Sementara Alena masih tetap di sana, duduk termenung sambil memikirkan apa yang dikatakan Rati kepadanya.Alena bangkit dari tempatnya, lalu masuk ke dalam rumah. Dia membersihkan tubuh ke dalam kamar mandi dan segera meninggalkan kediaman Wijaya."Pak, kita ke rumah sakit jiwa ya?" ucap Alena setelah masuk ke dalam taksi."Baik Bu." Mobil yang membawa Alena melaju membelah jalan ibu kota, menuju rumah sakit jiwa. Wanita cantik itu ingin tahu, apa Wil dan Bram memiliki hubungan atau tidak.Terus, kenapa Briyan menyembunyikannya? Kecurigaan mulai muncul dalam hati Alena.Setibanya di rumah sakit, Alena bergegas menuju meja informasi. Awalnya pihak rumah sakit tidak mengizinkan Alena untuk bertemu dengan Bram. Tetapi, setelah Alena mengatakan kalau dia adalah putri Bram! Akhirnya dia diizinkan.Alena diantar oleh petugas rumah sakit menuju ruangan Bram. Pria paruh baya itu tidak bergabung dengan yang lain, melainkan dia hanya tinggal sendiri di dalam kamarnya.Dari pintu, Alena sudah m
"Aw!” jerit Alena yang masih mengenakan gaun pengantin di tubuhnya.Perempuan itu tidak mengerti mengapa Briyan tiba-tiba mendorong tubuh mungilnya dengan kasar, hingga terjatuh di atas tempat tidur.Pria yang baru saja dinikahinya itu bahkan menatapnya dengan dingin, seakan Alena adalah sampah. “Cepat buka pakaianmu,” ucap Briyan dengan nada yang tinggi.“Ta–tapi, tuan,” ucap Alena bingung. Rasanya, dia belum sanggup untuk memanggil Briyan mas, papah, atau sayang–seperti suami-istri kebanyakan.“Tapi, apa?” bentak pria itu, “Bukankah kita sudah menikah?” Wanita cantik yang baru berusia 20 tahun itu meringkuk di atas tempat tidur. Sungguh, ia takut dengan sikap kasar suaminya. Ingin sekali, Alena kabur dari pernikahan ini bila tidak mengingat Herdanto, sang ayah sudah menandatangani sebuah surat kesepakatan–yang dapat memenjarakan pria tua itu jika menolak. Herdanto bukanlah pria tamak yang tergoda dengan surat warisan Keluarga Wijay. Meski mereka pemilik perusahaan multinasional
Tok....tok...tok!Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam, tetapi Alena belum bisa tidur. Jadi, dia duduk di tempat tidurnya dengan waspada–meski tanpa suara.“Permisi nyonya,” ucap pelayan Rati seiring dengan ketukan pintu. Wanita paruh baya itu melangkah, menghampiri Alena sambil membawa paper bag di tangannya. “Tuan meminta nyonya untuk mengenakan pakaian ini,” ucapnya sambil menaruh paper bag di hadapan Alena.“Hm…....” sahut Alena bersama anggukan kepala. Melihat respon sang majikan, Rati menunduk sopan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, nyonya.” Sebelum menutup pintu, ia terlebih dahulu melihat Alena sekilas. Rati merasa kasihan kepada Alena, ia tahu kalau malam ini Briyan pasti menyiksanya lagi.Dan benar saja, baru 10 menit Rati meninggalkan kamar, tiba-tiba, pintu terbuka. Briyan kembali muncul di bibir pintu.“Apa pelayan tidak menyampaikan pesan dariku?” tanya Briyan sambil melangkah dari pintu menuju ranjang. Ia bertanya seperti itu sebab Alena belum mengenakan pakaian
Permisi nyonya, tuan memaksa anda untuk turun,” ucap Asep dengan hormat.“Tapi pak–” Alena tidak melanjutkan kata-katanya karena melihat Briyan tiba-tiba muncul di belakang Asep.“Apa kamu sudah lupa dengan janjimu?” ucap Briyan dinginAlena pun bergegas bangkit dari tempat tidur. Ia mengikuti langkah Briyan dan Asep menuju meja makan. Setibanya di meja makan, Zeira menarik satu kursi yang berjarak 5 kursi dari Briyan.Keduanya menikmati makanan yang ada di depannya masing-masing tanpa berbicara. Hanya suara dentingan sendok yang memenuhi ruangan yang cukup luas itu, hingga mereka selesai sarapan.Setelah selesai sarapan, Briyan terlebih dahulu meninggalkan meja makan bersama Asep. Kedua pria itu melangkah meninggalkan kediaman Wijaya menuju kantor Perkasa Grup. Sedangkan Alena, kembali ke kamar didampingi dua orang pelayan, termasuk Siti yang menjadi pelayan kepercayaan keluarga Wijaya sejak dulu.“Apa nyonya butuh sesuatu?” tanya Siti. Saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar.A
“--Dokter mengatakan kalau penggunaan obat itu bisa berakibat fatal. Untung saja, nyonya bisa melewati masa kritisnya.” Sungguh, dia berharap atasannya ini berhenti menyiksa sang Nyonya. Bukan dia mendukung Herdanto, tapi bukankah ada cara lebih masuk akal untuk menyiksa pria itu?“Jika dia tidak bisa melewati masa kritisnya dan mati, itu mungkin sudah takdirnya” sahut Briyan dengan santai. Tanpa perasaan, pria tampan itu masih saja kekeuh pada pendapatnya–melampiaskan dendam kepada wanita yang tidak bersalah.“Tapi tuan—”“Jangan menceramahi aku, Asep,” sela Briyan yang membuat Asep tidak melanjutkan kata-katanya. “Sekarang, suruh pelayan untuk mengurusnya,” lanjut Briyan memerintah Asep. “Baik tuan.” Asep pun meninggalkan ruang kerja Briyan dan melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Ia menemui pelayan Rati dan memintanya untuk mengurus Alena.*****Mendengar perintah sang majikan, wanita paruh baya itu segera menyiapkan makanan untuk Alena. Sepertinya, kali ini, wanita canti
“Hah? Ayah? Tidak … tidak!” ucap Alena dengan perasaan linglung, “Ayah tidak mungkin pergi meninggalkanku sendiri, kan?” Alena pun bangkit dari sisi ranjang melangkah menuju kamar Briyan untuk mencari pria itu. Ia membuka pintu secara tiba-tiba tanpa mengetuknya terlebih dahulu.“Apakah kamu tidak memiliki etika saat memasuki kamar orang lain?” ucap Briyan dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam.“Ma...ma... maaf.” Alena gugup dan memalingkan wajah agar tidak melihat Briyan yang bertelanjang dada dengan posisi kedua wanita bergelayut manja di lengannya.Briyan segera melepaskan lengannya dari kedua wanita itu. Ia melangkah menghampiri Alena yang berdiri di bibir pintu. Hanya dalam hitungan detik, tangan kekar Briyan sudah mencengkram pergelangan tangan Alena dan membawanya masuk ke dalam kamar wanita cantik itu.“Apa kamu datang ke kamarku untuk bertanya siapa kedua wanita itu?” todong Briyan, percaya diri.Mendengar itu, Alena menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak akan mengg
Satu hari satu malam berada di gudang bawah tanah, Alena hanya bisa menagis sambil meringkuk memeluk kedua kakinya. Makanan yang diantar oleh pelayan, sama sekali tidak ia sentuh. Untuk apa dia hidup ? Kalau hanya disiksa oleh Briyan setiap hari. Mati adalah pilihan yang tepat untuk Alena saat ini. Di sisi lain, Asep berusaha membujuk tuannya untuk membebaskan Alena dari ruangan gelap itu. "Apa kamu ingin mengajariku?" Ucap Briyan kepada Asep. "Bu...bukan begitu, tuan." Asep gugup, "Jika nyonya tidak makan sepanjang hari, tentu akan terjadi sesuatu kepada beliau. Dan tuan tidak akan bisa balas dendam" Briyan terdiam sesaat, "keluarkan dia." Asep bergegas meninggalkan ruang kerja Briyan, dengan langkah seribu kaki jenjangnya menuju gudang bawah tanah. Saat pintu terbuka, Asep melihat Alena meringkuk di sudut ruangan. Wanita cantik berambut hitam itu, sama sekali tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Asep melangkah menghampiri Alena, ia menjatuhkan lututnya di lantai.
Tangan kekar Briyan menarik lengan Alena dengan kasar, lalu melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia menindih tubuh wanita cantik itu, menghujani ciuman di seluruh leher jenjang Alena dan meninggalkan beberapa tanda kepemilikan di sana.Sikap dingin dari Alena, membuat Briyan mengubah aksinya menjadi lebih kasar. Ia meremas benda kenyal milik Alena dengan kasar, hingga wanita cantik itu merintih kesakitan.Melihat Alena memejamkan mata, membuat Briyan berpikir kalau istrinya mulai menikmati permainannya. Namun dugaan Briyan salah, justru Alena semakin dingin bagaikan patung. Wanita cantik itu menutup mulutnya rapat-rapat dan menegangkan tubuhnya.Anjas menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar. Ia bangkit dari tubuh Alena, melangkah menuju meja untuk meraih ponsel dan menghubungi seseorang."Lakukan tugasmu, dan buang mayatnya ke jurang," ucap Briyan kepada lawan bicaranya.Mendengar ucapan Briyan, Alena segera bangkit dari tempat tidur. Berlari, memohon di kaki Briyan,