Share

Perjodohan

Author: ukhty ijah
last update Last Updated: 2025-12-08 10:48:48

Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.

“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.

“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.

“Tapi….”

“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.

Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.

---

Dua minggu kemudian…

“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Bapak dan Ibu hampir bersamaan dari ruang tamu.

“Kok pulangnya telat, Nda? Udah mau magrib,” tanya Ibu.

“Iya, Bu. Tadi diajak Ayu ke toko aksesoris,” jawab Manda sambil mencium tangan kedua orang tuanya.

“Nda, Bapak dan Ibu ada kabar baik buat kamu,” ujar Ibu dengan wajah berbinar.

“Kabar apa, Bu?” tanya Manda penasaran.

“Nanti saja, bentar lagi azan magrib. Habis salat kita baru bicara,” timpal Bapak.

Ada apa sebenarnya? Ibu tampak begitu gembira, tapi raut Bapak terlihat jauh lebih serius. Manda tak tahu apakah kabar itu baik atau buruk.

---

Saat Manda sedang merapikan mukena dan sajadahnya, Ibu masuk ke kamar dengan senyum penuh arti.

“Sudah salatnya?” tanya Ibu.

Manda mengangguk. Ibu lalu menggandeng tangannya menuju ruang tengah. Bapak sudah menunggu, duduk sambil mematikan puntung rokoknya ketika mereka tiba. Ibu mendorong Manda duduk di sampingnya.

“Ada yang mau Bapak dan Ibu sampaikan,” ujar Bapak, suaranya tenang tapi tegas. “Tadi Pak Hendra dan Mas Daniel datang ke rumah.”

“Pak Hendra?” Manda mengerutkan kening.

“Itu lho, anaknya Ibu Rosa,” jelas Ibu.

“Tujuan mereka ke sini karena ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita,” lanjut Bapak.

“Hubungan keluarga? Maksudnya?” tanya Manda yang semakin bingung.

“Mereka ingin melamarmu.”

Manda terperanjat. Ia hampir tak percaya telinganya.

“Ibu dan Bapak juga kaget, Nda,” ujar Ibu dengan nada riang. “Alhamdulillah ada keluarga kaya raya yang menginginkanmu jadi mantunya.”

“Bu, jangan berlebihan. Kasih Manda kesempatan bicara,” tegur Bapak.

“Mau bicara apalagi? Manda pasti terima,” sahut Ibu yakin. “Iya kan, Nda?” Ia menatap putrinya penuh harap.

Manda justru makin bingung. Ibu terlihat bahagia, sedangkan Bapak… sulit ditebak apa yang ia pikirkan. Lidah Manda kelu, kata-kata tak mau keluar.

“Nda, kamu mau menerima lamaran ini?” tanya Bapak pelan.

“P… Pak, Manda… t-tidak bisa.”

“Apa!?” seru Ibu. Wajahnya seketika berubah.

“Pak… Bu… maaf. Manda tidak bisa menerima lamaran itu,” ucapnya terbata-bata.

“Kenapa tidak bisa?”

“Bu, tenang dulu. Biar Manda jelasin,” ujar Bapak dengan suara lembut.

“Nda, apa kamu menolak karena ada seseorang yang kamu suka?” tanya Bapak lagi.

Manda mengangguk, menunduk.

“Siapa?” tanya Bapak.

“Mas Bram, Pak.”

“Bram? Anaknya Pak Bambang Kades?” tanya Ibu memastikan.

Manda mengangguk pelan.

“Kalian berpacaran?” tanya Ibu tajam.

Manda kembali mengangguk.

“Sejak kapan?”

“Bu, tenang,” potong Bapak.

“Ibu nggak bisa tenang, Pak! Manda baru nolak lamaran keluarga Pak Hendra gara-gara Bram,” gerutu Ibu.

“Bu… Manda dan Mas Bram baru jadian dua minggu. Kami saling suka,” jawab Manda pelan.

“Ya ampun, Nda. Baru jadian saja sudah percaya. Kamu yakin Bram bakal melamarmu?” tekan Ibu.

“Soal itu… Manda belum tahu.”

“Nah, itu dia! Hubungan yang belum jelas mau kamu pertahankan, sementara yang pasti kamu tolak?”

“Bu… Manda mohon beri kesempatan Manda dan Mas Bram menjalani hubungan ini,” pinta Manda. Matanya mulai berkaca-kaca.

Bapak menarik napas panjang. “Nda, kamu percaya sama Bram?”

“Pak…?” Ibu tampak tidak setuju.

Bapak mengangkat telunjuk, memberi isyarat agar Ibu diam.

“Bapak kasih kamu kesempatan. Tanyakan pada Bram soal masa depan hubungan kalian. Kalau dia serius, minta dia melamarmu. Bapak kasih waktu dua hari, sama seperti waktu yang diminta Pak Hendra.”

“Ta-tapi, Pak…” Manda hampir putus asa.

“Kalau Bram serius, lamaran Arman Bapak batalkan. Tapi kalau tidak ada jawaban, kamu harus menerima lamaran itu.”

Tanpa memberi ruang untuk menolak, Bapak dan Ibu bangkit dari kursi dan meninggalkannya sendirian. Tangis Manda pecah. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana.

----

“Apa!? Dua hari?” pekik Ayu.

Di warung bakso tempat mereka biasa makan, Manda menceritakan semuanya—termasuk syarat berat dari Bapaknya.

“Susah, Nda. Baru jadian dua minggu, tapi sudah disuruh melamar,” ujar Ayu.

“Kata Bapak, kalau Mas Bram mencintaiku, dia pasti mau,” balas Manda lirih.

“Kalau nggak mau?”

Pertanyaan itu langsung merontokkan keyakinan Manda. Ia mendadak tak berani menanyakannya pada Mas Bram.

“Aku dulu nyuruh kamu terima Bram. Itu sebelum Arman melamar. Sekarang situasinya beda. Kamu harus pilih: Arman atau Bram,” kata Ayu serius.

“Aku nggak kenal Arman. Nggak tahu sifatnya seperti apa. Apa aku bisa mencintainya? Tapi Mas Bram… aku sudah kenal sejak sekolah. Aku suka dia. Hanya saja… aku juga belum tahu apa hubungan ini bisa sampai menikah,” ujarnya dengan suara gundah.

“Aku nggak bilang orang tuamu salah, Nda. Mereka memikirkan masa depanmu. Kalau ada yang jelas di depan mata, kenapa mengejar yang belum pasti?”

Manda terdiam lama. Meski berat, ia mengerti maksud Ayu—dan maksud orang tuanya. Ia tak ingin mengecewakan mereka. Jadi ia harus mengambil langkah.

“Aku akan menelepon Mas Bram,” katanya akhirnya. Suaranya pelan, tapi mantap. “Nggak ada pilihan lain. Aku harus tahu jawabannya. Apa pun itu—menyenangkan atau menyakitkan—aku sudah siap.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Suci Yang Retak   Perpisahan

    Malam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam

  • Janji Suci Yang Retak   Bertemu Calon Suami

    Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan y

  • Janji Suci Yang Retak   Cinta Kita Sampai Di Sini

    Malam itu, di dalam kamarnya, Manda memberanikan diri untuk menelepon Bram. Ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering terdengar berulang-ulang. Tidak ada jawaban.Mungkin Mas Bram sudah tidur? pikirnya cemas. Tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa iya sudah tidur?Tut… tut… tut…Sambungan terputus. Hening kembali mengisi kamar. Manda menggigit bibirnya. Haruskah menelpon besok saja? Atau coba sekali lagi? Akhirnya ia memutuskan mencoba lagi.Kali ini ia menghitung dalam hati. “Satu… dua… tiga…”“Halo?”Suara itu membuat jantungnya langsung berdebar kencang. “Halo, Mas Bram?”“Maaf baru Mas angkat, Nda. Barusan Mas di luar kamar.”“Iya, Mas, gak apa-apa. Manda… ganggu, nggak?” Manda berusaha duduk tegak di atas ranjangnya, meski kedua tangannya sudah dingin karena gugup.“Enggak, Nda. Ada apa?”“Anu… gini, Mas. Ada yang mau Manda bicarakan.”“Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?”“Bu… bukan…” Manda semakin bingung bag

  • Janji Suci Yang Retak   Perjodohan

    Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.“Tapi….”“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.---Dua minggu kemudian…“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.“Wa’alaikumsalam,”

  • Janji Suci Yang Retak   Pernyataan Cinta Bram

    Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.“Lho, kok gak tahu?”“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”“Daniel Hadiwijaya.”Ayu langsung mengetik nama itu di med

  • Janji Suci Yang Retak   Nenek Rosa

    “Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status