"Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan jatuh cinta sama kamu." Rey berbalik, hendak melangkah pergi, tapi Anin menarik tangannya.
“Salim dulu, Kak.” Anin mencium tangan Rey, lalu nyengir. “Belajar jadi istri solehah,” ucapnya. Meski tidak mencintai Rey, Anin akan berusaha mempertahankan pernikahannya demi kakaknya dan mencoba menjadi istri yang baik. “Solehah apanya, pakai baju compang camping begitu, udah kayak baju Mak Lampir,” gumam Rey, langsung melangkah cepat menuju meja makan karena perutnya sudah keroncongan. “Gue dikatain Mak Lampir!” Anin cemberut. “Mainnya kurang jauh dia. Kapan-kapan gue ajak lu ke planet Mars.” Anin berjalan cepat menyusul Rey. Ia tidak peduli sikap kasar suaminya. Yang terpenting baginya, ia bisa bebas berkeliaran meski sudah menjadi seorang istri. “Maaf, Pi, Mi, aku pulangnya telat.” Anin menyalami kedua mertuanya. Ini hari pertamanya menjadi menantu, tapi ia sudah pulang malam. Ia terpaksa pergi karena kafe yang ia rintis bersama sahabatnya, Tyas, sedang bermasalah. “Enggak apa-apa, Sayang.” Mami Riyanti memeluk menantunya dengan penuh kasih sayang. “Mi, ayo kita makan, aku udah laper nih!” Rey berteriak memanggil ibunya. “Iya, Rey. Enggak usah teriak, kayak di hutan aja,” sahut Mami Riyanti, berjalan menuju meja makan bersama suami dan menantunya. “Kak Rey kayak Tarzan aja,” ucap Anin setelah duduk di samping suaminya. Rey tidak menanggapi. Ia terlalu malas berdebat karena sejak tadi menahan lapar gara-gara istrinya. “Ya ampun, Kak, pelan-pelan makannya. Kayak orang enggak makan seminggu,” tegur Anin melihat Rey makan dengan lahap. Rey memang belum makan sejak pagi. Seharian ia hanya tidur karena kurang tidur semalam. Rey terus makan tanpa memedulikan ucapan istrinya. “Mi, besok aku mau ke tempat Kakak. Boleh enggak aku pakai dapurnya? Aku mau masak buat Kakak,” ucap Anin sambil menatap mertuanya. Mami Riyanti sangat baik, jadi Anin tidak merasa canggung. “Silakan, Sayang. Rumah ini, rumahmu juga. Lakukan apa pun yang kamu suka,” ucap Mami Riyanti lembut. Wanita paruh baya itu sangat senang. Meski baru kenal, ia merasa Anin adalah menantu idamannya. “Enggak usah masak banyak, aku enggak mau makan masakan kamu,” sahut Rey sambil mengunyah. “Siapa juga yang mau masakin kamu? Aku masak buat orang yang paling mencintai dan mengerti aku. Dia itu kakakku. Kakak adalah belahan jiwaku.” Anin menjawabnya sinis. “Kalian ini kan sudah suami istri. Cobalah akur sedikit!” tegur Mami Riyanti. “Maaf, Mi,” jawab Anin dan Rey bersamaan. “Tuh kan, sebenarnya kalian serasi,” celetuk Mami Riyanti. Papi Bagus hanya tersenyum melihat kelakuan anak dan menantunya. Semenjak kedatangan Anin, rumah itu menjadi tambah ramai, penuh keceriaan. “Mi, Pi, aku ke kamar dulu ya, mau mandi. Udah bau asem.” Anin mencium ketiaknya sendiri. “Udah songong, jorok pula,” gumam Rey, mengedikkan bahu melihat tingkah istrinya. “Iya, Sayang. Habis mandi istirahat, ya. Kayaknya kamu capek banget.” Mami Riyanti tersenyum. “Iya, Mi, makasih ya.” Anin mencium pipi mertuanya sebelum pergi. Mami Riyanti berpamitan pada suaminya untuk ke kamar duluan dan mengambil hadiah untuk menantunya. Mami Riyanti mengambil hadiahnya, lalu pergi ke kamar anak dan menantunya di lantai dua. Mami mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. “Sayang, Mami masuk ya?” Mami Riyanti masuk, terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. “Anin, ini Mami beliin baju tidur untuk kamu. Nanti dipakai, ya!” Mami Riyanti berteriak di depan kamar mandi. “Iya, Mi, nanti aku pakai,” sahut Anin. Setelah mertuanya pergi, Anin keluar dari kamar mandi. Matanya langsung tertuju pada kain merah di kasur. “Ini baju tidur?” Anin merentangkan baju tipis dan transparan itu. “Kenapa Mami beliin aku baju kayak gini? Kalau aku masuk angin gimana? Mami beneran sayang enggak sih sama aku?” Anin duduk di tepi kasur sambil memegangi baju itu. Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan video dengan Tyas. “As, ada baju tidur keluaran terbaru,” kata Anin, langsung menunjukkan baju itu pada Tyas. “Itu bagus banget, Nin. Baju mahal itu,” ucap Tyas sambil menahan tawa. “Lo mau? Buat lo aja deh.” Anin tidak suka model baju itu. “Itu baju khusus wanita yang udah nikah. Haram kalau gue yang pakai." Tyas berbohong, berusaha menahan tawanya. “Jangan dikasih ke orang, nanti mertua lo sakit hati.” “Ya udahlah, aku pakai aja. Nyenengin mertua kan dapat pahala,” gumam Anin, terkekeh sendiri. Ia menutup telepon tanpa mengucapkan apa-apa lagi. “Aku kayak orang gila, senyum-senyum sendiri,” ucapnya sambil menoyor kepala. Dengan sangat terpaksa, ia memakai baju pemberian mertuanya. “Ya ampun, seksi banget gue.” Anin memuji dirinya, berlenggak-lenggok di depan cermin. Anin merebahkan tubuhnya di kasur, memainkan ponsel. “Habis makan kok ngantuk banget, ya.” Ia menguap, lalu tanpa sadar terpejam. Masalah di kafe yang menguras tenaga membuatnya kelelahan dan langsung terlelap. “Udah ngantuk lagi, padahal tadi siang seharian tidur terus.” Rey membuka pintu kamar. Ia terperangah melihat pemandangan tak terduga. Mata Rey membelalak. Baju tidur Anin tersingkap, memperlihatkan area terlarang yang hanya tertutup kain segitiga. Rasa kantuknya langsung hilang. Ia mengambil selimut yang tergeletak di lantai, lalu menutupi tubuh Anin dengan hati-hati sambil memalingkan wajahnya. Ia tidak mau melihat tubuh Anin yang setengah telanjang itu. “Sial! Kenapa cuma lihat sebentar aja, si Otong jadi bangun.” Rey merutuki dirinya. Rey kesal. Setiap kali melihat tubuh seksi Anin, ia selalu bernafsu. Padahal, saat melihat video dewasa, gairahnya tidak sebesar ini. “Sudah waktunya mandi untuk menenangkan si Otong.” Rey berbicara pada dirinya sendiri sambil berjalan ke kamar mandi. Semenjak menikah, Rey mempunyai pekerjaan baru, yaitu menenangkan si Otong, adik bungsunya yang selalu bereaksi ketika melihat tubuh seksi istrinya. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Rey memandangi istrinya yang terlelap. "Tumben selimutnya enggak dilempar," gumamnya sambil tersenyum geli. Rey berjalan mendekat, lalu menyingkap rambut Anin yang menutupi wajah. "Kamu memang cantik, tapi kelakuanmu aneh. Baru kali ini aku bertemu perempuan sepertimu," ucapnya pelan sambil terkekeh. Rey lalu membaringkan tubuhnya di samping Anin. Jantung Rey berdebar saat Anin bergerak, kini mereka berhadapan. Senyum tipis terukir di bibir Rey saat ia menatap wajah istrinya. "Mau jadi istri salehah? Aku enggak yakin," bisiknya pelan. Rey lalu membalikkan badan, memunggungi Anin. Tak lama kemudian, Anin memeluk Rey erat seolah-olah Rey adalah guling. Tubuh Anin yang lembut menempel di punggung Rey, membuat Rey menahan napas. "Aduh, si Otong aman enggak, nih?" batin Rey. Jantungnya berdebar kencang merasakan sensasi yang sangat lembut dan kenyal di punggungnya. "Ya Tuhan, Rey, yang kuat, Rey!"“Tama,” gumam Rey. Ia melihat Tama, Rani, Anin, dan laki-laki yang kemarin mengantar Anin pulang sedang mengobrol dan sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka bicarakan.Hati Rey sakit melihat itu semua, hatinya sakit melihat istrinya tertawa bahagia dengan laki-laki lain, dan juga sahabatnya sejak kecil yang tega tidak mau membantunya membuntuti Anin, padahal dia tahu tempat nongkrong Anin selama ini.Rey tidak menemui Anin, dia hanya memperhatikan Anin dari kejauhan. Niatnya menyusul Anin memang hanya ingin melihat kalau istrinya baik-baik saja.Rey tidak tahu harus berbuat apa kalau dia menghampiri istri dan sahabatnya. Rey sadar kenapa Tama tidak membantunya, karena selama ini, dia sudah keterlaluan pada Anin.Tyas menghampiri Anin. “Nin, suami lo ada di kafe ini,” bisik Tyas. Anin dan Tyas saling pandang.“Kak, Mbak, aku masuk dulu ya, ada kerjaan sebentar.” Anin pamit pada Tama dan Rani. Tama dan Rani tersenyum menganggukkan kepalanya.Anin melirik Bang Rizk
“Pagi, istriku,” sapa Rey pada Anin saat berpapasan dengannya yang baru selesai mandi. Tapi Anin tidak menanggapi, ia masuk ke kamar mandi begitu saja dan bersikap dingin pada Rey. Tidak seperti biasanya yang selalu menggoda Rey.“Dia masih marah, aku harus sabar. Aku sendiri yang menyalakan api kemarahan itu, aku juga yang harus memadamkannya.” Rey tersenyum menyemangati dirinya sendiri, ia tidak akan patah semangat untuk memperbaiki hubungannya dengan Anin.Rey duduk di sofa kamarnya, menunggu Anin untuk turun dan sarapan bersama.Anin keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap: celana jeans yang robek sedikit di bagian paha atasnya dan blus hitam yang memperlihatkan belahan dadanya.Anin duduk di sofa, berhadapan dengan suaminya. Rey susah payah menelan ludah saat Anin membungkuk untuk memakai sepatunya. Gunung kembarnya terlihat menyembul keluar.“Nin, kamu mau ke mana?” tanya Rey pelan, dia takut Anin marah padanya.“Bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri,” jawabnya ketus.
“Nin, gue pulang duluan ya, gue ada perlu mendadak.” Tyas mengambil tasnya. “Bang Rizky, Mbak Rani, aku pulang duluan ya,” pamit Tyas pada semuanya.“Ah gue tahu, lo pasti mau ketemu si bucin Farel. Apalagi besok mau ditinggalin ke Bandung,” seru Anin tersenyum meledek Tyas.“Sok tahu lo.” Tyas mencubit pipi Anin dan lari keluar kafe.“Bangke lo!” hardik Anin sambil mengusap-usap pipinya.Tama masuk ke kafe, dia mencari-cari keberadaan istrinya. Bibirnya tersenyum saat orang yang dicarinya sedang asyik bercanda dengan Anin.“Hai semuanya,” sapa Tama pada istri dan teman-temannya.“Maaf ya, Nin. Mbak ngundang suami mbak ke sini, soalnya tadi mbak naik taksi. Jadi, mbak minta dijemput sama Mas Tama.”“Enggak apa-apa, malah bagus, Kak Tama bisa merekomendasikan kafeku pada karyawan Kak Tama, iya ’kan, Kak?” Anin tersenyum dan menaikkan alisnya sebelah. Tama terlihat bingung.“Kafe ini milik Anin dan temannya yang bernama Tyas.” Rani menjawab kebingungan suaminya.Tama membelalakkan matan
“Tam, kok lo tega sama gue?” Rey pindah duduk di depan meja kerja Tama.“Kalau urusan Anin, lo urus aja sendiri.” Tama masih memeriksa berkasnya tanpa menoleh pada Rey.“Kok lo lebih membela si Anin daripada gue?” sergah Rey tak terima sahabatnya lebih memilih orang yang baru dikenal daripada sahabatnya sejak kecil.“Gue enggak membela siapa pun, gue cuma enggak mau lo nyakitin hati Anin. Melihat dia, gue jadi ingat Alana, dia persis seperti Alana.” Tama tersenyum membayangkan adik perempuannya yang absurd seperti Anin. Tak terasa, air mata jatuh di pipinya, mengenang kembali kenangan bersama adik kesayangannya yang telah meninggalkannya lima tahun lalu.Rey yang melihat Tama bersedih karena ulahnya, merasa tidak enak hati. “Baiklah, gue enggak akan minta bantuan lo. Gue janji akan berusaha menerima Anin sebagai istri gue, tapi kasih gue waktu untuk bisa membuka hati gue untuknya.” Rey menepuk bahu Tama dan keluar dari ruangan.“Enggak sia-sia air mata gue.” Tama tersenyum sambil meny
"Bang Rizky," gumam Tyas. Ia heran melihat Rizky sudah berada di kafe sepagi ini, bahkan sebelum kafe dibuka."Ada apa, As?" Anin melihat ke arah pandang Tyas, ia menyunggingkan senyum. "Itu artinya dia mau kerja di sini?" Anin menarik tangan Tyas untuk menghampiri Rizky."Pagi, Bang Rizky," sapa Anin ramah."Pagi, Nin." Rizky melirik Tyas. "Pagi, Yu." Rizky tersenyum manis pada Tyas. Rizky memang selalu memanggil Tyas dengan sebutan Ayu, karena nama lengkapnya Ayuningtyas.Anin memperhatikan tatapan Rizky pada Tyas yang terlihat berbeda. Ia merasa Rizky menyukai Tyas."Udah lama, Bang?" Anin dan Tyas duduk berdampingan di hadapan Rizky."Baru aja," jawab Rizky sambil tersenyum ramah. Sesekali ia menatap Tyas, dan Anin yang melihatnya semakin yakin bahwa Rizky menyukai Tyas.Tyas hanya menundukkan kepalanya, malu saat Rizky menatapnya. Entah apa yang ia rasakan, tetapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ada desiran hangat di dalam tubuhnya."Ada apa, Nin? Kamu minta Abang datang ke
Anin tidak bertanya lagi pada mertuanya soal adonan. Meskipun penasaran, ia hanya diam sambil mengiris bawang.Setelah masakan selesai, Mami Riyanti memanggil suaminya untuk makan malam, begitu juga Anin yang memanggil Rey.Mereka pun makan malam sambil mengobrol. Rey dan Anin terlihat salah tingkah, keduanya sama-sama malu dengan kejadian di kamar mandi. Tak ada yang mau membahas siapa yang benar dan salah, karena terlalu malu untuk berdebat soal hal yang bisa membuat jantung mereka melompat-lompat seperti bermain trampolin."Rey, lain kali kalau bikin adonan jangan di sembarang tempat. Kasihan Anin kesakitan kalau harus bikin adonan di lantai," celetuk Mami Riyanti."Uhuk... uhuk..." Rey dan Anin terbatuk-batuk mendengar ucapan Mami Riyanti.Mami Riyanti memberikan air minum pada menantunya, sementara Papi Bagus memberikan air minum pada Rey."Makannya pelan-pelan saja, memangnya kalian mau ke mana?" ujar Papi Bagus."Mau ngelanjutin bikin adonan, Pi," jawab Mami Riyanti.Anin dan R