Share

Nenek Rosa

Author: ukhty ijah
last update Last Updated: 2025-12-08 09:32:45

“Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.

“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.

“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.

Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.

“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.

“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.

“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.

Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.

“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.

“Duduk sini di sebelah Nenek,” pinta Bu Rosa lembut. Amanda menurut.

“Nenek ini teman Simbahmu. Dulu, sewaktu masih muda, Nenek juga tinggal di desa ini,” katanya.

“Ibu Rosa asli sini?” tanya Amanda sopan.

“Jangan panggil Ibu. Panggil saja Nenek.”

“I-iya, Nek,” jawab Amanda canggung.

“Nenek asli sini. Lalu orang tua Nenek membawa Nenek pindah ke Jakarta.”

Bu Rosa tampak menerawang sejenak. “Sudah bertahun-tahun Nenek tidak pulang ke kampung halaman. Nenek baru dengar kabar kalau Simbahmu sudah meninggal. Sayang sekali, Nenek tidak sempat bertemu teman baik Nenek.”

Tamara memegang bahu Bu Rosa, memberi semangat. Bu Rosa menoleh dan tersenyum tipis.

“Maaf, Bu Rosa. Saya tidak mengabari Ibu soal meninggalnya Mak. Saya tidak tahu nomor telepon Ibu. Tidak tahu harus menghubungi ke mana,” ujar Bapak.

“Tidak apa-apa, Wirjo.”

“Nenek jangan sedih. Saya yakin teman Nenek senang melihat Nenek berkunjung ke sini,” ujar Daniel, mencoba menghibur. Semua mengangguk setuju.

“Amanda kerja di mana?” tanya Tamara, mengalihkan suasana.

“Di usaha rumahan cemilan, Mba.”

“Bagian produksi?”

“Iya.”

“Usianya sekarang berapa?”

“19 tahun.”

“Beda enam tahun dengan Arman,” ujar Bu Rosa tiba-tiba.

“Arman cucu bungsu Nenek,” jelas Tamara.

“Arman masih di luar negeri. Setelah lulus SMA, dia kuliah di Amerika. Sekarang bekerja di sana,” tambah Bu Rosa. Nada suaranya penuh kebanggaan—jelas Arman adalah cucu kesayangannya.

Pembicaraan kemudian mengalir. Mereka bertukar cerita tentang keluarga masing-masing. Bu Rosa bercerita tentang putranya, Hendra Hadiwijaya, dan menantunya, Andien. Dari pernikahan keduanya, Bu Rosa memiliki dua cucu: Daniel dan Arman. Daniel menikah dengan Tamara dan sudah memiliki tiga anak, sementara Arman belum menikah.

Bu Rosa lalu menunjukkan foto Arman di ponselnya. “Ini Arman. Tampan, kan?”

Mata Amanda terbelalak. Pemuda di foto itu tampak luar biasa tampan—wajah seperti pangeran, tubuh tinggi dan atletis, kulit putih bersih, rambut hitam legam, dan sorot mata yang tajam. Ia sama sekali tidak menemukan kekurangan.

“Sepertinya Manda nggak bisa berkedip lihat foto Arman,” goda Tamara.

Mereka menertawakan Amanda. Wajahnya merah padam, dan ia menunduk malu. Dasar Manda, jaga mata dong, ia memarahi dirinya sendiri dalam hati.

Tak terasa hari mulai gelap. Bu Rosa dan keluarganya pamit pulang. Bapak dan Ibu Amanda menawarkan mereka menginap, tetapi Daniel menolak halus, mengatakan bahwa mereka sudah memesan hotel. Sebelum pergi, Bu Rosa meminta Daniel memotret dirinya bersama Amanda. Katanya, sebagai kenang-kenangan. Setelah itu, mereka keluar rumah bersama-sama.

Sopir pribadi mereka sudah menunggu di dekat mobil, membukakan pintu belakang untuk Bu Rosa dan Tamara. Daniel duduk di samping sopir. Perlahan mobil itu meninggalkan halaman rumah Amanda.

---

Ketika Amanda baru saja melipat mukenanya setelah sholat Maghrib, suara notifikasi ponselnya berbunyi. Ia melirik layar yang menyala. Ayu. Pasti penasaran soal tamu tadi.

“Ada apa, Yu?” tulis Amanda.

“Siapa tamu tadi, Nda?”

“Temen Simbahku dari Jakarta.”

“Orang kaya ya? Kelihatan banget dari mobilnya. Tadi aku sempet ngintip dari jendela rumahku.”

“Jangan suka ngintip. Ntar timbilan lho.”

“Mereka mau ngapain?”

“Silaturahmi.”

“Silaturahmi atau silaturahmi?”

“Beneran silaturahmi.”

“Masa cuma silaturahmi? Pasti ada maksud lain. Firasatku bilang ada udang di balik bakwan.”

“Iiihh, udah ah. Aku mau bantu Ibu nyiapin makan malam. Sambung besok lagi.”

“Eehh, jangan dulu dong, Nda.”

Amanda meletakkan ponselnya di ranjang. Jika dituruti, Ayu pasti akan menginterogasinya sampai pagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Suci Yang Retak   Perpisahan

    Malam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam

  • Janji Suci Yang Retak   Bertemu Calon Suami

    Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan y

  • Janji Suci Yang Retak   Cinta Kita Sampai Di Sini

    Malam itu, di dalam kamarnya, Manda memberanikan diri untuk menelepon Bram. Ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering terdengar berulang-ulang. Tidak ada jawaban.Mungkin Mas Bram sudah tidur? pikirnya cemas. Tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa iya sudah tidur?Tut… tut… tut…Sambungan terputus. Hening kembali mengisi kamar. Manda menggigit bibirnya. Haruskah menelpon besok saja? Atau coba sekali lagi? Akhirnya ia memutuskan mencoba lagi.Kali ini ia menghitung dalam hati. “Satu… dua… tiga…”“Halo?”Suara itu membuat jantungnya langsung berdebar kencang. “Halo, Mas Bram?”“Maaf baru Mas angkat, Nda. Barusan Mas di luar kamar.”“Iya, Mas, gak apa-apa. Manda… ganggu, nggak?” Manda berusaha duduk tegak di atas ranjangnya, meski kedua tangannya sudah dingin karena gugup.“Enggak, Nda. Ada apa?”“Anu… gini, Mas. Ada yang mau Manda bicarakan.”“Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?”“Bu… bukan…” Manda semakin bingung bag

  • Janji Suci Yang Retak   Perjodohan

    Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.“Tapi….”“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.---Dua minggu kemudian…“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.“Wa’alaikumsalam,”

  • Janji Suci Yang Retak   Pernyataan Cinta Bram

    Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.“Lho, kok gak tahu?”“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”“Daniel Hadiwijaya.”Ayu langsung mengetik nama itu di med

  • Janji Suci Yang Retak   Nenek Rosa

    “Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status