Mag-log in“Beberapa orang tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya duduk sedikit lebih jauh—cukup dekat untuk terasa, cukup jauh untuk tidak bisa digenggam.”
Elric tidak berniat mencari Naya. Atau setidaknya, itu yang ia katakan pada dirinya sendiri saat melangkahkan kaki ke pantry. Kantor ini tidak besar. Bertemu rekan kerja di pantry adalah hal biasa. Sangat biasa. Bukan berarti ia sengaja. Tapi begitu melihat punggung Naya di depan dispenser, jantungnya memutuskan untuk tidak mengikuti narasi itu. Ia melihat senyum singkat Naya saat bicara dengan Keira. Cara ia memegang mug dengan dua tangan. Cara bahunya sedikit turun ketika tertawa kecil. Ada hal-hal yang tidak berubah sejak dulu—cara tubuhnya bereaksi terhadap dunia, misalnya. “Maaf. Aku Ganggu?” katanya, meski ia tahu ia jelas mengganggu. “Aku... ada meeting di lantai tiga,” jawab Keira, cepat sekali. Terlalu cepat. “Kalian lanjut aja.” Dan sebelum ia atau Naya sempat menolak, Keira sudah keluar. Meninggalkan jeda hening yang menggantung di antara mereka. Elric berdiri beberapa langkah dari Naya, cukup jauh untuk sopan, cukup dekat untuk mencium aroma teh jahe yang menguap. “Kamu masih suka teh jahe,” komentarnya pelan. Naya tidak langsung menjawab. “Enak. Hangat.” “Kamu dulu cuma mau minum itu kalau lagi gelisah,” lanjutnya, setengah lupa bahwa ini bukan obrolan yang pantas di pantry kantor. Naya sedikit kaget. “Aku nggak ingat.” “Waktu kecil,” Elric menambahkan, seolah itu akan membuat semuanya lebih ringan. “Di rumahku, Mama selalu membuatkan teh jahe untuk kamu. Minuman ini salah satu yang bisa bikin kamu tenang. Setelah...kejadian itu.” Setelah dunia Naya hancur. Setelah ia berjanji pada Ardan akan “menjaga” adik kecilnya. Ia menatap punggung Naya. Ada bagian darinya yang ingin berkata, Aku ingat semua hal kecil tentangmu. Tapi ia menahan. “Aku kadang masih mimpi soal hari itu,” katanya tiba-tiba. Entah kenapa. Naya berbalik, kening berkerut. “Mimpi?” “Suara tabrakan. Kamu yang tergeletak di pinggir jalan penuh luka.” Elric memaksakan senyum tipis, tapi matanya gelap. “Aku pikir mungkin aku juga trauma.” Naya terdiam. “Aku sekarang baik-baik aja,” ujarnya akhirnya. “Kamu selalu bilang gitu,” sahut Elric, pelan. “Dari dulu.” Kata-kata itu menggantung di udara. Naya mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela, ke arah langit Jakarta yang ketutup gedung-gedung. “Karena orang-orang lega kalau mendengar jawaban itu,” jawabnya. Elric baru saja akan menimpali, tapi seseorang memotong kalimatnya. “Pak Elric?” panggil salah satu staf dari luar. “Maaf, saya mau minta tandatangan surat jalan, Pak.” “Sebentar,” jawab Elric, tapi matanya tidak lepas dari Naya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Tentang kenapa Naya pergi. Kenapa ia tidak pamit. Kenapa ia terdengar begitu letih tadi ketika bilang berhenti berharap. Sebagai orang yang waras dan dewasa, seharusnya ia melangkah pergi sekarang. Tapi ia malah berkata “Naya, nanti setelah jam kerja… kamu punya waktu sebentar?” Naya menatapnya, tubuhnya kaku. “Untuk apa?” “Untuk ngobrol. Bukan soal pekerjaan.” Lurus. Tanpa basa-basi. Naya menimbang. Semua insting pertahanannya berteriak tidak. Semua luka lama memintanya menjaga jarak. Tapi ada bagian kecil dalam dirinya yang… masih ingin mendengar. Masih ingin tahu apakah satu-satunya jangkar masa kecilnya itu pernah, walau sekali saja, melihatnya bukan sebagai adik sahabat. “Lihat nanti,” jawabnya akhirnya. “Kalau aku nggak lembur.” Ia melewati Elric, membawa mug-nya keluar pantry. Meninggalkan Elric seorang diri. *** Café itu tidak terlalu jauh dari kantor—cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki, cukup jauh untuk merasa seperti keluar sebentar dari udara pabrik yang dingin dan kaku. Dindingnya bata ekspos, lampu-lampu temaram menggantung rendah, dan musik pelan mengisi ruang tanpa mengganggu. Naya duduk di ujung meja panjang dekat jendela, memandangi lalu lintas sore yang pelan. “Pesan apa?” tanya Keira, membuka menu. “Earl Grey aja,” jawab Naya. “Sama… apa pun yang nggak terlalu manis.” “Seperti hidupmu,” celetuk Keira. Naya mendengus, tapi tidak membantah. Selain mereka berdua, ada tiga orang lain dari tim: Rafi supervisor QA, Dina Manager HR, dan satu staf produksi yang wajahnya baru ia lihat hari ini. Obrolan awal masih aman—tentang kemacetan, makanan dekat kantor, dan sedikit keluhan soal mesin yang susah diajak kompromi. “Jadi, Bu Naya ini lulusan Jerman, ya?” Rafi duduk di seberang Naya, dagunya bertumpu di punggung tangan. “Keren banget. Di sana kerja juga di farmasi?” “Iya,” jawab Naya singkat. “Di perusahaan yang fokusnya produk-produk steril.” “Pantes tadi pas ngomongin soal media fill matanya berbinar,” Dina ikut menimpali. Sebelum sempat merespons, pelayan datang membawa minuman. Earl grey-nya diletakkan di tepi meja, tempat di sampingnya.u Satu tangan lain ikut menggeser gelas itu sedikit menjauh dari tepi meja, otomatis, hati-hati. Gerakan yang terlalu familiar untuk tidak dikenali. “Kak Elric, kamu mau pesan apa?” tanya Keira. Naya membeku sepersekian detik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu laki-laki itu sudah duduk di sisi lain meja—arah diagonal darinya. Cukup jauh untuk tidak mencolok. Cukup dekat untuk terasa. “Americano.” Jawaban singkat. “Sama apa pun yang paling cepat keluar dari dapur.” “Selalu terburu-buru,” sindir Keira. “Padahal nggak ada pasien IGD yang nunggu di sini.” “Jam besuk laporan masih panjang,” balasnya santai. Naya menatap cangkirnya. Uap tipis keluar dari cangkir tehnya, mengaburkan sedikit permukaan minuman. Ia berusaha fokus pada itu, bukan pada suara di seberang meja. “Jadi, Bu Naya…” Rafi berdeham sedikit, memiringkan tubuh ke arahnya. “Kalau boleh tahu, rencana ke depan setelah proyek ini selesai mau ngapain? Tetap di Althera, atau balik ke Eropa?” Keira refleks menoleh. Dina juga. Pertanyaan itu terdengar seperti basa-basi, tapi Naya tahu nada di baliknya. Ia sudah cukup sering diajak ‘ngobrol karier’ yang ujung-ujungnya bukan soal karier. “Sampai sekarang kontrakku masih seputar project integration,” jawab Naya hati-hati. “Setelah itu, lihat situasi dulu.” “Kalau bisa sih jangan balik dulu,” Rafi tersenyum. “Sayang. Orang sekeren kamu kalau cuma numpang lewat.” Ada ketulusan di sana, dan Naya cukup bijak untuk tidak salah paham. Tapi sebelum ia sempat mengalihkan topik, suara lain menyusul—lebih rendah, lebih tenang, tapi ada nada yang sedikit ketus. Hanya sedikit. “Keputusan karier Naya pasti dipertimbangkan matang,” komentar Elric sambil mengaduk kopinya. “Kita yang di sini tugasnya memastikan lingkungan kerjanya cukup sehat dulu, baru bisa berharap dia betah.” Kalimat itu netral. Sangat netral. Tapi Naya merasakan ada sesuatu yang bergolak di bawah permukaannya. Rafi terkekeh kecil. “Siap, Pak Direktur. Maksud saya cuma—” “Aku tahu,” potong Elric cepat. Ia tersenyum tipis, tapi matanya tidak benar-benar ke Rafi. Naya mengangkat kepala. Matanya bertemu dengan milik Elric sekilas. “Dari dulu,” tambah Elric, lebih pelan, “dia selalu ambil keputusan sendiri. Nggak pernah karena dibujuk orang lain.” Dulu? Kata itu menggantung. “Wah, dari dulu?” Dina berbinar. “Berarti Pak Elric udah kenal lama, ya?” Naya buru-buru mengalihkan pandang ke arah lain. “Keluarga kami kenal dekat.” “Adik sahabat saya,” jawab Elric secara ringkas. “Simple.” Simple? Naya ingin tertawa. Tidak ada yang terasa simple.-BERSAMBUNG-Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny
Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden







