Obrolan tiga orang itu menggunakan bahasa asing dan terdengar sangat akrab di telinga para penjaga. Para tentara itu pun mau tak mau menganggap bahwa semuanya adalah teman seperjuangan. Apalagi Nuwa tertawa. Iya, memang benar, hanya saja janda Kai itu sedang menertawakan nasibnya sendiri. “Pada akhirnya kita memang tidak boleh terlalu berharap pada orang lain, kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri. Aku menemukan teman hidup yang begitu sempurna dan melengkapi hidupku. Nyatanya, dia pergi lebih dahulu. Aku berharap anak kami bisa tumbuh besar dan ada kenangan tentang Kai, nyatanya dia juga pergi lebih cepat. Lalu hanya tinggal aku sendirian, berdiri di kakiku sendiri dan sedang menanti kematian.” Nuwa menghela napas panjang. Tak lama setelah itu Dayyan datang dan tiga bawahannya. Tiga perempuan itu disuruh keluar untuk menghadap pada pengadilan. “Kalian akan diadili,” ujar adik Maira. “Terserah kau saja. Pastikan aku benar-benar mati di tanganmu. Karena kalau tidak aku akan
Tiga orang terpidana mati segera dibawa ke tanah lapang. Kedua kalinya bagi Nuwa. Di sana sudah ada tempat eksekusi tergantung dari kesalahan masing-masing. Ada hukuman pancung, hukuman tembak, terakhir hukuman gantung. Dan ketiganya dijatuhkan hukuman terakhir. Dayyan tentu saja datang, ditambah dengan dua orang hakim yang menjatuhkan eksekusi pada tiga terpidana mati, serta beberapa tentara yang mendapat jatah jaga di camp tersebut. Semua mata terfokus pada kehadiran tiga perempuan yang dari pancaran wajah dan matanya sama sekali tidak takut mati. “Kai, anakku, tunggulah, tak lama lagi kita akan bersama-sama,” ucap Nuwa ketika melihat terpidana pertama naik ke tempat tiang gantungan. “Ada pesan terakhir?” tanya eksekutor di tiang gantungan pada terpidana urutan pertama. “Xin Hua akan menguasai dunia,” katanya dengan sungguh-sungguh. Lalu wajah itu ditutup dengan kain hitam. Lehernya dikaitkan tali. Tuas penahan papan di kaki ditarik hingga tubuh itu tergantung begitu saja tanpa
“Kau tidak bersalah. Aku menemukan buktinya. Maaf, maaf, aku terlambat, ya Allah.” Maira memeluk Nuwa yang masih terus mengeluarkan air mata. Wanita berusia 20 tahun itu sedih bukan karena hukuman yang dijatuhkan padanya, tetapi karena kesempatan bertemu Kai dan anaknya yang sudah tiada terjeda. Jari jemari Nuwa terkepal dengan sangat erat. Medis datang ingin memeriksa keadaan Nuwa, tapi ia menolak. “Aku baik-baik saja, aku masih hidup.” Wanita Suku Mui itu berdiri tegak. “Syukurlah kau tidak apa-apa. Kau tunggu di sini saja. Aku akan berbicara dengan hakim terlebih dahulu.” Maira turun dari tempat tiang gantungan dan mengambil notebook lalu berbicara sebentar pada dua hakim. Seorang laki-laki berdiri terpaku, dan sesaat bingung dengan apa yang telah terjadi. Dia tak tahu mengapa kakaknya tidak berbicara padanya. Juga sangat memahami arti tatapan tersangka yang tidak jadi mati itu padanya. Kebencian begitu besar tergambar di sana. Nuwa mengambil kain hitam yang tadi menutupi waja
Seragam tentara Dayyan dilucuti semuanya dan ia kini menggunakan baju biasa saja. Sungguh lelaki itu menyesal karena tidak mendengarkan kata kakak serta ibunya. Ia telah menjadi tentara sejak usia 17 tahun dan kini melepas jabatannya di usia 29 tahun. Langkah yang memang harus diambil tanpa pandang bulu, sekalipun dulu ayahnya orang yang cukup dikenal. “Kau juga untuk sementara waktu akan dipenjara, sembari menanti hukuman jatuh atasmu. Kau harus mengikuti urutan semuanya, Dayyan,” ucap hakim pada Dayyan. Lelaki bermata abu-abu itu hanya mengangguk saja. Yang ia pikirkan ialah keadaan Feme yang sedang menjalani terapi dan hanya mengandalkan dirinya saja. Dengan suka rela putra pertama Ali memasuki penjara di mana Nuwa dulu ditahan. Situasi kini terbalik dan harus ia jalankan dengan kepatuhan. Lelaki itu terbatuk sebab hantaman Nuwa di tulangnya tidaklah main-main. Siapa yang bisa menyangka ada tenaga yang begitu besar tersembunyi di balik tubuh yang terlihat lemah dan lembut. Dayya
Nuwa bangun ketika mendengar adzan Shubuh berkumandang begitu kencang di telinganya. Sudah beberapa kali ia alami kejadian yang dulu begitu asing di negaranya. Namun, kali ini dalam situasi yang berbeda. Nuwa telah bebas tanpa menyandang gelar tersangka lagi. Wanita Suku Mui itu pun bangun dan beranjak ke kamar mandi. Semua perlengkapan telah disediakan dari ujung rambut sampai kaki. Ia hanya perlu bergerak saja. Air terasa hangat karena musim panas sedang terik-teriknya. Selesai mengemas diri sendiri. Wanita itu pun membuka pintu kamarnya. Ada banyak perempuan dan anak-anak berjalan kaki. Karena tak tahu akan bertanya pada siapa, Nuwa pun hanya ikut saja. Ternyata semuanya menuju masjid untuk menunaikan shalat Shubuh. Wanita berkulit putih pucat itu lupa kalau dia sekarang tinggal di negeri yang baru. Ingin menggunakan identitas muslimah sedalam dan sepanjang apa pun bebas. Nuwa sudah menggunakan gamis dan khimar lebar, ternyata masih ada yang lebih panjang bahkan bajunya menyeret
“Kau siapa?” tanya Nuwa tidak ramah karena masalah trauma. “Assalammualaikum, Nuwa, aku Feme istrinya Dayyan.” Feme mengulurkan tangan ingin berjabatan, tetapi wanita itu hanya memandang saja. Istri Dayyan sadar bahwa kehadirannya tidak diharapkan. Karena itulah ia datang bersama Guru Zulaikha yang disegani oleh semua perempuan di wilayah itu. “Anakku, kalau sesama muslimah ingin berkenalan, dibalas saja, tidaklah dosa, justru baik untuk menjalin silaturahmi,” ujar sang guru yang akhirnya punya kesempatan untuk tahu lebih tentang Nuwa. Wanita paruh baya itu mengerti bagaimana rasa trauma yang dialami oleh perempuan yang datang dari jauh dalam keadaan hamil dan keguguran pula. “Walaikumsallam. Katakan keperluanmu dan pergi dari sini!” Tidak ada keramahan dari nada bicara Nuwa. “Hei, jangan begitu, ayo kita bicara sambil minum kopi. Kau pasti tidak pernah minum kopi yang dimasak pakai pasir panas, bukan. Ayo, nanti juga kau pasti ketagihan.” Zulaikha meraih tangan Nuwa. Tatapan m
Tiga hari sudah Dayyan ditahan. Tak lama lagi hukuman akan dijatuhkan untuknya. Lelaki itu hanya bisa mempersiapkan diri saja. Selain karena mental hancur disebabkan kesalahan diri sendiri. Ia pun tak tahu berapa banyak lecutan di punggung yang bisa ia tahan. Selama ini umumnya, rakyat biasa sanggup bertahan paling hebat 40 kali. Itu pun sudah tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Lalu untuknya melampaui batas. 130 kali, apa Dayyan sanggup sadarkan diri?Tiga hari menjadi dua hari, lalu hari penerimaan hukuman pun tiba. Dayyan dikeluarkan dari penjara. Di sana ada beberapa tentara yang bertugas. Hakim yang menjatuhkan hukuman, Maira, juga Feme, Gu menolak datang karena tak tega melihat anaknya mendapat siksaan. Walau karena kesalahan sendiri. “Nuwa, apa dia tidak datang?” tanya Feme pada Maira. “Dia menolak hadir. Katanya segala sesuatu yang terjadi pada Dayyan bukan lagi urusannya. Dia hanya mendoakan …” Maira tak jadi meneruskan ucapannya. “Mendoakan apa?” Feme penasaran
Feme berjalan ke dapur. Ia muntah karena memang karena penyakitnya. Air dari perut yang berwarna kuning dan pahit memenuhi tempat cuci piring. Mata-mata itu menepuk pundak Feme agar napasnya lebih lega. Kemudian dari balik lengan baju yang dilapisi sarung tangan, ia mengeluarkan sebuah jarum besi tipis dan beracun.“Nyonya, setelah ini kau akan tidur dengan tenang selama-lamanya. Selamat tinggal,” ujar mata-mata itu. Feme yang memang lemah dari dulu tidak bisa melawan ketika jarum tersebut menancap di lehernya. Lalu mata-mata itu memakai khimar juga cadar. Ia meninggalkan Feme yang terkulai lemas di dapur. Perlahan-lahan mata indah itu tertutup dan Feme tidak mengembuskan napas lagi. *** Maira membawa jasad Feme ke kantor polisi untuk diotopsi lebih lanjut dan dicari apa penyebab kematiannya. Albhani dan Sabhira akan tinggal sampai ayahnya sembuh di rumah Gulaisha. Tentu Maira akan menjenguk mereka juga. “Ya Allah, seakan-akan masalah tidak ada habisnya.” Maira menarik napas panja