Sudah berminggu-minggu sejak pengusiran Delta dari rumah sakit. Hubungan Ocean dan Satrio memburuk karena hal itu. Ocean menuduh Satrio semena-mena sementara Satrio tidak mau mengalah dan tetap bersikeras bahwa Delta adalah tamu yang tidak dia inginkan dan tak seharusnya datang beberapa kali untuk menengok bapak Ocean.
Ocean yang tidak sependapat dengan Satrio secara otomatis mengemukaan pendapat bahwa Delta datang hanya sebagai teman dan tidak pantas jika Satrio mengusirnya. Namun, Satrio tetaplah Satrio yang tidak akan mendengarkan orang lain jika sudah berpendapat. Semua ucapan Ocean dianggap angin lalu hingga segala sesuatunya memburuk untuk mereka berdua.
Ocean yang awalnya mendiamkan tingkah suaminya menjadi makin serba salah ketika suaminya itu tidak merespon keterdiamannya. Semua seolah menjadi bumerang untuknya. Satrio bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu dengan semua alasan yang diucapkan Ocean dan berujung yang perang dingin di antara keduanya.
Niat memberi pelajaran pada Satrio kenyataannya justru dialah yang dirugikan. Satrio berangkat dan pulang kerja tidak pernah berbicara dengannya. Komunikasi mereka hanya saat diperlukan saja. Menjaga jarak pun juga tidak memberikan banyak pengaruh. Satrio tetap datang setiap menginginkannya dan tidak peduli dengan penolakan Ocean. Kebutuhan Satrio sebagai suami juga tetap diberikan Ocean meski terpaksa.
Akhir-akhir ini malah lebih buruk, Satrio pergi begitu saja setelah selesai dengan urusan yang satu itu. Ocean merasa terhina dan marah diperlakukan tidak layak, tetapi untuk menolak pun juga tidak bisa. Memangnya dianggap apa dia oleh suaminya hingga menerima perlakuan seperti itu. Pernah Ocean menolak keinginan Satrio dan bukannya mendengar, suaminya justru melakukan semuanya dengan cepat dan pergi keluar rumah setelahnya. Ocean menangis dalam diam, meratapi betapa mahal harga yang harus dia bayar untuk kesembuhan bapaknya.
"Jam berapa suamimu menjemput, Nduk?" tanya ibu Ocean.
Ocean melirik jam di pergelangan tangannya. "Mungkin setengah jam lagi, Bu. Apa bapak dan ibu memerlukan sesuatu?"
Ibunya menggeleng. "Tidak, hanya saja ibu perhatikan akhir-akhir ini kok kamu seperti ada masalah begitu dengan Nak Satrio. Ingat, dia itu suamimu, ndak pantas kalau kamu uring-uringan tidak jelas," nasehat ibunya.
Selalu seperti itu. Jika ada pasangan bertengkar, tidak bisakah para orang tua itu berpikir kalau pihak suami itu juga bisa salah? Ocean mengerti bahwa perempuan memang harus mengabdi kepada suaminya, tetapi jika suaminya salah ... apa pengabdiannya harus menjadi pengabdian buta dan mengesampingkan perasaannya sendiri?
"Malah ngelamun, mikir apa sebenernya kamu itu?" Ibunya menyenggol lengan Ocean.
Ocean menoleh pada ibunya. "Nggak mikir apa-apa, Bu," elak Ocean. "Ngomong-ngomong kapan waktunya bapak kontrol?" Ocean mengalihkan pembicaraan.
Ibunya tertawa lembut. "Kenapa mesti kontrol jika dokternya sudah kemari? Sejak bapakmu pulang, dokter berkumis tipis itu secara rutin datang untuk memeriksa bapakmu. Sekali dengan dokter yang menangani operasinya, selanjutnya dia datang dengan istrinya."
"Athena?"
"Wah, kamu kenal Mbak Athena? Dia baik, ya, Nduk?"
"Iya. Lama nggak mereka di sini, Bu?"
"Enggak. Selesai memeriksa bapakmu ya hanya ngobrol sebentar. Trus pulang karena istrinya harus praktek, katanya."
Ocean mengangguk, tidak berkomentar pada pernyataan ibunya. Dia mendengar suara mobil Satrio di luar. Sebelum ibunya memberikan titah untuk membuka pintu untuk sang menantu kesayangan, Ocean beranjak dan berniat membuka pintu terlebih dulu.
Satrio masuk begitu Ocean membuka pintu. Suaminya langsung menuju ke ruang tengah dan duduk di depan ibunya. Tidak ada rasa sungkan berlebihan yang diperlihatkan oleh Satrio. Pria itu cukup sopan dan sangat pandai membawa diri.
"Malam, Bu," sapa Satrio, "bapak sehat? Ada keluhan atau tidak?" tanyanya santun.
Ocean melihat ibunya tersenyum sambil menggeleng. "Ndak ada, Nak Satrio. Temanmu itu datang rutin ke sini, jadi bagaimana mungkin bapakmu tidak membaik? Menurut temanmu itu, pemulihan bapak lebih cepat dari pasien lainnya."
"Baguslah kalau begitu," ujar Satrio senang. "Obatnya gimana?"
"Masih banyak, beberapa malam sempat susah tidur, tapi sudah diberi obat oleh dokternya."
"Bu, kalau bapak ada keluhan, langsung saja kabari saya. Jangan menunggu dokternya kemari."
"Iya, Nak. Makanlah dulu sebelum pulang, tadi ibu masak iga asam manis kesukaanmu," kata ibu bersemangat. "Cean, ajak suamimu ke dapur dan layani makannya!"
Tidak menunggu diperintah 2 kali, Ocean langsung beranjak ke dapur diikuti oleh Satrio. Ocean berdiri di depan kompor dan menghangatkan masakan ibunya. Sementara menunggu iga hangat, dia mengambil sepiring nasi dan meletakkannya di depan Satrio bersama dengan segelas air putih. Tak lama kemudian Ocean datang lagi dan membawa sepiring iga asam manis, menyusul kerupuk udang, emping melinjo dan acar mentimun. Sementara Satrio mulai makan, Ocean membuat es jeruk nipis dan meletakkannya juga di depan suaminya.
"Kamu nggak makan?" tanya Satrio.
"Udah tadi sore," jawab Ocean singkat.
Satrio hanya mengangguk dan meneruskan makannya tanpa memedulikan Ocean lagi. Dia makan dengan lahap apa yang telah Ocean hidangkan. Sesekali menyesap es jeruknya dan melanjutkan makannya kembali. Itu Satrio yang sekarang, jika biasanya dia akan menyuruh Ocean mendekat dan menyuapinya maka hal itu tidak pernah terjadi lagi sejak perdebatan mereka. Jika Ocean menjawab sudah makan, Satrio diam dan melanjutkan makannya hingga selesai.
"Tolong air putih lagi," pinta Satrio.
Ocean mengambil gelas Satrio dan membawanya menuju dispenser. Tidak dihiraukannya Satrio yang terus mengamati setiap geraknya hingga segelas air dia berikan pada suaminya. Ocean membereskan piring kotor dan langsung mencucinya, tidak ingin ibunya terlalu lelah masih harus mengurus dapur yang berantakan.
"Aku mau kamu berhenti kerja," cetus Satrio.
Ocean duduk diam di sebelah Satrio, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia memilih kata-kata apa yang sekiranya akan diucapkannya pada Satrio. Dalam situasi seperti yang sudah dihadapinya berkali-kali, Ocean harus berkepala dingin atau Satrio akan semakin semena-mena terhadapnya.
"Mengapa aku harus berhenti kerja?"
"Karena aku mampu untuk menghidupimu," jawa Satrio cepat.
Ocean memandang suaminya. "Aku bekerja bukan tentang uang, tapi tentang menjadi diriku sendiri."
"Oke aku carikan tempat di mana kamu bisa kerja dan yang pasti menyenangkan," tukas Satrio. "Kamu pemilik minimarket itu kan, jual saja kepemilikanmu."
"Enak saja nyuruh-nyuruh. Kamu pikir aku bikin itu gampang sampai kamu dengan mudahnya memutuskan apa yang tidak dan harus kulakukan?" Ocean meradang.
"Jadi apa maumu? Masih mau terus ketemu sama Delta? Jangan-jangan kamu yang ada rasa sama dia sampai-sampai berat banget disuruh buat lepasin minimarket."
Ocean memejamkan mata dan menarik napas panjang. Susah sekali untuk berbicara dengan Satrio saat keadaan seperti ini. Suaminya sudah pasti tidak akan mendengar apa pun mengingat mereka yang sudah saling tidak enak hati beberapa waktu belakangan.
"Nggak usah nuduh sembarangan."
"Kalau kamu nggak mau dituduh ya lakukan keinginanku. Sebut saja kamu mau bekerja di mana dan aku pasti akan mendapatkannya untukmu. Asal kau tinggalkan minimarket itu. Pikirkan! Ayo pulang!" Satrio melangkah meninggalkan Ocean sendirian di dapur.
Rasanya ingin sekali Ocean berteriak pada Satrio, tetapi mengingat di mana kini mereka berada maka dia harus mengurungkan niatnya itu. Ketenangan bapaknya harus lebih diutamakan untuk saat ini daripada egonya.
Saat kehamilan Ocean semakin besar, Satrio benar-benar mengurangi jam praktiknya. Di sore hari dia praktik hanya satu jam, itu pun dengan perjanjian tepat waktu. Pasien lainnya dia tangani pada praktik pagi. Beberapa pasien mengatakan kalau dokter mereka sedang menjadi suami siaga. Satrio menanggapinya dengan senyum ramah dan meminta maaf jika perubahan yang dia lakukan membuat tidak nyaman, tetapi pasiennya mengerti dan tidak keberatan dengan jadwal baru Satrio.Selepas praktik sore, waktu menunjukkan pukul lima lewat sepuluh. Satrio sudah keluar dari ruang kerjanya dan sudah pasti dia akan pergi menemui istrinya. Dia disapa beberapa pasien yang memilih untuk pindah periksa ke rekannya. Satrio tetap membalas sapaan itu dengan ramah.Ketika hampir sampai di pintu masuk apoteknya, Satrio melihat Ocean yang sedang berjalan keluar. Dengan perut membuncit seperti itu, istrinya terlihat begitu seksi. Setidaknya begitulah di mata Satrio. Tidak ada sedetik pun waktu terlewat
Ocean tidak menyangka bahwa kehamilan itu akhirnya datang setelah dia memutuskan untuk menghentikan seluruh program yang ditawarkan oleh Satrio. Dia memegang janji Satrio bahwa mereka akan tetap bersama meski kehamilan itu akan terjadi lima atau bahkan sepuluh tahun lagi. Dalam gurauannya, Satrio juga mengatakan kalau tidak keberatan saat Ocean mengandung di masa menjelang menopause sekalipun. Satrio hanya ingin Ocean bahagia hidup bersamanya dan itulah yang sudah dilakukan oleh Ocean.Mengingat semua itu membuat Ocean terharu. Kadang-kadang dia bangun tengah malam dan menyalakan lampu di sampingnya hanya untuk memandangi wajah Satrio. Suaminya itu diam-diam telah memberikan perawatan untuknya. Sejak keputusannya untuk berhenti program kehamilan, sejujurnya Ocean sudah tidak peduli dengan asupan yang masuk ke tubuhnya. Cukup baginya apa yang disediakan oleh Simbok dan dia selalu memakannya tanpa mengeluh.Dalam hari-hari yang dijalani Ocean, tak sedikit pun perempuan i
Satrio tersenyum sendiri begitu keluar dari ruang kerja pribadinya di rumah sakit. Dia berjalan menyusuri lorong panjang seperti biasa sebelum mencapai area parkir. Beberapa perawat dan staf menyapanya dan dibalas dengan anggukan serta sedikit senyum. Pikirannya hanya tertuju pada Ocean yang sudah pasti sedang duduk mengamati komputer sambil mengunyah emping belinjo.“Tingkahmu sudah seperti orang gila yang perlu rawat inap.”Satrio tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang tengah berbicara padanya. Orang yang berani berbicara dengan kalimat mengejek hanyalah dua orang. Pertama adalah Alfredo yang saat ini pasti sedang sibuk di meja operasi dan yang lainnya adalah Raphael. Keduanya sama-sama mempunyai mulut dengan kadar ketajaman melebihi pisau. Meskipun begitu, dia menyukai para sahabatnya yang super royal terhadap satu sama lain.“Memang repot kalau punya teman yang nggak pernah tahu rasanya bahagia,” komentar Satrio tak kalah pedas.
Hal yang membuat Ocean bersemangat adalah mengisi rumah barunya dengan perabotan yang dia sukai. Satrio memercayakan urusan itu padanya dan Ocean menerima pekerjaan dengan senang hati. Untuk hal-hal yang sekiranya akan digunakan oleh Satrio, Ocean bertanya satu atau dua kali untuk meminta pendapat. Selebihnya dia memilih sendiri segala sesuatunya dan langsung disetujui oleh Satrio.Hanya dalam seminggu rumah itu telah rapi dengan seluruh perabot pilihan Ocean mengisi seluruh ruangannya. Ocean memilih perabot fungsional dan dengan bijaksana membuat rumah itu menjadi terkesan hangat, elegan, dan menyenangkan. Tinggal menanyakan kepada Satrio kapan mereka bisa pindah secara resmi.Sejak Ocean meminta liburan ke vila, mereka memang tidak pernah kembali lagi ke rumah lama Satrio. Entah mengapa, Ocean begitu malas melihat rumah itu. Bukannya tidak indah, justru rumah lama Satrio bisa dikatakan mewah. Semua yang ada di sana meneriakkan rupiah yang tak bisa dibayangkan oleh Oc
Satrio merasa harinya semakin menyenangkan. Ocean menjadi sangat manis dan manja serta tidak mau berpisah darinya untuk waktu yang lama. Pekerjaannya lancar dan apoteknya semakin besar. Entah apa yang sudah dilakukan Ocean hingga semuanya berkembang sepesat itu. Klinik bersalinnya juga tak luput dari campur tangan istrinya. Kebijakan baru yang diterapkan oleh Ocean terbukti mudah untuk dilakukan. Ocean juga menambahkan beberapa dokter praktik di sana dengan jadwal yang sudah dia tetapkan.Saat jam praktiknya telah selesai, Satrio masih duduk dalam ruang kerjanya untuk beristirahat sejenak sebelum menjemput Ocean dan pulang ke vila. Sudah hampir sebulan mereka tinggal di sana sementara Ocean membuat jadwal Satrio menjadi satu jam lebih awal. Satrio tersenyum sendiri menyadari kecerdasan istrinya. Ada saja caranya untuk memperoleh apa yang dia mau dan sejujurnya hal itu membuat Satrio senang.Menyelesaikan pekerjaan pada pukul delapan adalah hal yang sangat menyenangkan.
Ketika waktu pemeriksaan tiba dan Dokter Suroso berhalangan hadir karena sakit, Ocean memeriksakan dirinya pada Dokter Ayu tanpa sepengetahuan Satrio. Hanya untuk mengetahui tentang dirinya sendiri, begitu yang dia pikirkan. Dokter Ayu pun tak keberatan membantunya untuk sekadar memeriksa. Saat itulah Ocean mengetahui bahwa dia memiliki tiga sel telur matang dan mestinya dia siap untuk proses kehamilan.Setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Ayu, Ocean keluar dari ruang praktiknya. Dia bergegas kembali ke apotek dan menunggu suaminya selesai bekerja. Kali ini perasaannya begitu ringan. Ocean tidak lagi memikirkan tentang kehamilan dan prosesnya yang selain membutuhkan waktu ekstra serta segala sesuatu yang serba lebih. Lebih di sini adalah waktu dan tenaga. Dia berpikir untuk menikmati banyak waktu dengan Satrio saja.Memasuki ruang kerjanya, Ocean melihat Satrio sudah berada di sana. Dia heran dan melirik jam di pergelangan tangannya. Baru pukul delapan dan Ocea