidak merespon ucapan Briyan, ia justru memalingkan wajah untuk menghindari tatapan manusia iblis itu.Briyan menurunkan kedua kakinya, ia bangkit dan melangkah menghampiri Alena yang terbaring lemah di atas tempat tidur."Aw...jangan." ucap Alena saat tangan Briyan menerobos masuk ke dalam selimut dan mengelus paha mulusnya.Briyan menarik tangannya, ia tersenyum seribu arti. "Ternyata kamu masih memiliki tenaga," ucapnya."Tolong bebaskan aku dari sini, jika ayahku memiliki salah kepada keluarga ini, aku mohon maaf yang sedalam-dalamnya." Alena mengucapkan kata-katanya sambil berurai air mata.Briyan menatap dingin Alena, ia tertawa s
Dua hari telah berlalu, kondisi Alena sudah semakin membaik. Pagi ini Aurel akan membawanya ke luar dari sana."Ini." Aurel memberikan sesuatu ke tangan Alena.Alena memutar mata melihat telapak tangannya, "apa ini?" Ucapnya."Aku tahu, kamu pasti tidak memiliki uang. Jadi pakai lah uang ini untuk biaya kamu pergi dari kota ini." Alena tersenyum haru, ia sangat berterima kasih kepada Aurel. Bagi Alena, Aurel adalah malaikat penyelamat. Tetapi di balik semua itu, Alena tidak tahu kalau Aurel melalukan itu semua bukan karena kasihan kepadanya. Tapi, agar Aurel bisa memiliki Briyan seutuhnya. "Alena, kamu masuk ke bagasi ya?" Aurel membuka bagasi mobilnya, dibantunya Alena masuk ke dalam.Setelah itu Aurel masuk ke dalam mobil, bibirnya tersenyum bahagia sambil kakinya menginjak gas.Tin....tin...tin...."pak, saya ke luar sebentar. Mau belanja ke supermarket," ucap Aurel kepada penjaga gerbang."Baik nona."Aurel menginjak gas mobil, dengan secepat kilat ia meninggalkan kediaman Wijaya
Briyan mengunci Alena dengan menyandarkan kedua tangannya di tembok. Mata birunya menatap tajam kedua mata indah Alena."Apa kamu kembali, karena ayahmu?" Tanya Briyan dengan nada lembut. Bahkan napas pria tampan itu terasa di bibir Alena.Alena hanya diam, tubuhnya tegang dan matanya berkedip-kedip seperti boneka. Rasanya ingin menjawab Briyan, tetapi entah mengapa bibirnya kaku sehingga sulit untuk dibuka."Jawab." Sentak Briyan karena tidak ada jawaban dari Alena."Ha...i...i....iya" jawab Alena terbata-bata.Briyan tersenyum seribu arti, "jika kamu ingin ayahmu hidup lebih lama lagi! Jangan berani-berani untuk melangkah dari rumah ini. Ingat! Keselamatan ayahmu ada di tanganmu sendiri." Butiran bening itu menetes membasahi kedua pipi mulus Alena. Apakah hidupnya tercipta hanya untuk disakiti? Dan entah kesalahan apa yang sudah diperbuat ayahnya di masa lalu?"Tolong izinkan aku bertemu dengan ayahku." Ucap Alena dengan bibir bergetar dan nada yang lembut."Kamu bisa bertemu denga
Satu malam Alena tidak bisa tidur, seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan keningnya terasa panas seperti orang demam.Alena membaringkan tubuhnya di sofa, sedangkan Briyan di tempat tidur. Pria dingin itu, sama sekali tidak peduli dengan Alena. Padahal ia tahu kalau wanita cantik itu sejak tadi resah dan tak bisa tidur."Nyonya, nyoya." Rati membangunkan Alena.Alena membuka mata dengan malas, "iya bi.""Tuan menunggu nyonya di ruang tamu." "Hm... sebentar lagi aku turun."Sebelum menemui Briyan, Alena terlebih dulu membersihkan tubuhnya ke kamar mandi. "Apa tuan memanggil saya?" Tanya Alena yang berdiri di hadapan Briyan.Briyan menatapnya dingin, "cuci semua pakaian ini." Briyan menendang keranjang pakaian kotor yang ada di hadapannya.Alena tidak membantah atau menolak, tetapi wajahnya terlihat kesal dan marah. Menantang tidak akan ada gunanya, justru pria iblis itu akan memberinya hukuman.Alena mengangkat semua pakaian kotor dan membawanya ke kamar mandi. Dengan tubuh lemah, tan
Setelah melakukannya sebanyak 3 kali, Briyan meninggalkan Alena di kamar. Dia meminta pelayan wanita untuk mengurusnya.Tentu Rati merasa sedih melihat kondisi Alena, bahkan dia sampai meneteskan air mata melihat wanita cantik itu tertidur pulas di atas ranjang, dengan tubuh lemah dan polos tanpa pakaian. Ini kedua kalinya Rati menemukan bercak darah di atas seprai Alena.Darah itu bukanlah darah luka, melainkan darah perawan Alena. Rati membersihkan tubuh polos Alena dengan air hangat, di sana terlihat jelas tanda kepemilikan Briyan. Seluruh leher, dada hingga kedua paha mulus Alena, dipenuhi tanda kiss mark.Selesai membersihkan tubuh Alena, Rati bergegas menemui tuannya ke ruang kerja di lantai tiga. Ia mengeluhkan kondisi tubuh Alena yang terasa hangat."Bibi, jika Alena sakit! Tidak perlu mengatakannya padaku. Cukup ambil ponselmu dan hubungi dokter untuk memeriksanya." Ucap Anjas dengan santai."Baik tuan." Rati menunduk sopan lalu pergi.Dia menghubungi dokter pribadi keluarga