Mag-log in“Beberapa jarak tidak diciptakan untuk memisahkan, tapi untuk memberi waktu agar hati belajar bertemu lagi — dengan tenang, dengan dewasa, dan dengan cara yang tidak menyakitkan lagi.”
Di airlock menuju line produksi, Naya sedang memeriksa ulang daftar pertanyaan inspeksi. Rambutnya sudah tertutup penutup kepala, masker menggantung di leher, coverall putih belum sepenuhnya dikancing. Ia merapikan lengan baju, dan saat itu, gelang perak di tangannya tersangkut sedikit di ujung manset. “Aduh,” gumamnya pelan. Gelang itu hampir melonggar. Naya berusaha mengaitkan penguncinya lagi dengan satu tangan, tangan lain masih memegang map. Sekali lagi Naya mengutuk kebodohannya. Seharusnya ia melepaskan semua perhiasan sebelum masuk ke ruang produksi, tapi terlalu banyak distraksi dan ia membutuhkan sensasi dingin logam di pergelangan tangannya sebagai penenang, sampai ia lupa melepaskannya sebelum masuk. Naya berkutat dengan pengait gelangnya, emosi namun tetap berhati-hati, tak mau perhiasan yang sudah menjadi bagian dari dirinya itu rusak, “Susah banget, sih…” ia mengeluh lirih, sepersekian detik lengah. “Biar aku bantu.” Suara yang sama. Napasnya berhenti sepersekian detik. Otaknya berisik mempertanyakan kenapa semesta tidak memberinya jeda. Elric berdiri di sebelahnya, sudah memakai coat putih, tapi belum mengenakan masker. Dari dekat begini, jarak usia mereka terasa lebih nyata—dan begitu juga jarak lain yang tidak terlihat. Tangan Elric terulur. Ia menyentuh gelang Naya, menggenggam ujung kecil penguncinya dengan gerakan yang sangat familiar, seolah ia pernah melakukannya ratusan kali. Padahal, hanya sekali. Tapi momen itu tertanam terlalu dalam di kepala keduanya. Naya menahan napas. Kulit mereka bersentuhan sesaat—hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat semua yang ia susun kembali goyah. “Kamu masih pakai gelang ini,” ucap Elric perlahan. Bukan pertanyaan. Lebih seperti pengakuan bahwa ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak lagi jadi miliknya. Naya menatap lurus ke depan. “Saya sudah terlalu terbiasa dengan gelang ini, sampai lupa kalau ada di tangan,” balasnya tenang. Terlalu tenang, seperti tidak ada kenangan yang berarti. Elric menyelesaikan kaitnya, lalu melepaskan pelan. Hanya gelang biasa… Hanya terlalu terbiasa sampai sudah tidak memiliki arti. Apakah kehadiran Elric juga sudah terlalu biasa sampai tidak memiliki arti? *** Pantry lantai kantor selalu agak terlalu terang untuk selera Naya. Lampu putih, dinding putih, kabinet putih. Satu-satunya warna datang dari mug-mug yang tidak seragam dan tanaman kecil di sudut jendela. Mungkin itu sebabnya ia memilih tempat ini siang itu. Terang. Ramai secukupnya. Sulit untuk terlalu jujur pada diri sendiri di tempat yang seterang ini. Ia menuang air panas ke dalam mug, memasukkan teh celup jahe yang selalu ia bawa sendiri. Kebiasaan lama yang menempel, entah dari mana awalnya. “Atau mungkin dari seseorang,” pikirnya kering. Suara langkah mendekat. Keira membuka kulkas, mengeluarkan botol infused water, lalu memandang Naya dengan mata menyipit sedikit. “Teh jahe?” tanya Keira. Naya mengangguk. “Biar nggak gampang masuk angin.” “Biar nggak gampang goyah juga?” Keira mengangkat alis, separuh bercanda, separuh mengukur. Naya menatapnya balik, mencoba tersenyum. “Aku insinyur, Keir. Bukan kapal. Goyah apanya.” Keira menutup pintu kulkas, menyandarkan pinggul ke countertop. “Aku nggak bilang kamu kapal. Tapi kalau kapal, kamu tipe yang pura-pura tenang padahal mesinnya udah berisik duluan.” “Bahas kapal di pantry kantor, ini efek kamu kebanyakan nonton drama,” balas Naya ringan. Tapi Keira tidak tertawa. “Kamu nggak cerita kalau direktur operasional di sini itu ‘seseorang’ dari masa lalu kamu.” Naya berhenti mengaduk teh. Sendok kecil itu menabrak sisi mug, menghasilkan bunyi pelan yang terlalu jelas di telinganya. “Aku nggak bilang apa-apa, jadi kamu juga nggak tahu apa-apa,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar netral. “Naya,” Keira mendesah. “Aku sahabatmu. Kamu pikir aku nggak lihat cara kalian saling menghindar tapi… juga nggak bisa berhenti untuk saling curi-curi pandang?” Naya menatap permukaan teh, mengamati lingkaran buih di gelasnya. “Aku cuma kerja di sini, Keir. Sama seperti kamu.” “Bedanya,” Keira meneguk minumannya, “aku nggak punya gelang sentimental yang bikin direktur operasional kita bengong sepersepuluh detik lebih lama dari seharusnya.” Naya refleks meraih pergelangan tangannya. Gelang perak itu tersembunyi di balik lengan kemeja panjang, tapi rasanya seperti disorot lampu panggung. Dia masih ingat dengan terlalu jelas hari ketika gelang itu pertama kali melingkar. *** Usia enam belas. Hujan sore. Ulang tahun yang seharusnya terasa biasa saja. Rumah di Kotabaru itu sepi seperti biasa. Ardan belum pulang, katanya ada tugas kampus. Naya menghabiskan sore di ruang tamu, pura-pura sibuk membaca buku padahal pikirannya jauh ke mana-mana. Bel berbunyi. Ia membuka pintu, mendapati Elric berdiri dengan payung dilipat di tangannya, kemeja biru tua basah di bahu. “Kok… Kak Elric ada di Yogya?” Naya terperanjat. “Masuk, Kak. Hujan.” Elric tersenyum kecil, masuk, menaruh payung di sudut. “Harusnya aku yang nanya. Kok kamu di rumah sendirian pas ulang tahun?” “Kak Ardan bilang hari ini pulang malam,” jawab Naya, mengangkat bahu. “Cuma ngasih ucapan.” “Dasar ga niat,” gumam Elric. “Untung aku niat.” Ia merogoh saku, mengeluarkan kotak kecil berlapis beludru biru dan menyerahkannya pada Naya. “Nggak besar,” katanya singkat. “Tapi… kupikir ini cocok buat kamu.” Naya menerimanya dengan kedua tangan. Hatinya berdebar kencang, tidak proporsional untuk benda sekecil itu. Saat membuka kotak, kilau permata biru kecil di tengah gelang perak menyambutnya. “Kak…” suaranya hampir tidak keluar. “Ini… cantik banget.” Elric mengulurkan tangan. “Boleh?” Ia hanya bisa mengangguk. Jari-jari Elric menyentuh pergelangan tangan Naya pelan, mengaitkan pengunci gelang dengan hati-hati. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat semua suara lain menghilang. “Katanya, warna ini simbol ketenang dan keberanian,” ujar Elric, menatap gelang itu sejenak. “Dua hal yang… aku lihat ada di kamu.” Naya menahan napas. “Aku nggak seberani itu, Kak.” “Kalau nggak berani, kamu nggak akan bisa lewat hari-hari setelah kecelakaan itu.” Nada suaranya lembut. Ada sesuatu di mata Elric waktu itu — sesuatu yang Naya terlalu muda untuk mengerti. “Selamat ulang tahun, Naya.” Dan di malam yang terlalu biasa untuk ulang tahun, Naya menyadari: tidak semua bahagia datang dengan pesta. Kadang, ia datang dalam bentuk gelang kecil dan tangan hangat yang mengaitkannya. *** “Naya?” suara Keira memecah memorinya lagi. “Hmm?” Naya mengangkat wajah. “Kamu yakin kamu baik-baik aja?” tanya Keira lagi, lebih pelan, tanpa bercanda. Naya menarik napas pelan. Ia tahu jawabannya : Tidak. Tapi ia sudah terlalu lama belajar untuk baik-baik saja. “Aku… sedang mencoba untuk baik-baik aja,” jawabnya jujur. Keira menatapnya, mendekat, lalu meraih bahu Naya sebentar. “Kalau dia bikin kamu sesakit itu… kamu nggak harus kuat sendirian, tahu.” Naya hendak menjawab, tapi suara lain tiba-tiba terdengar di pintu pantry. “Keira, ada dokumen dari finance— oh.” Langkah berhenti. “Maaf. Aku Ganggu?” Elric. Terlambat untuk pura-pura tidak ada apa-apa. Keira menyipitkan mata, menatap dua orang di depannya bergantian. Lalu, dengan insting sahabat sekaligus sepupu yang terlalu peka, ia mengangkat botol minumnya. “Aku… ada meeting di lantai tiga. Kalian lanjut aja,” katanya, terlalu santai untuk kebetulan. “Keira—” Naya memanggil, tapi Keira sudah berlalu. Meninggalkan dua orang di pantry yang mendadak terasa jauh lebih sempit. ***Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny
Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden







