Share

Bab 4 Menunggu Hasil

Keesokan harinya.

Uuna hanya termenung sambil menunggu telpon dari dokter Nadia di kantin kampusnya. Pagi ini bibinya sudah 10 kali lebih menanyakan keberadaan Uuna dan memastikan soal biaya operasi ibunya. Bibi Uuna yang bernama Aminah atau biasa dipanggil Bi Ami oleh Uuna sudah tidak sanggup lagi mendengar setiap rintihan dari ibunya Uuna.

Uuna terperanjat kaget ketika sahabatnya Luna menepuk bahunya karena mendengar suara ponsel miliknya yang terus berdering.

"Yun. Ponsel Kamu bunyi terus."

Uuna hanya menoleh masih belum sadar dengan apa yang dibicarakan oleh Luna.

"Heh.. apa Lun?"

"Hp kamu Yoona...."

"Namaku Uuna, bukan Yoona dan aku asli Indonesia buka orang Korea idola kamu itu...!" sarkas Uuna tidak terima namanya diganti oleh Luna dari Uuna menjadi Yoona.

"Iya, iya. Tuh hp kamu getar lagi, angkat gih, siapa tahu penting." ucapnya sambil menunjuk ponsel milik Uuna yang terus bergetar di atas meja kantin yang mereka duduki. 

Uuna memang tidak suka dengan nama Korea, tapi Uuna hobi menonton drama mereka. Lebih tepatnya Uuna suka film apapun asal menarik dilihatnya.

Uuna memandangi layar ponselnya dan tertera nama dokter Nadia di sana. Uuna memberikan isyarat dengan tangannya ketika hendak mengangkat telepon dan menjauh dari Luna sahabatnya.

"Halo, Dok. Bagaimana hasilnya?" tanyanya dengan nada cemas.

Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. Tak lama suara dokter Nadia kembali terdengar.

"Maaf, Uuna, hasilnya negatif. Kita gagal Uuna," jawabnya dengan nada penuh penyesalan.

"La-lantas i-ibuku ...?" tanyanya lirih.

"Maaf, Uuna, kami akan memberikan 20 juta sebagai kompensasi atas waktu yang sudah kamu lalui—" Dokter Nadia menjeda ucapanya beberapa saat dan kembali helaan nafas memburu dan kasar terdengar, "Kita akan melakukannya kembali setelah pemeriksaan ulang, Uuna. Kamu bersedia, kan?" tanyanya penuh harap.

"Maaf, Dok, untuk sementara waktu aku akan mengurus ibuku sampai pulih," tolaknya dengan halus. Uuna sendiri sangat bingung harus mencari kemana sisa uang untuk operasi ibunya itu.

'Ibu, Uuna minta maaf ….'

**

Di desa.

Uuna hanya bisa memandangi wajah ibunya dengan tatapan nanar, Ibunya begitu kurus dengan mata yang terlihat begitu cekung. Selama sakit ibunya hanya bisa makan bubur encer nyaris seperti air.

Uuna melihat ibunya yang mulai membuka mata dan memandangi wajahnya. "Uuna ...," panggilnya lirih, nyaris tak terdengar.

Mendengar ibunya memanggil namanya, Uuna hanya bisa mengelus punggung tangan ibunya yang begitu kurus. Uuna hanya bisa memberi kecupan di punggung tangan ibunya, sambil sesekali ia tempelkan di pipinya. "Ibu, ibu harus sehat. Demi Uuna, ibu!" ucap Uuna di sela air matanya.

Uuna kembali melihat ibunya menggelengkan kepalanya. "Ba-bapak, su-sudah jemput, Nak," ucapnya terbata-bata.

"Ibu, Ibu belum boleh pergi. Na na-nanti Uuna sama siapa?" dada Uuna sudah sangat sesak mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya.

"I i-ini sakit U-una, ba-bapak bi-bilang, sa-sakitnya akan sembuh ji-jika, ib-ibu per-pergi dengan dengan ba-bapak!" Ucapnya lagi dengan nafas yang terputus-putus.

"Ibu harus kuat," Uuna semakin tidak sanggup menahan sesak di dadanya yang terasa begitu penuh. "Ibu, tidak boleh bicara seperti itu. Uuna sayang ibu. Ibu harus sehat lagi, Uuna sudah siapkan uangnya. Uuna mohon ibu," pintanya pada sang ibu yang sudah memejamkan mata. "Ibu bangun, Uuna mohon, Ibu. Ibu harus bangun, buka matanya. Uuna sendiri ibu, Uuna mohon ...," Uuna mencoba mengguncang tubuh ibunya yang bahkan bergerak saja tidak.

"Ibu ...."

"Ibu ...."

Uuna memanggil-manggil nama ibunya. Merasa sama sekali tidak ada respon dari tubuh yang sedari tadi di guncang-guncang olehnya, Uuna berlari keluar dan mencari siapapun yang ia temui di luar sana.

"Tolong..! Tolong ibu saya..! Tolong, ibu sudah tidak bergerak..!" teriaknya di sepanjang lorong.

Suster yang tahu dengan apa yang dimaksud oleh Uuna, suster itu pun berlari di mana ibu dari gadis yang sedang menangis itu meminta bantuan berada. Sesampainya suster di hadapan pasien, ia mulai menekan di beberapa titik nadi. Sekilas Uuna melihat suster menggelengkan kepalanya dan menekan tombol merah yang tepat berada diatas kepala ranjang. Melihat itu, Uuna benar-benar merasa takut.

Beberapa suster dan dokter pun berdatangan ke dalam kamar ibunya Uuna. "Masih ada, tapi sangat lemah, Dok!" jelas suster yang sejak tadi menangani ibunya.

"Kalau begitu, segera lakukan tindakan." Dokter menimpali. Tak lama Uuna diminta untuk menunggu di luar, sementara para ahli medis melakukan tindakan terhadap pasien. 

"Saya mau lihat ibu saya, Sus. Saya mohon, biarkan saya di sini." pinta Uuna dengan begitu mengiba.

Dokter yang mendengar itu hanya bisa mengangguk lemah ke arah suster yang akan mengajak Uuna untuk meninggalkan ruangan ibunya.

Sementara ibunya yang sedang mendapatkan tindakan, Uuna hanya bisa menengadahkan tangannya, berdoa dan berharap keajaiban datang. Ya, Uuna hanya bisa berdoa di sela-sela Isak tangisnya.

Ketika ia sedang begitu khusyuk berdoa, dokter menepuk bahu Uuna, "maaf, Nak Uuna. Ibu Anda sudah tidak ada ...," ucap dokter dengan nada lirih. "Beliau, menyerah karena rasa sakit yang dideritanya ... Beliau bahkan tahu, penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi sekalipun."

Uuna masih bersimpuh di lantai mencerna dengan baik setiap apa yang sampaikan oleh dokter kepadanya.

Melihat Uuna, yang hanya diam saja, bahkan sudah tidak terdengar lagi Isak tangisnya, dokter kembali menepuk bahu Uuna. "Nak Uuna, ibu Anda sudah pergi," ucapnya lagi.

Mendengar kata pergi, seolah ada kilatan petir yang menyambar di hadapannya. Dadanya benar-benar penuh dan sesak. Uuna langsung bangkit dari duduknya dan berlari ke arah dimana ibunya terbaring dengan sangat kaku.

"Ibu..! Uuna ikut, ibu..!" Uuna memeluk jasad ibunya yang hanya sempat ia rawat selama satu Minggu semenjak kepulangannya dari kota. "Ibu..! Ibu...!" Uuna terus memanggil nama ibunya berulang kali.

Bibi yang mendengar kepergian kakaknya hanya bisa menguatkan keponakannya. Bibi Ai tahu betul bagaimana kakaknya menahan sakit selama ini. Mungkin dengan begini, walaupun berat, kepergian kakanya adalah yang terbaik.

***

Seminggu setelah kepergian ibunya, Uuna hanya duduk termenung dengan dagu bersandar pada dengkul yang ia tekuk. Sementara bibinya hanya bisa melihat dan menyemangati keponakannya yang masih sangat berduka.

Uuna yang tidak bisa menjaga kondisinya selama ini, merasakan mual sangat berlebihan. Uuna tahu betul semenjak kedatangannya ke desa, pola makanya tidak teratur, bahkan sering kali telat. Uuna berusaha sebisa mungkin menahan mual di perutnya dan meminta bibinya untuk membalurkan minyak angin di seluruh tubuhnya.

Di kota.

Dokter Nadia sedang memeriksa ulang, di mana kesalahan pada inseminasi yang ia lakukan. Menurutnya semua sudah sangat bagus, bahkan rahim Uuna menerima benih dengan sangat baik. Lantas dimana kesalahan yang menyebabkan kegagalan itu.

Dokter Nadia membolak-balik laporan kesehatan yang dilakukan oleh Uuna dengan sangat teliti. Dua Minggu ini dokter Nadia hanya fokus pada kasus Darren dan Uuna, bahkan ia tidak menerima pasien satu pun. Beruntung ini adalah rumah sakit milik keluarganya dan Keluarga Ibrahim Hayes yang selalu mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk rumah sakit ini. Sehingga ia yang begitu fokus dan tidak menerima pasien tidak mendapat teguran dari atasnya.

Nadia begitu fokus pada hasil tes darah dan tes kesehatan yang dilakukan oleh Uuna, disana ia menemukan kejanggalan dari golongan darah pada tes kehamilan. Jelas-jelas Uuna memiliki golongan darah B+ dan hasil tes kehamilan ini bergolongan darah B. "Ini pasti ada kesalahan," Nadia berusaha mengingat-ingat lagi siapa yang sudah membawa sampel darah Uuna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status