Share

Memohon untuk disentuh.

Permisi nyonya, tuan memaksa anda untuk turun,” ucap Asep dengan hormat.

“Tapi pak–” Alena tidak melanjutkan kata-katanya karena melihat Briyan tiba-tiba muncul di belakang Asep.

“Apa kamu sudah lupa dengan janjimu?” ucap Briyan dingin

Alena pun bergegas bangkit dari tempat tidur. Ia mengikuti langkah Briyan dan Asep menuju meja makan. Setibanya di meja makan, Zeira menarik satu kursi yang berjarak 5 kursi dari Briyan.

Keduanya menikmati makanan yang ada di depannya masing-masing tanpa berbicara. Hanya suara dentingan sendok yang memenuhi ruangan yang cukup luas itu, hingga mereka selesai sarapan.

Setelah selesai sarapan, Briyan terlebih dahulu meninggalkan meja makan bersama Asep. Kedua pria itu melangkah meninggalkan kediaman Wijaya menuju kantor Perkasa Grup. Sedangkan Alena, kembali ke kamar didampingi dua orang pelayan, termasuk Siti yang menjadi pelayan kepercayaan keluarga Wijaya sejak dulu.

“Apa nyonya butuh sesuatu?” tanya Siti. Saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar.

Alena menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Siti.

“Tapi, sepertinya luka yang ada di tubuh nyonya harus diobati.” Siti kembali membuka mulut. Ia tidak tega melihat tanda merah yang memenuhi seluruh tubuh wanita cantik itu. Namun, semua tanda merah itu bukan karena cambukan dari ikatikan pinggang, tetapi tanda merah yang dibagikan leher dan dada Alena adalah tanda kepemilikan Briyan tadi malam.

“Tidak perlu bi, aku tidak merasa sakit sama sekali,” tolak Alena dengan lembut.

“Kalau begitu, aku permisi dulu, nyonya. Jika ada yang perlu, panggil saja aku.” Rati meninggalkan kamar Alena dan kembali ke dapur untuk melanjutkan tugasnya.

Setelah pintu tertutup, Alena menunggu beberapa saat sebelum meraih ponsel dari dalam tasnya. Ia takut ketahuan oleh “orang-orang” Briyan.

Setelah memastikan aman, Alena pun mencoba menghubungi nomor ponsel ayahnya. 

Sayangnya, tidak satu pun yang terhubung. Semua panggilan hanya dijawab otomatis [ Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. ]

Hal itu membuat Alena jadi khawatir dan cemas. 

“Ayah kamu di mana? Kenapa tidak bisa dihubungi?” keluh Alena sambil berusaha menghubunginya lagi.

“Ow, aku harus menghubungi mbok Mira!” Alena mengingat satu nama dan segera menghubungi nomor perawat ayahnya itu

Tu...tu....tu..... Panggilan ternyata terhubung.

“Iya nyonya,” sahut perempuan dari seberang sana.

“Mbok di mana?” tanya Alena cemas.

“Saya di rumah nyonya, ada apa nyonya?”

“Kenapa nomor ayah tidak bisa dihubungi?” 

“Ow, mungkin ponsel tua sedang lowbat nyonya. Nyonya enggak usah khawatir, tuan baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu, aku pasti menghubungi nyonya.” Mbok Mira lalu mengarahkan kamera ponselnya kepada Hendarto yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur.

“Syukurlah, terima kasih, mbok.” Alena pun segera memutuskan sambungan teleponnya setelah memastikan ayahnya baik-baik saja. 

Dia takut ada yang melaporkannya pada Briyan, hingga pria itu mengambil ponselnya nanti. Jika itu terjadi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kini, Alena mungkin harus mengikuti permainan pria itu sampai menemukan celah untuk kabur. Dan, untuk menyelamatkan ayahnya.

*****

Satu hari penuh Alena hanya berdiam diri di dalam kamar. 

Ia keluar dari sana pada saat makan siang. Namun, saat ini wanita cantik itu sedang duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya.

Mata indahnya tertuju ke arah mobil mewah berwarna hitam yang masuk dari gerbang. Mobil siapa lagi kalau bukan mobil Briyan! Alena menghela napas kasar, ia tahu sebentar lagi Briyan pasti akan menyiksanya. 

Dan benar saja, baru saja ia melangkah masuk ke dalam kamar, tetapi matanya sudah langsung bertemu dengan mata biru Briyan. Pria tampan itu sudah berdiri di bibir pintu dengan posisi melipat kedua tangan di dada.

“Asep!” panggil Briyan. Lagi-lagi, dia mengandalkan sopir kepercayaannya itu.

“Iya, tuan,” sahut Asep yang langsung berdiri di hadapan Briyan.

“Lakukan tugasmu!” 

Alena tidak mengerti maksud Briyan. Di sisi lain, Asep segera melangkah menghampiri Alena bersama dua pelayan wanita.

“Ada apa ini?” tanya Alena bingung. Belum lagi, Asep dan kedua pelayan menariknya dan memintanya duduk di atas sofa. Ada apa ini?

Namun, bawahan adalah cerminan atasan. Tanpa banyak bicara, Asep mencengkram kedua pipi Alena dengan lembut, sedangkan kedua pelayan menggenggam tangan Alena agar wanita cantik itu tidak meronta. Hanya dalam hitungan detik, Alena menelan sesuatu yang dituangkan oleh Asep ke dalam mulutnya. 

“Kalian sudah gila? Racun apa yang kalian berikan padaku?” teriak Alena setelah Asep dan kedua pelayan itu melepaskannya.

“Itu hanya penenang,” jawab Briyan. Ia melangkah menuju sofa dan duduk dengan santai sambil mengangkat kedua kakinya di atas meja.

“Kami permisi dulu, tuan” Asep dan kedua pelayan meninggalkan kamar dan menutup pintu.

“Kamu memang sudah suamiku dan pernikahan ini bukan dasar atas cinta–melainkan paksaan karena kesepakatan dan perjanjian yang sudah ditandatangani oleh orang tua kita. Tetapi, bukan berarti kamu memperlakukan aku seperti ini!” ucap Alena sambil menatap Briyan dengan tatapan benci.

“Aku tahu kamu tidak mencintaiku dan tidak menginginkan aku menjadi istrimu. Begitu juga denganku. Jadi, mari akhiri permainanmu sekarang,”  lanjut Alena.

Briyan seketika tersenyum licik. “Kamu salah Nyonya Alena. Aku sangat menginginkan kamu sebagai istriku,” ucapnya dengan senyum seribu arti.

Saat Alena ingin membuka mulut untuk menjawab Briyan, tiba-tiba kepalanya pusing dan tubuhnya terasa aneh.  Alena meletakkan jari di kening sambil memijatnya dengan lembut. Namun, rasa pusing itu tidak juga hilang, begitu juga dengan rasa aneh yang di tubuhnya.

Alena menggeliat, seperti cacing yang tersiram air garam sambil menggigit bibir bawah. Sementara itu, Briyan masih duduk santai di tempatnya sambil tersenyum melihat Alena.

Hanya menunggu lima menit dan voila! Alena kini sudah berdiri di hadapan Briyan–memohon agar segera disentuh.

“Tolong aku, aku mohon….” Alena bahkan berlutut di hadapan Briyan.

Ini kedua kalinya wanita cantik itu memohon di hadapan Briyan. Tadi malam, ia memohon agar Briyan tidak menyiksa ayahnya.  Kali ini, ia memohon agar suaminya itu menyentuhnya.

Briyan tersenyum puas. Dengan angkuh, pria itu mencengkram kedua pipi Alena. 

“Bukankah kamu tidak mencintaiku dan tidak menginginkanku menjadi suamimu? Terus, kenapa kamu menginginkan sentuhan dariku?” bisiknya sambil melepaskan cengkeramannya dengan kasar.

“Aku mohon, kali ini saja,” sahut Alena dengan napas menderu. 

Rasa aneh yang menggerogoti tubuhnya membuat wanita cantik itu kembali mendesah. Namun, Briyan hanya duduk santai sambil melihat Alena. Tak sedikitpun dia merasa kasihan kepada istrinya.

“Aku akan memperlakukanmu sama seperti ayahmu  memperlakukan ibuku, Alena,” ucap Briyan dengan lembut dan nyaris tidak terdengar.

Bagaikan film, semua cerita dari sang tante terputar di benak Briyan. Betapa teganya Herdanto berselingkuh dengan Ibunya. Belum lagi, membuat wanita yang dihormatinya, seperti wanita murahan. Jika Briyan mau, Herdanto sebenarnya dapat ia bunuh. Namun, bukankah itu terlalu mudah?

Buku tangan Briyan pun memutih. “Alena, kamu memang tidak tahu apa-apa tentang ayahmu, tetapi kau harus menanggungnya!” batin pria tampan tersebut.

Setelah tiga menit berlalu, Alena akhirnya tergeletak di atas lantai. Wanita cantik itu tidak sanggup menahan rasa aneh yang menggerogoti tubuhnya. Bahkan, seluruh tubuhnya sudah panas karena hasrat yang tidak terlepaskan.

“Asep!” panggil Briyan.

“Iya, Tuan.” Asep membuka pintu dan masuk bersama kedua wanita berpakaian putih.

“Kerjakan tugasmu,” perintah Briyan sebelum pergi.

Segera, Asep mengangkat tubuh Alena dari lantai lalu membaringkannya dengan lembut di atas tempat tidur. Dokter pun langsung memasang infus dan menyuntikkan obat penawar untuk Alena yang mungkin sedang bermimpi buruk?

******

“Masuk!” Suara bariton Briyan terdengar dari dalam setelah Asep mengetuk pintu.

“Permisi, tuan!” Perlahan, Asep pun melangkah menghampiri Briyan yang duduk di kursi kerajaan.

“Apa semuanya sudah selesai?” tanya Briyan.

“Hmm… Sudah tuan, tetapi–”

“Tapi, apa?” tanya  Briyan dengan tidak sabar.

*

*

*

*

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status