Home / Rumah Tangga / Janji Suci Yang Retak / Pernyataan Cinta Bram

Share

Pernyataan Cinta Bram

Author: ukhty ijah
last update Last Updated: 2025-12-08 09:45:45

Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.

“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.

“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.

Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”

Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.

“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.

“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.

“Lho, kok gak tahu?”

“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”

Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.

“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”

“Daniel Hadiwijaya.”

Ayu langsung mengetik nama itu di media sosial. Jari telunjuknya bergerak cepat di layar.

“Ini bukan? Kemarin aku gak terlalu jelas lihat wajahnya,” katanya sambil menunjukkan layar lagi.

Manda mengangguk.

“Berarti betul, Nda! Dia ini anaknya Hendra Hadiwijaya di foto pertama tadi. Konglomerat itu, lho!”

Manda hanya melanjutkan makan siangnya. Seperti biasa, ia dan Ayu istirahat di warung langganan dekat tempat kerjanya. Hari itu Manda memilih menu nasi dengan sayur sop, tempe-tahu goreng, dan sambal—menu sederhana yang sudah cukup membuatnya kenyang.

“Nda, cucu keduanya yang di luar negeri itu siapa namanya?” tanya Ayu lagi.

“Mau apa? Kan kamu udah tahu siapa Hendra Hadiwijaya.”

“Kan belum komplit, Nda. Tadi baru bapaknya sama anak pertamanya.”

“Ck,” desah Manda. “Namanya Arman.”

Sekali lagi jari Ayu bergerak cepat di layar ponsel.

“OMG!!!” teriaknya kencang sampai seluruh orang di warung menoleh. Manda langsung menunduk malu.

“Yu, jangan teriak! Semua orang lihat kita,” bisiknya menegur.

Ayu tak menggubris. Ia terus menatap layar dengan mata berbinar. “Ganteng banget, Nda! Ini sih level super model. Lihat deh!”

Manda melirik. Seketika wajahnya memanas. Arman memang sangat tampan. Bahkan hanya melalui foto, pesonanya terasa kuat.

“Kalau aku sih gak bakal nolak. Terima aja, Nda.”

“Terima? Maksudmu apa?”

“Ya perjodohanmu sama Arman, lah!”

“Hustt, ngawur!” Manda memukul bahu Ayu pelan. “Gak ada yang dijodohkan, Yu. Tadi kan sudah kubilang, mereka cuma silaturahmi ke rumah.”

“Cuma silaturahmi apanya? Kemarin kamu ditunjukin fotonya Arman, kan?”

“Nenek Rosa cuma cerita sambil menunjukkan foto. Apa salahnya?”

“Feeling-ku bilang ada maksud lain…”

“Terserah, Yu. Capek ngomong sama kamu,” gumam Manda sambil kembali makan.

---

Malam harinya, Manda berbaring santai di kamarnya sambil bermain ponsel. Ia membuka F******k, membaca status beberapa teman, lalu tiba-tiba wajah Arman muncul lagi di pikirannya. Entah kenapa ia sulit menghapus bayangan itu.

Ia mengetik nama “Arman” di kolom pencarian. Banyak nama muncul, tetapi tidak ada yang cocok. Ia pun beralih ke I*******m. Kali ini lebih beruntung. Ia menemukan akun Arman—namun dikunci.

“Kenapa mesti dikunci sih…” batinnya. Jempolnya menggantung di tombol follow request, ragu apakah harus menekan atau tidak.

Namun sebelum sempat memutuskan, suara ketukan terdengar.

“Mba, ada yang cari di luar,” ujar Surya sambil menyembulkan kepala.

“Siapa?”

“Mas Bram.”

Manda langsung duduk tegak. Ia melirik jam dinding: sudah jam delapan malam.

“Mas Bramnya di mana?”

“Di teras depan sama Bapak.”

“Ya sudah, bentar ya.”

Setelah Surya pergi, Manda cepat-cepat merapikan rambutnya, mengikatnya dengan scrunchie, lalu keluar kamar. Dari kejauhan ia mendengar suara Bapak dan Bram mengobrol.

“Mas Bram,” sapanya ketika tiba di teras.

Bram segera berdiri. “Nda.”

Begitu melihat Manda, Bapak bangkit. “Bapak masuk dulu, ya. Sudah ada Manda.”

Kini hanya mereka berdua. Mereka duduk, tetapi suasana mendadak canggung. Beberapa kali saling melirik lalu tersenyum malu.

“Mas Bram dari mana?” tanya Manda akhirnya.

“Dari rumah. Memang mau main ke sini. Mas ganggu ya?”

“Enggak kok. Tadi Manda cuma santai di kamar.”

Percakapan pun mengalir perlahan. Bram bercerita soal kuliahnya di Yogya, teman-teman kos, hingga jarak tempat tinggal ke kampus. Manda menanggapinya dengan ramah.

Hening kembali menyergap.

“Nda…” Bram menarik napas dalam. “Mas mau ngomong sesuatu.”

“Mau ngomong apa, Mas?”

“Mas… bingung mulainya.” Bram mengusap kedua telapak tangannya di celana jeans, gelisah. “Mas… suka sama Manda.”

Manda terkejut. Pipinya memanas. Badannya terasa dingin, namun anehnya juga hangat. Lidahnya mendadak ikut kelu.

“Mas suka sama Manda sejak kita sekolah bareng,” lanjut Bram dengan suara pelan. “Mas cuma gak berani bilang. Takut ditolak. Sekarang… Mas memberanikan diri datang ke sini. Mas cuma mau tanya… Manda mau menerima perasaan Mas?”

Manda menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya. Ia tak siap. Ini pertama kalinya ia ditodong pernyataan cinta secara langsung.

Melihat itu, Bram menambahkan dengan lembut, “Nda gak perlu jawab sekarang. Mas bisa nunggu. Jawab kalau Manda sudah siap.”

“I… iya, Mas. Maaf…” suara Manda hampir tak terdengar.

“Gak usah minta maaf. Mas yang tiba-tiba ngomong kayak gini.”

Manda hanya tersenyum malu.

“Mas pulang dulu, ya. Sudah malam.”

“Iya, Mas. Makasih sudah mampir.”

“Titip salam buat Bapak dan Ibu.”

“In syaa Allah.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Suci Yang Retak   Perpisahan

    Malam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam

  • Janji Suci Yang Retak   Bertemu Calon Suami

    Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan y

  • Janji Suci Yang Retak   Cinta Kita Sampai Di Sini

    Malam itu, di dalam kamarnya, Manda memberanikan diri untuk menelepon Bram. Ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering terdengar berulang-ulang. Tidak ada jawaban.Mungkin Mas Bram sudah tidur? pikirnya cemas. Tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa iya sudah tidur?Tut… tut… tut…Sambungan terputus. Hening kembali mengisi kamar. Manda menggigit bibirnya. Haruskah menelpon besok saja? Atau coba sekali lagi? Akhirnya ia memutuskan mencoba lagi.Kali ini ia menghitung dalam hati. “Satu… dua… tiga…”“Halo?”Suara itu membuat jantungnya langsung berdebar kencang. “Halo, Mas Bram?”“Maaf baru Mas angkat, Nda. Barusan Mas di luar kamar.”“Iya, Mas, gak apa-apa. Manda… ganggu, nggak?” Manda berusaha duduk tegak di atas ranjangnya, meski kedua tangannya sudah dingin karena gugup.“Enggak, Nda. Ada apa?”“Anu… gini, Mas. Ada yang mau Manda bicarakan.”“Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?”“Bu… bukan…” Manda semakin bingung bag

  • Janji Suci Yang Retak   Perjodohan

    Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.“Tapi….”“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.---Dua minggu kemudian…“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.“Wa’alaikumsalam,”

  • Janji Suci Yang Retak   Pernyataan Cinta Bram

    Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.“Lho, kok gak tahu?”“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”“Daniel Hadiwijaya.”Ayu langsung mengetik nama itu di med

  • Janji Suci Yang Retak   Nenek Rosa

    “Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status