Share

Bab 04 - Cadangan

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2024-07-02 13:40:28

Penerbangan selama 1 jam 35 menit akhirnya usai. Setelah hampir semua penumpang turun, barulah Hisyam mengajak kelompoknya melangkah keluar pesawat.

Mereka mengucapkan terima kasih pada crew pesawat yang membalas dengan seulas senyuman. Utari menggandeng Hanania. Mereka jalan mengekori langkah Hisyam, Sudrajat dan Jaka. Sedangkan Irfan dan Fatma menutup barisan.

Ketujuh orang tersebut mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang hingga tiba di tempat pengambilan bagasi. Sebab tidak membawa koper besar, mereka tidak berhenti di sana, dan meneruskan langkah hingga tiba di depan area kedatangan.

Hisyam mendatangi seorang pria asli Spanyol, yang menggunakan setelan jas hitam, dengan logo PBK di ujung kerah kiri. Lelaki berambut cepak memberi hormat yang dibalas kelima pengawal dengan hal serupa.

Utari dan Hanania hanya mengangguk sopan pada ketua regu pengawal area Swiss. Seusai berbincang sesaat, pria bersetelan jas hitam yang bernama Delamo, mengajak kelompok tersebut menuju tempat parkir khusus tamu VIP.

Keluarga Baltissen dan Pramudya, serta Pangestu, Aryeswara dan Janitra, merupakan kumpulan pengusaha asal Indonesia yang cukup disegani para pelaku bisnis di Swiss.

Kerjasama PG dan PBK dengan beberapa pengusaha asli Swiss, menambah erat hubungan bisnis tersebut. Selain itu, banyaknya orang lokal yang direkrut menjadi pengawal khusus pengusaha di sana, membuat banyak klien tertarik untuk menggunakan jasa pengamanan PBK.

Fatma yang baru kali itu mengunjungi Jenewa, sibuk memotret dan memvideokan apa pun yang terlihat di sepanjang jalan. Gadis berambut pendek mengirimkan beberapa foto dan video pada keluarganya, serta grup besar PBK.

Utari yang juga memotret sekitar, mengirimkan foto-foto pada Sulistiana dan ketiga kakaknya. Gadis berbibir penuh harus mengirimkan laporan setiap hari, agar keluarganya tenang.

Sesampainya di depan gedung kantor PG dan PBK, Hisyam, Sudrajat dan Jaka turun, lalu berpindah ke mobil SUV putih yang dikemudikan supervisor PG area tersebut. Sementara keempat orang lainnya diantarkan Delamo ke hotel yang jaraknya sekitar 300m dari kantor.

"Akhirnya, kita bisa istirahat," tutur Hanania, sesaat setelah turun dari mobil.

"Aku lapar," rengek Utari sambil memandangi ketiga ajudan yang tengah menurunkan keenam tas dari mobil.

"Kita ke restoran hotel. Di sana makanannya enak," usul Hanania.

"Ada kebab, nggak, Kak?"

Hanania mengangkat alisnya. "Kayaknya nggak ada."

"Hmm, aku pengen itu."

"Nanti malam saya antarkan ke restoran milik orang Turki, Nona," sela Delamo yang sejak tadi mendengarkan percakapan tersebut. Dia sudah cukup lancar berbahasa Indonesia, karena sering berlatih bersama teman-temannya.

"Beneran ada?" tanya Utari sambil membulatkan matanya.

"Ya, jaraknya juga tidak jauh dari sini. Hanya sekitar 5 kilometer."

"Oke. Kita berangkat jam 7."

"Siap, Nona."

Delamo berbincang sesaat dengan pegawai hotel, kemudian dia mengarahkan para tamu menuju restoran. Sementara barang-barang diantarkan ke tiga kamar di lantai dua.

"Padahal hotel ini bintang tiga, tapi interiornya sama dengan hotel-hotel keren di Indonesia," tukas Utari sembari memindai sekitar.

"Swiss tidak segan untuk menggelontorkan dana demi meningkatkan sarana wisata di sini," jelas Hanania yang sudah beberapa kali berkunjung ke negara tersebut.

"Kupikir, semua negara Eropa juga sama."

"Betul. Mereka tahu, pariwisata menjadi andalan untuk menambah devisa."

"Aku jadi pengen tinggal di sini."

"Non aja, ya. Aku nggak," sela Fatma yang jalan di belakang kedua perempuan tersebut.

"Kenapa?" tanya Utari.

"Hidungku langsung mampet ini. Padahal di sini pakai penghangat ruangan," keluh Fatma.

"Itu karena kamu belum terbiasa, Fa," timpal Irfan.

"Aku memang kurang kuat udara dingin, Bang," sanggah Fatma. "Di London kemaren, nggak sedingin di sini. Jadi hidungku aman," paparnya.

"Berarti kamu nggak bisa, dong, nikah sama Bang Ignazio."

Fatma mencebik. "Aku sama dia cuma teman."

"Tapi kayaknya dia beneran naksir kamu."

"Aku nggak mau punya suami produk asing. Maunya orang Indonesia aja."

"Oh, berarti aku, dong."

Fatma mendelik pada Irfan yang justru tersenyum. Utari dan Hanania serta Delamo serentak terkekeh, ketika Fatma meninju lengan seniornya yang terlambat menghindar.

***

Sore itu, Utari dan yang lainnya diajak Hisyam mengunjungi Lake Geneva. Danau tersebut juga dikenal dengan nama Lac Léman, yang terletak di perbatasan antara Swiss dan Perancis. Lake Geneva merupakan danau seluas 582 kilometer persegi yang terbentuk dari lelehan gletser pegunungan Alpen.

Dari danau itu, pengunjung bisa menikmati pemandangan Gunung Mont Blanc dan Grand Combine yang membuat area tersebut terlihat lebih cantik serta menawan.

Gadis berjaket tebal cokelat muda, meminta Irfan untuk memotret dirinya dan Fatma. Hisyam mengamati tingkah kedua perempuan muda yang terlihat begitu senang bisa berwisata, walaupun cuma sebentar.

Kala senja kian menggelap, keempatnya duduk di area sekitar danau sambil memandangi keindahan alam. Jaka dan istrinya tidak turut serta, karena Hanania masih kelelahan. Saat itu dia sedang mengandung empat bulan, hingga harus banyak istirahat. Sudrajat masih menyelesaikan keliling unit kerja hingga tidak bisa ikut berwisata.

Senyuman yang nyaris tidak berhenti terukir di wajah Utari, menjadikan parasnya berseri-seri. Hisyam memvideokan sang nona dari samping kiri. Dia terus memandangi perempuan berparas manis yang sangat ramah dan baik hati.

"Dari tadi, Abang motret dan videoin Non terus," ledek Irfan yang mengejutkan Hisyam.

"Ehm, itu nanti jadi bukti laporanku ke Pak Heru," kilah Hisyam sembari mengalihkan arah kamera ke tengah-tengah danau.

"Yang bener?"

Hisyam melirik juniornya. "Kenapa memangnya?"

"Kukira, Abang naksir Nona."

Hisyam menggeleng. "Aku kapok ngedeketin Nona muda dari keluarga kaya."

"Tapi Non Tari beda sama Non Laura."

"Tetap sama-sama anak keluarga miliarder."

"Non Tari muslim."

"Hmm, ya. Cuma itu aja perbedaan mereka. Lainnya hampir sama. Anak bungsu. Agak manja. Keras kepala, dan cerewet."

Irfan menyunggingkan senyuman lebar. "Sepertinya Abang sudah sangat mengenal karakter Non Tari."

Hisyam menurunkan kamera digital beresolusi tinggi miliknya, dan meletakkan benda itu ke pangkuan. "Aku kenal dia dari awal kerja di PBK. Selain dapat info dari Yusuf, aku juga dapat tambahan informasi dari Aditya, Sanjaya dan Robert. Mereka memulai karier jadi pengawal di keluarga Dewawarman."

Irfan mengangguk paham. "Aku memang baru kenal Non Tari, tapi aku bisa merasakan jika dia pribadi yang low profile."

"Ya, betul. Tari juga mandiri, pekerja keras dan mau dituntun. Aku takjub, dia cuek aja kerja jadi staf di sini. Padahal di perusahaan keluarga, jabatannya asisten direktur HRD."

"Bang, aku penasaran. Kenapa dia harus kabur ke sini?"

"Ceritanya panjang, Fan. Aku dengar detailnya dari Yusuf, Sanjaya dan Aditya. Nyesek dadaku."

"Jelasinlah, Bang. Kepo, euy."

Hisyam mengamati perempuan yang sedang diperbincangkan. "Intinya begini. Dia pacaran dengan mantan kekasih saat SMA dulu. Cowok itu baru setahun pulang ke Indonesia, tadinya di Singapura beberapa tahun."

"Tari mulai curiga kalau cowoknya punya selingkuhan. Karena Kiano, nama cowoknya, beberapa kali tertangkap sedang chat atau teleponan sama cewek lain."

"Sekali waktu, Tari membuntuti Kiano ke Singapura tanpa diketahui cowoknya itu. Ternyata Kiano janjian dengan perempuan lain yang dikenal Tari sebagai kerabat jauh Kiano."

"Aku nggak jelas detailnya gimana hingga Tari mendatangi pasangan itu di unit apartemen Kiano. Dia mengamuk karena Kiano berselimgkuh. Tapi ternyata, Tari-lah selingkuhan Kiano," pungkas Hisyam.

"Maksudnya gimana, Bang?" desak Irfan.

"Setelah putus dari Tari dulu, Kiano pacaran dengan perempuan itu. Mereka bahkan sudah tunangan, ketika Kiano kembali ke Indonesia dan ketemu Tari lagi," terang Hisyam.

Irfan terperangah. "Jadi, Non cewek cadangan?"

"Hu um. Makanya Tari syok, sampai nyaris pingsan di taksi. Waktu itu dia ditemani Dahlia dan Fatma, yang langsung laporan ke Bang W."

Irfan manggut-manggut. "Aku ada dengar selentingan kabar, Bang W dan Bang Yanuar menjemput seseorang di Singapura, beberapa bulan lalu."

"Hmm, gosipnya udah nyebar ternyata. Padahal benar-benar dirahasiakan."

"Banyak mata di Singapura, Bang. Kalau kejadiannya di Amerika, mungkin hanya sedikit yang tahu."

Hisyam mengangguk mengiakan. "Begitulah. Orang kita sulit untuk menjaga rahasia."

"Ehm, Bang, apa ada tindakan dari Pak Heru ke cowoknya Non?"

"Kalau nggak salah, info dari Sanjaya, Pak Heru melarang Tari ketemu cowok itu. Semua kontak diputus. Lalu, Tari diungsikan ke Salatiga, rumah eyangnya."

"Terus, ke London?"

"Ya. Waktu ditanya Pak Heru, Tari mau ke Sydney atau London, Tari milih London buat menenangkan diri. Sama Pak Tio disarankan buat kerja jadi staf PG, ehh, dia mau. Sampai akhirnya dia berhasil dapat restu ibunya buat stay setahun ke depan."

Irfan mengamati Nona muda yang sedang melakukan swa foto bersama Fatma. "Semoga dia bisa memulihkan hatinya yang sakit. Enggak kebayang aku, malu campur nyeseknya dijadikan cadangan."

"Karena itulah, aku berusaha menghiburnya. Terutama buat membalas budi ke Pak Tio yang menganggap Tari sebagai adiknya. Selain itu, juga membalas kebaikan Pak Heru dan Mas Atalaric."

"Mereka pernah bantu Abang?"

"Yoih. Terutama waktu pemilihan wakil PG. Awalnya Rangga yang akan dikirim ke London. Tapi, aku berhasil bujukin Pak Tio, Pak Dante, Pak Baskara dan Bang Varo, supaya aku aja yang berangkat."

"Dirembukkan di tim satu PG. Pak Heru, Kang Ian dan Mas Daru, ikut ngedukung aku. Hingga akhirnya tugas Rangga dipending dulu setahun."

"Kalau Mas Atalaric, dari pertama kenal dulu, sering ikut aku dan teman-teman kongkow. Cuek aja dia kami bawa ke warung kopi biasa. Jadinya aku udah nggak canggung buat ngobrol bareng beliau," pungkas Hisyam.

"Ke Mbak Sekar, Abang dekat nggak?" tanya Irfan.

"Enggak. Kalau ketemu, paling cuma say hello. Beliau paling pendiam di keluarga Dewawarman."

Setelah matahari tenggelam di ufuk barat, kelompok pimpinan Hisyam bergerak kembali ke hotel. Sebab jarak yang tidak terlampau jauh, mobil SUV putih yang merupakan kendaraan operasional PG, bisa segera tiba di tempat tujuan.

Puluhan menit terlewati, Utari tengah berdandan ketika ponselnya berbunyi. Perempuan berhidung bangir mengecek nomor yang ternyata tidak terdaftar di kontaknya. Kemudian Utari membiarkan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya.

Akan tetapi, ponselnya terus berdering. Utari mendengkus kuat, lalu menekan tanda hijau pada layar ponsel untuk menerima panggilan.

Sapaan seorang pria dari seberang telepon menyebabkan Utari menjengit Dia terpaku menatap pantulan diri di cermin sambil memegangi ponselnya.

"Tari, apa kamu mendengarkan ucapanku?" tanya Kiano Rahardian.

"Hmm, ya," cicit Utari.

"Aku sudah di London. Apakah kita bisa bertemu?"

"Enggak bisa."

"Kenapa?"

"Malas."

"Aku jauh-jauh datang untuk menemuimu dan menjelaskan semuanya."

"Apa lagi yang perlu diterangkan? Mas sudah menipuku!"

"Aku punya alasan untuk kembali menjalin hubungan denganmu."

"Alasan apa?"

"Aku mencintaimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
annisa syifa
dihhh...alesan basiii
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
preeet lah Kiano mah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 114 - Berdiri Tegak Menantang Dunia

    114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 113 - Menyerah! Atau Semuanya Dibantai!

    113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 112 - Wirya, Lepas!

    112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 111 - Final Battle

    111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 110 - Diam, Kalian Semua!

    110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 109 - 44

    109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 108 - Bantai Para Begundal

    108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 107 - Tumbak. Ombak. Mbak

    107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken

  • Jaring Cinta Sang Bodyguard    Bab 106 - Until Jannah!

    106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status