LOGINKeputusan diambil tanpa ketukan palu.Nandini menutup laptopnya dengan satu gerakan tenang.Bukan karena diskusi selesai, tapi karena arah pencarian mereka sudah jelas.“Besok pagi,” katanya, “kita lakukan parallel inquiry. Bukan interogasi resmi. Masih pengumpulan fakta.”Metha mengangguk. “Aku ambil Bayu. Secara teknis dia di bawah scope engineering lama.”“Tetha,” lanjut Nandini, “kamu dengan IT. Aku mau full mirror access. Tidak ada lagi jam yang bisa ‘tersesat’.”Tetha tersenyum tipis. “Akhirnya. Aku sudah menunggu izin itu.”Zoe menatap Naya. “Kamu?”Naya mengangkat wajah. Ada jeda sebelum menjawab.“Aku ikut Yogi.”Ruangan hening lagi.Yogi adalah orang lama Yang tidak pernah benar-benar menerima perubahan. Yang terlalu sering berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi “kalian tidak tahu apa-apa”.“Pastikan kamu tidak sendirian,” kata Nandini datar.“Pasti,” jawab Naya.Reza melirik jam. “Aku awasin lewat cctv. Supaya kita tahu kalau ada orang yang keluar tanpa izin.”Nandini ber
Nandini berdiri di depan screen besar yang menampilkan peta instalasi gas pabrik. Garis-garis biru yang seharusnya stabil kini berwarna merah di beberapa titik. Di bawahnya, grafik tekanan tidak turun sempurna—fluktuasi tidak biasa.“Ada seseorang yang menyentuh sesuatu di sini,” katanya sambil menunjuk panel historical bypass log.Di meja, Zoe, Metha, Tetha, serta beberapa spesialis HSE memperhatikan setiap kata..“Pertama,” lanjut Nandini, “log penggunaan bypass manual tidak terekam pada hari ledakan.”“Artinya?” tanya Metha.“Artinya…” Tetha menambahkan cepat, “Seseorang mematikan auto logging. Itu bukan tombol yang bisa tertekan tidak sengaja. Harus tahu caranya.”Zoe membuka data overlay CCTV.“Dan lihat ini,” katanya sambil menampilkan dua feed video dari dua kamera berbeda. Satu menunjukkan Yudo naik tangga. Satu lagi menunjukkan Surya di koridor dekat ruang utility.“Ini beda waktu tapi jam DVR tidak sinkron,” jelasnya. “Selisih lebih dari 3 menit.”“Jadi jam di sistem senga
Sore itu, di ruang investigasi, mereka berkumpul lagi. Wajah-wajah lelah, map makin menumpuk.“Jadi,” Zoe merangkum, “dari keterangan teknisi korban, kita dapat tiga hal: satu, budaya manipulasi data dan tambal sulam sudah lama ada; dua, nama yang sama muncul berkali-kali sebagai pihak yang mendorong kelonggaran; tiga, ada sikap sinis terhadap manajemen baru yang tidak berhenti di level omongan.”“Ditambah rekaman CCTV yang menunjukkan seseorang dengan akses card Pak Surya, perawakan mirip teknisi senior, masuk ke ruang panel,” tambah Tetha.“Dan kelompok informal orang lama yang masih menyisakan beberapa anggota di sini,” sambung Metha.“Dengan kata lain,” Nandini menyandarkan tubuh di kursi, “sistem rusak, budaya buruk, transisi setengah matang, dan orang-orang yang tidak senang dengan perubahan. Gas line hanya salah satu tempat di mana semua itu bertemu.”“Pertanyaannya,” Elric mengusap wajah, “apakah ledakan ini murni hasil kelalaian menahun… atau seseorang memang sengaja mengambil
Informasi yang Naya terima cukup memberatkan hatinya, tapi di sisi lain ia juga merasa beruntung karena lead investigator yang memimpin investigasi internal ini adalah Nandini, bukan orang lain.Nandini melihat wajah Naya sejenak sebelum melanjutkan.“Kedua,” lanjut Nandini, “aku mau kamu hati-hati dengan rasa bersalahmu sendiri.” Naya mengangkat alis. “Maksudnya?” “Orang yang pakai hati dan otaknya di saat yang bersamaan, biasanya gampang merasa bersalah,” kata Nandini. “Apalagi kalau posisi mereka di tengah-tengah kekacauan seperti ini. Kamu tipe orang yang begitu. Dan itu bagus, sejauh tidak membuatmu menutupi kesalahan orang lain.” “Tidak menutupi?” Naya mengulang. “Kamu tahu ada yang salah di sistem lama. Kamu mungkin pernah lihat indikasi kelalaian orang,” ujar Nandini. “Kalau di kemudian hari, fakta-fakta mulai menyusun pola yang menunjukkan ada pihak yang sengaja melemahkan sistem… aku butuh kamu berani bilang ‘iya, dulu aku pernan lihat ini, tapi aku diam saja. ’.” “
Belakangan ini, hari seperti berjalan lebih cepat dari biasanya untuk Naya. Tanpa aba-aba, hari esok sudah datang lagi.Pagi tadi, Nandini khusus memintanya untuk datang ke ruang meeting melalui w******p. Sendirian. Begitu sampai di depan pintu ruang meeting, Naya diam sejenak. Menimbang apakah ia harus masuk atau membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu. Ia mengintip melalui celah Pintu ruang rapat kecil yang terbuka sedikit. Semua lampu dinyalakan, terlalu terang untuk seleranya yang menyukai cahaya remang-remang yang menenangkan. Di atas meja oval, hanya ada dua gelas air mineral, satu laptop yang tertutup, dan map kuning yang belum dibuka. Tidak ada Zoe, tidak ada Reza, tidak ada Elric. Hanya Nandini, duduk sendirian, merapikan bolpoin di atas buku catatan. “Naya,” panggilnya ketika melihat sosok di ambang pintu. “Masuk. Tutup pintunya, ya.” Nada suaranya tenang, bukan nada orang yang hendak menginterogasi. Tapi justru itu yang membuat jantung Naya berdegup sedikit leb
Di ruang meeting lain yang lebih kecil, Keira duduk dengan kaki kanan yang dibebat elastic bandage, sepatu yang dipakainya sekarang flat, bukan heels.“Ini tampilan paling ‘soft’ yang aku punya,” katanya pada Zoe, menunjuk blus dan celana rapi yang ia kenakan. “Aku sampai ninggalin blazer di meja. Biar nggak terlalu kelihatan terlalu mengintimidasi.”“Kamu kelihatan baik-baik aja, tenang saja,” Zoe menenangkan. Satu perwakilan keluarga korban—istri dari salah satu teknisi luka bakar—duduk di seberang mereka, ditemani adik ipar.“…dan kami menghargai update yang perusahaan berikan,” kata sang istri, suaranya pelan tapi tegas. “Tapi suami saya masih kesakitan. Dia bilang, ini bukan pertama kalinya mereka merasa preventive maintenance itu dipaksa mundur karena produksi.”Keira meneguk pelan air mineral. “Kami tidak akan menyalahkan tim lapangan,” katanya. “Kalau ada tekanan untuk memundurkan jadwal maintenance, itu tanggung jawab manajemen. Dan sekarang, kami sedang berusaha cari tahu da







