Mag-log in"Ada cara aneh semesta mempertemukan dua orang yang tidak pernah mencari, tapi ternyata saling menemukan."
Udara di lorong area produksi selalu lebih dingin daripada ruangan lain. Tapi hari ini, udara di ruang produksi terasa lebih dingin dari biasanya. Apa mungkin hanya ia saja yang merasa berbeda, karena setiap langkah terasa seperti menapaki jalan yang pernah ia coba lupakan.Naya menarik napas pelan. Lalu menghembuskannya lebih lambat dari seharusnya.
Hati. Jantung. Yang manapun itu, ayo pliss kerjasama. Aku mau kerja. Kalau mau mengulah, nanti saja di rumah.
Naya mengomeli dirinya sendiri.
“Bu Nayara, ini jalur penimbangan dan mixing,” ujar seorang supervisor, menunjuk ke arah kanan. “Area filling kapsul ada di sebelah sana, nanti kita lewat ruang buffer di sebelah sana.”
“Baik, Pak.” Suaranya terdengar normal, syukurlah.
Normal. Kata yang hari ini terasa mahal.
Begitu supervisor berlalu sebentar untuk mengambil dokumen, Naya bersandar tipis pada dinding. Bukan bersandar benar-benar, hanya menyentuhkan punggung, seolah dinding itu bisa menahan sesuatu yang berguncang di dalam dada.
Kenapa kamu pergi waktu itu?
Pertanyaan Elric barusan masih bergema di kepala.
Padahal ia sudah menyiapkan jawabannya bertahun-tahun.
Ia yang memilih pergi. Lalu kenapa rasanya tetap seperti orang yang ditinggalkan?
Ia memejamkan mata sejenak.
Dan seperti tubuh yang menyimpan ingatan sendiri, yang muncul pertama justru bukan ruang rapat tadi. Bukan setelan abu-abu Elric, bukan sorot matanya.
Yang muncul adalah suara rem mendadak. Sobekan logam.
Dan napasnya sendiri, yang tersengal-sengal di antara bau asap dan debu.
***
Naya berumur delapan tahun waktu itu.Dunia berhenti dengan cara yang tidak ia mengerti. Satu detik ia masih mendengar suara Ayah yang bertanya apakah ia mual selama perjalanan, detik berikutnya semuanya berputar.
Kaca pecah. Suara orang berteriak. Dan sunyi yang begitu mencekam setelahnya.
Naya tidak ingat bagaimana ia bisa keluar dari mobil. Ia hanya tahu ia tiba-tiba berada di pinggir jalan, lutut tergores, kepala berdengung. Napasnya berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya dari dalam.
“Ayah…” suaranya parau. “Ibu…”
Tidak ada jawaban.
Hanya suara orang-orang yang berkerumun.
Seseorang berteriak minta ambulans.
Seseorang menyebut “…tabrakan beruntun…”
Suara itu semua bercampur jadi satu noise di kepalanya.
Ia ingin memanggil Ayah lagi, tapi mulutnya kering.
Ada rasa besi di lidahnya.
Napasnya pendek-pendek.
Semua bergerak begitu cepat di sekelilingnya, tapi juga seperti slow motion. Begitu membingungkan untuk Naya kecil.
Sampai satu suara menembus semua kebisingan itu.
“Hei… hei… jangan tidur, ya.”
Suara laki-laki. Masih muda.
Hangat dan lembut, begitu kontras di tengah kekacauan.
Saat Naya membuka mata, seorang laki-laki sudah berjongkok di depannya. Seragam putih abu-abu. Wajah berkeringat, nafas tersengal, tapi matanya… lembut. Ada sedikit kepanikan di matanya.
“Kamu bisa dengar aku?” tanyanya.
Naya mengangguk sedikit, atau mungkin hanya berniat mengangguk. Kepala terasa berat.
“Namamu siapa?”
“N…Naya…”
Otot wajahnya seolah lupa bagaimana cara berbicara.
“Naya,” ulang laki-laki itu perlahan, seolah sedang menyimpan nama itu untuk nanti. “Oke. Naya, sekarang kamu tarik napas pelan, ya. Lihat aku. Tarik… pelan… tahan dikit… terus keluarin.”
Ia mencontohkan.
Naya berusaha meniru.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Dunia masih kacau. Tapi napasnya mulai mengikuti ritme suara itu. Menenangkannya.
“Bagus. Gitu terus.”
Laki-laki itu mengulurkan tangan. “Aku Elric. Aku nggak akan pergi sebelum kamu aman. Oke?”
Ia tidak tahu siapa Elric.
Tapi di tengah semua yang retak, suara itu satu-satunya hal yang terasa pasti.
Tangannya terulur—kecil, berdebu, lecet, penuh dengan luka.
Elric menggenggamnya erat.
Hangat.
Dan di antara suara sirine dan orang-orang yang berlari, Naya menarik nafas lagi.
Kali ini, sedikit lebih dalam.
***
“Bu Nayara?”Suara supervisor produksi menariknya kembali ke lorong pabrik bercat putih.
Naya membuka mata. “Ya, Pak?”
“Maaf, ini form kunjungan hari ini. Harus ditandatangani dulu sebelum masuk. Nanti, tinggal ke HR untuk minta didaftarkan ID Card nya supaya punya akses masuk ke ruang produksi.”
“Oh. Baik.” Ia mengambil berkas itu, menandatangani tanpa benar-benar membaca. Tangannya sedikit bergetar.
Di pergelangan tangannya, gelang perak dengan permata biru tampak kecil tapi mencolok di atas kulitnya.
Gelang yang ia terima bertahun-tahun setelah hari itu, di teras rumah yang sunyi.
Gelang yang terasa seperti janji tidak diucap.
Gelang yang seharusnya tidak lagi punya kuasa atas napasnya hari ini… tapi nyatanya masih.
“Nanti saya jelaskan lagi alur orang dan material, ya, Bu,” supervisor tersenyum.
“Silakan, Pak.” Naya mengangguk. Masuk ke mode kerja lagi.
Mode yang paling aman.
***
Di lantai atas, di ruang kerjanya yang menghadap halaman dalam pabrik, Elric duduk menatap layar monitor yang sudah menyala sejak pagi tapi belum memberi banyak arti.Laporan produksi, angka OEE, grafik deviasi.
Semua tampak penting.
Tapi di kepalanya, yang berputar justru wajah bocah delapan tahun di IGD dengan selang infus di tangan.
Sejak hari itu, ia selalu mengira yang ia jaga adalah napas seorang adik kecil yang trauma.
Bukan hatinya.
Monitor di depan Elric memantulkan bayangan dirinya sendiri. Ia mengusap wajah, mencoba kembali ke angka-angka.
Tapi bayangan lain muncul:
Gelang berpermata biru di pergelangan tangan seorang perempuan dewasa yang barusan meninggalkannya di ruang meeting.
Masih dia pakai…?
Kenapa?
Jika Naya benar-benar ingin berhenti berharap, kenapa gelang itu tidak ikut ditinggalkan?
Ia berdiri tiba-tiba. Kursinya bergeser sedikit keras.
Tangannya hampir otomatis meraih kartu akses yang tergantung di lanyard.
Sebelum ia sempat berpikir, kakinya sudah melangkah ke arah koridor yang menghubungkan kantor dengan area produksi.
-BERSAMBUNG-
Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny
Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden







