LOGINMalam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam
Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan y
Malam itu, di dalam kamarnya, Manda memberanikan diri untuk menelepon Bram. Ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering terdengar berulang-ulang. Tidak ada jawaban.Mungkin Mas Bram sudah tidur? pikirnya cemas. Tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa iya sudah tidur?Tut… tut… tut…Sambungan terputus. Hening kembali mengisi kamar. Manda menggigit bibirnya. Haruskah menelpon besok saja? Atau coba sekali lagi? Akhirnya ia memutuskan mencoba lagi.Kali ini ia menghitung dalam hati. “Satu… dua… tiga…”“Halo?”Suara itu membuat jantungnya langsung berdebar kencang. “Halo, Mas Bram?”“Maaf baru Mas angkat, Nda. Barusan Mas di luar kamar.”“Iya, Mas, gak apa-apa. Manda… ganggu, nggak?” Manda berusaha duduk tegak di atas ranjangnya, meski kedua tangannya sudah dingin karena gugup.“Enggak, Nda. Ada apa?”“Anu… gini, Mas. Ada yang mau Manda bicarakan.”“Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?”“Bu… bukan…” Manda semakin bingung bag
Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.“Tapi….”“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.---Dua minggu kemudian…“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.“Wa’alaikumsalam,”
Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.“Lho, kok gak tahu?”“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”“Daniel Hadiwijaya.”Ayu langsung mengetik nama itu di med
“Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.“







