Tok....tok...tok!
Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam, tetapi Alena belum bisa tidur. Jadi, dia duduk di tempat tidurnya dengan waspada–meski tanpa suara.“Permisi nyonya,” ucap pelayan Rati seiring dengan ketukan pintu.Wanita paruh baya itu melangkah, menghampiri Alena sambil membawa paper bag di tangannya.
“Tuan meminta nyonya untuk mengenakan pakaian ini,” ucapnya sambil menaruh paper bag di hadapan Alena.“Hm…....” sahut Alena bersama anggukan kepala.
Melihat respon sang majikan, Rati menunduk sopan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, nyonya.”
Sebelum menutup pintu, ia terlebih dahulu melihat Alena sekilas. Rati merasa kasihan kepada Alena, ia tahu kalau malam ini Briyan pasti menyiksanya lagi.
Dan benar saja, baru 10 menit Rati meninggalkan kamar, tiba-tiba, pintu terbuka. Briyan kembali muncul di bibir pintu.
“Apa pelayan tidak menyampaikan pesan dariku?” tanya Briyan sambil melangkah dari pintu menuju ranjang.
Ia bertanya seperti itu sebab Alena belum mengenakan pakaian yang diberikan pelayan.
Entah mendapat keberanian dari mana, Alena melemparkan paper bag ke lantai.
“Aku tidak akan pernah memakainya,” ucapnya dengan lantang.
Mendengar itu, emosi Briyan kembali tersulut. Jari panjang Briyan langsung mencengkram kedua pipi Alena dengan kasar. “Turunkan nada bicaramu dan turuti perintahku,” ucapnya setengah berbisik.
Alena merintih kesakitan saat Briyan melepaskan cengkeramannya. Kedua pipi wanita cantik itu terlihat merah karena bekas jari tangan sang suami.
“Aku tidak akan pernah memakainya dan menuruti perintah kamu.” Lagi-lagi, Alena membantah.
Briyan tersenyum sinis. “Apa kamu yakin tidak akan menuruti perintahku?” ucapnya.
“Tidak akan pernah,” tegas Alena.
Briyan meraih ponsel dari saku celana, lalu menghadapkan layarnya ke wajah Alena. Sebuah foto ayahnya terpampang dengan jelas.
Dalam sekejap, wajah Alena pun berubah jadi pucat dan butiran bening semakin deras mengalir dari kedua mata indahnya.“Jangan, aku mohon jangan siksa ayahku,” ucap Alena sambil menatap Briyan dengan tatapan memohon.
Briyan tersenyum puas. “Semua tergantung perilakumu. Aku akan meminta mereka untuk menyiksa tuan Hendarto, jika kamu tidak menurut–”
“Aku pasti menurutinya,” sahut Alena dengan sigap.
Dalam sekejap, ia berubah pikiran demi ayahnya. Alena tidak mau sampai orang suruhan Briyan melakukan hal buruk kepada ayahnya. Ibunya sudah lama tiada dan hanya Hendarto lah harta satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.
Melihat reaksi Alena, Briyan tersenyum miring. Dia puas melihat wajah panik dari “istrinya itu”.
“Sayangnya, sudah terlambat Alena.”
Alena seketika bangkit dari ranjang. Ia berlari menghampiri Briyan yang duduk di sofa.
“Aku mohon tuan,” ucapnya sambil berlutut di depan kaki Briyan.
“Hahahaha…” Briyan tertawa puas sebelum kembali berkata, “Baiklah. Ingat! Menurut!”
Mendengar itu, Alena bangkit lalu meraih paper bag dari atas lantai. Ia melangkah menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Meski syok melihat isinya, tetapi Alena mengabaikannya. Kini, lingerie berwana merah cerah sudah melekat di tubuh indahnya.
Briyan menyeringai puas. Namun, itu tak berlangsung lama.
“Oh my God,” ucap dalam hati Briyan ketika menyadari betapa indahnya tubuh Alena yang bak gitar Spanyol. Tanpa sadar, ia bahkan sudah menggigit bibir bawahnya.
Sungguh, Briyan baru menyadari betapa indah tubuh istrinya itu. Tadi, dia terlalu emosi mengingat betapa teganya Herdanto mencelakai kedua orang tuanya, hingga meninggal.
Briyan lalu bangkit dari sofa melangkah menghampiri Alena yang sedang melangkah ke arahnya. Ia mencengkram kedua lengan Alena lalu melemparkannya dengan kasar ke atas tempat tidur. Sementara itu, Alena hanya pasrah meski tidak rela.
Wanita cantik itu hanya diam layaknya patung saat Briyan menikmati seluruh tubuhnya. Bahkan, mulutnya tertutup rapat dan tidak membalas ciuman dari suaminya.
Alena benar-benar tidak ikhlas menyerahkan kehormatannya walaupun ia dan Briyan sudah menikah secara sah di negara dan agama. Bagi Alena, Briyan adalah lelaki penjahat wanita yang tidak layak untuk menjadi seorang suami.
Sikap dingin dari Alena membuat Briyan tidak melanjutkan aksinya. Pria tampan itu bangkit dari atas tubuh Alena lalu pergi tanpa berbicara sepatah kata.
“Ayah … ” ucap Alena di sela-sela tangisan. Baru satu hari resmi menjadi istri Briyan Pratama Wijaya, tetapi Alena sudah menyerah dan tidak kuat. Di balik ketampanan Briyan, ternyata tersimpan kekerasan yang luar biasa.
Selama ini, Alena hanya mendengar gosip tentang Briyan yang selalu hobi gonta ganti pasangan, itu sebabnya pria tampan itu dijuluki sebagai CEO penjahat kelamin. Walaupun begitu, wanita tetap saja berlomba-lomba untuk mendekatinya dan menarik perhatian Briyan.
Alena tertidur karena terlalu lama menangis dan saat membuka mata, hari sudah pagi. Bahkan sinar matahari sudah masuk ke dalam kamar menembus melalui kaca jendela.
*****
Alena terbangun dalam keadaan lapar. Bahkan, cacing yang ada di dalam perutnya sudah saling bersahutan. Tetapi, Alena tidak ingin satu meja dengan Briyan. Itu sebabnya Alena membuat alasan supaya tidak turun ke sana.Sementara itu, di bawah sana, Briyan sedang kesal setelah mendengar laporan dari Asep.
“Bawa wanita itu ke mari! Jika dia menolak, seret saja,” perintah Briyan.
“Baik, tuan!” Asep pun kembali menaiki anak tangga menuju kamar Alena. Dia gelisah dan berharap sang Nyonya cepat menurut dibandingkan Tuannya lebih marah dari ini.
*****Permisi nyonya, tuan memaksa anda untuk turun,” ucap Asep dengan hormat.“Tapi pak–” Alena tidak melanjutkan kata-katanya karena melihat Briyan tiba-tiba muncul di belakang Asep.“Apa kamu sudah lupa dengan janjimu?” ucap Briyan dinginAlena pun bergegas bangkit dari tempat tidur. Ia mengikuti langkah Briyan dan Asep menuju meja makan. Setibanya di meja makan, Zeira menarik satu kursi yang berjarak 5 kursi dari Briyan.Keduanya menikmati makanan yang ada di depannya masing-masing tanpa berbicara. Hanya suara dentingan sendok yang memenuhi ruangan yang cukup luas itu, hingga mereka selesai sarapan.Setelah selesai sarapan, Briyan terlebih dahulu meninggalkan meja makan bersama Asep. Kedua pria itu melangkah meninggalkan kediaman Wijaya menuju kantor Perkasa Grup. Sedangkan Alena, kembali ke kamar didampingi dua orang pelayan, termasuk Siti yang menjadi pelayan kepercayaan keluarga Wijaya sejak dulu.“Apa nyonya butuh sesuatu?” tanya Siti. Saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar.A
“--Dokter mengatakan kalau penggunaan obat itu bisa berakibat fatal. Untung saja, nyonya bisa melewati masa kritisnya.” Sungguh, dia berharap atasannya ini berhenti menyiksa sang Nyonya. Bukan dia mendukung Herdanto, tapi bukankah ada cara lebih masuk akal untuk menyiksa pria itu?“Jika dia tidak bisa melewati masa kritisnya dan mati, itu mungkin sudah takdirnya” sahut Briyan dengan santai. Tanpa perasaan, pria tampan itu masih saja kekeuh pada pendapatnya–melampiaskan dendam kepada wanita yang tidak bersalah.“Tapi tuan—”“Jangan menceramahi aku, Asep,” sela Briyan yang membuat Asep tidak melanjutkan kata-katanya. “Sekarang, suruh pelayan untuk mengurusnya,” lanjut Briyan memerintah Asep. “Baik tuan.” Asep pun meninggalkan ruang kerja Briyan dan melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Ia menemui pelayan Rati dan memintanya untuk mengurus Alena.*****Mendengar perintah sang majikan, wanita paruh baya itu segera menyiapkan makanan untuk Alena. Sepertinya, kali ini, wanita canti
“Hah? Ayah? Tidak … tidak!” ucap Alena dengan perasaan linglung, “Ayah tidak mungkin pergi meninggalkanku sendiri, kan?” Alena pun bangkit dari sisi ranjang melangkah menuju kamar Briyan untuk mencari pria itu. Ia membuka pintu secara tiba-tiba tanpa mengetuknya terlebih dahulu.“Apakah kamu tidak memiliki etika saat memasuki kamar orang lain?” ucap Briyan dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam.“Ma...ma... maaf.” Alena gugup dan memalingkan wajah agar tidak melihat Briyan yang bertelanjang dada dengan posisi kedua wanita bergelayut manja di lengannya.Briyan segera melepaskan lengannya dari kedua wanita itu. Ia melangkah menghampiri Alena yang berdiri di bibir pintu. Hanya dalam hitungan detik, tangan kekar Briyan sudah mencengkram pergelangan tangan Alena dan membawanya masuk ke dalam kamar wanita cantik itu.“Apa kamu datang ke kamarku untuk bertanya siapa kedua wanita itu?” todong Briyan, percaya diri.Mendengar itu, Alena menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak akan mengg
Satu hari satu malam berada di gudang bawah tanah, Alena hanya bisa menagis sambil meringkuk memeluk kedua kakinya. Makanan yang diantar oleh pelayan, sama sekali tidak ia sentuh. Untuk apa dia hidup ? Kalau hanya disiksa oleh Briyan setiap hari. Mati adalah pilihan yang tepat untuk Alena saat ini. Di sisi lain, Asep berusaha membujuk tuannya untuk membebaskan Alena dari ruangan gelap itu. "Apa kamu ingin mengajariku?" Ucap Briyan kepada Asep. "Bu...bukan begitu, tuan." Asep gugup, "Jika nyonya tidak makan sepanjang hari, tentu akan terjadi sesuatu kepada beliau. Dan tuan tidak akan bisa balas dendam" Briyan terdiam sesaat, "keluarkan dia." Asep bergegas meninggalkan ruang kerja Briyan, dengan langkah seribu kaki jenjangnya menuju gudang bawah tanah. Saat pintu terbuka, Asep melihat Alena meringkuk di sudut ruangan. Wanita cantik berambut hitam itu, sama sekali tidak menoleh untuk melihat siapa yang datang. Asep melangkah menghampiri Alena, ia menjatuhkan lututnya di lantai.
Tangan kekar Briyan menarik lengan Alena dengan kasar, lalu melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia menindih tubuh wanita cantik itu, menghujani ciuman di seluruh leher jenjang Alena dan meninggalkan beberapa tanda kepemilikan di sana.Sikap dingin dari Alena, membuat Briyan mengubah aksinya menjadi lebih kasar. Ia meremas benda kenyal milik Alena dengan kasar, hingga wanita cantik itu merintih kesakitan.Melihat Alena memejamkan mata, membuat Briyan berpikir kalau istrinya mulai menikmati permainannya. Namun dugaan Briyan salah, justru Alena semakin dingin bagaikan patung. Wanita cantik itu menutup mulutnya rapat-rapat dan menegangkan tubuhnya.Anjas menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar. Ia bangkit dari tubuh Alena, melangkah menuju meja untuk meraih ponsel dan menghubungi seseorang."Lakukan tugasmu, dan buang mayatnya ke jurang," ucap Briyan kepada lawan bicaranya.Mendengar ucapan Briyan, Alena segera bangkit dari tempat tidur. Berlari, memohon di kaki Briyan,
Panggilan yang masuk ke ponselnya, membuat Briyan mengurungkan niat untuk menghukum Alena. Pria tampan itu meminta Asep untuk mengurus Alena, selama ia pergi."Urus Alena dengan baik, jangan sampai dia kabur atau bunuh diri. Aku belum puas menyiksanya, bahkan ayahnya belum melihat seperti apa derita putrinya," ucap Briyan sebelum masuk ke dalam mobil yang akan mengantarnya ke bandara.Asep menunduk sopan, "baik tuan."Setelah Briyan meninggalkan kediaman Wijaya, Asep meminta Rati untuk mengantar makanan ke kamar Alena. Rati hanya mengantarnya saja, setelah itu ia langsung pergi. Sedangkan Asep, masih tetap di sana menemani Alena hingga selesai makan."Apa nyonya masih butuh sesuatu?" Tanya Asep.Alena menggelengkan kepala, "tidak pak.""Baiklah nyonya, kalau begitu saya permisi dulu." Asep bergegas menuju pintu."Tunggu sebentar pak." Panggil Alena.Asep menghentikan langkahnya, ia memutar tubuh menghadap Alena, "iya nyonya," sahutnya.Alena bangkit dari sofa, melangkah menghampiri As
Dua jam berlalu, akhirnya Alena membuka mata setelah dokter memberikannya suntikan. Ia membuka mata secara perlahan, dan bayangan wajah Briyan langsung menyambut penglihatannya yang masih buram."Alena, Alena. Tidak semudah itu kabur dariku." Ucap Briyan.Pria tampan itu, duduk di sofa dengan posisi kedua kaki diletakkan di atas meja.Alena sama sekali tidak merespon ucapan Briyan, ia justru memalingkan wajah untuk menghindari tatapan manusia iblis itu.Briyan menurunkan kedua kakinya, ia bangkit dan melangkah menghampiri Alena yang terbaring lemah di atas tempat tidur."Aw...jangan." ucap Alena saat tangan Briyan menerobos masuk ke dalam selimut dan mengelus paha mulusnya.Briyan menarik tangannya, ia tersenyum seribu arti. "Ternyata kamu masih memiliki tenaga," ucapnya."Tolong bebaskan aku dari sini, jika ayahku memiliki salah kepada keluarga ini, aku mohon maaf yang sedalam-dalamnya." Alena mengucapkan kata-katanya sambil berurai air mata.Briyan menatap dingin Alena, ia tertawa s
Dua hari telah berlalu, kondisi Alena sudah semakin membaik. Pagi ini Aurel akan membawanya ke luar dari sana."Ini." Aurel memberikan sesuatu ke tangan Alena.Alena memutar mata melihat telapak tangannya, "apa ini?" Ucapnya."Aku tahu, kamu pasti tidak memiliki uang. Jadi pakai lah uang ini untuk biaya kamu pergi dari kota ini." Alena tersenyum haru, ia sangat berterima kasih kepada Aurel. Bagi Alena, Aurel adalah malaikat penyelamat. Tetapi di balik semua itu, Alena tidak tahu kalau Aurel melalukan itu semua bukan karena kasihan kepadanya. Tapi, agar Aurel bisa memiliki Briyan seutuhnya. "Alena, kamu masuk ke bagasi ya?" Aurel membuka bagasi mobilnya, dibantunya Alena masuk ke dalam.Setelah itu Aurel masuk ke dalam mobil, bibirnya tersenyum bahagia sambil kakinya menginjak gas.Tin....tin...tin...."pak, saya ke luar sebentar. Mau belanja ke supermarket," ucap Aurel kepada penjaga gerbang."Baik nona."Aurel menginjak gas mobil, dengan secepat kilat ia meninggalkan kediaman Wijaya