LOGINAmanda berdiri sejenak di depan cermin. Dress berwarna lembut yang membalut tubuhnya terasa sedikit asing, namun juga istimewa. Ini adalah hadiah lamarannya, dress yang tampak pantas untuk makan malam keluarga pertamanya. Tangannya merapikan lipatan kain di pinggang, napasnya ditarik dalam-dalam."Mudah-mudahan aku tidak terlihat salah kostum," batinnya.Dengan langkah pelan, Amanda menuruni anak tangga. Suara hak sepatunya nyaris tak terdengar di rumah besar itu. Baru beberapa anak tangga ia lewati, suara ramah menyapanya.“Wah, ini dia pengantin baru kita,” ujar seorang pria dengan senyum lebar.Amanda mendongak. Di hadapannya berdiri Daniel Hadiwijaya, kakak Arman, bersama istrinya, Tamara, dan tiga anak mereka. Kehangatan keluarga kecil itu langsung terasa.“Halo, Kak Daniel, Kak Tamara,” sapa Amanda sambil melangkah mendekat, wajahnya memerah menahan malu.Tamara tersenyum lebar, lalu memeluk Amanda tanpa ragu. “Halo, Manda. Kamu kelihatan cantik malam ini.”“Terima kasih, Kak,”
Arman melangkah lebih dulu menuju tangga besar yang mengarah ke lantai atas. Amanda mengikutinya beberapa langkah di belakang, menjaga jarak yang terasa semakin nyata sejak mereka tiba di rumah ini. Tangga itu lebar, dengan pegangan kayu mengilap dan karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Amanda melangkah pelan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana rumah yang terasa asing.Baru beberapa anak tangga mereka naiki, sebuah suara ceria memecah keheningan.“Kak Arman!”Seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun berlari kecil ke arah mereka. Rambut hitam panjangnya tergerai, wajahnya cantik dengan senyum lebar yang penuh energi. Tanpa ragu, ia langsung memeluk Arman.“Hei, Adel,” sapa Arman sambil membalas pelukan itu, nadanya berubah hangat, berbeda dari nada yang selama ini ia gunakan pada Amanda.“Kapan kakak pulang?” tanya gadis itu riang.“Baru saja sampai,” jawab Arman. “Kamu dari mana?”“Biasa, kak. Hangout sama teman-teman,” jawab Adelia santai.Mereka tertawa
Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar yang berdiri anggun di balik gerbang besi hitam. Pak Supir turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Amanda.“Silakan, Nyonya.”Amanda melangkah turun perlahan. Begitu kakinya menyentuh lantai halaman, ia langsung terdiam. Matanya membelalak tanpa bisa ia cegah.Rumah itu berdiri megah di hadapan Amanda, seolah menutup seluruh pandangannya. Bergaya Amerika modern dengan garis-garis tegas dan simetris, bangunan dua lantai itu didominasi warna putih bersih yang memantulkan cahaya matahari sore. Dindingnya tampak halus tanpa noda, seperti tak pernah disentuh debu. Berbeda jauh dari tembok rumah yang biasa ia lihat, yang sering menyimpan garis usia dan noda hujan.Jendela-jendela tinggi berbingkai hitam berjajar rapi, sebagian menjulang dari lantai hingga hampir menyentuh langit-langit, memperlihatkan tirai tipis berwarna krem yang bergoyang pelan tertiup angin dari dalam. Amanda teringat jendela kayu di rumahnya sendiri, yang harus dibuka deng
Mobil melaju meninggalkan desa dengan kecepatan stabil. Getaran halus dari jalan beraspal terasa asing bagi Manda yang duduk di kursi belakang. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, jemarinya saling mengunci tanpa sadar. Kaca jendela di sampingnya memantulkan bayangan wajahnya. Wajah seorang istri yang masih terasa seperti orang asing dalam perannya sendiri.Di kursi depan, Arman duduk tegak di samping supir. Punggungnya lurus, rahangnya mengeras, pandangannya lurus menembus kaca depan. Sejak mobil bergerak, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Bahkan ia tidak menoleh, seolah Manda bukan seseorang yang duduk beberapa meter di belakangnya, melainkan sekadar barang bawaan yang ikut serta dalam perjalanan ini.Manda menarik napas pelan. Ia mencoba mengumpulkan keberanian.“Perjalanannya… jauh, Mas?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh dengung mesin.Arman hanya mengangguk. “Sekitar enam jam lagi.”Tidak ada lanjutan. Tidak ada pertanyaan balik. Tidak ada usaha untuk menyambu
Malam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam
Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu. Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya. Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan







