Langit siang perlahan meredup. Udara malam kian sejuk karena angin yang berembus kencang. Hingga banyak orang memutuskan untuk berlindung di dalam rumah, ataupun mengenakan pakaian tebal karena terpaksa berada di luar bangunan.
Utari memasuki mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh sang sopir. Dia memasang sabuk pengaman, kemudian memandangi area depan mobil.
Hisyam melajukan mobil MPV putih dengan kecepatan sedang. Dia memfokuskan pandangan ke depan untuk memastikan tidak ada hewan yang melintas di jalanan.
Lokasi rumah khusus tim PBK dan PG berada di pinggir Kota London. Sudah sering para pengendara harus mengerem tiba-tiba akibat ada hewan yang menyeberang tanpa peduli dengan situasi.
Hisyam pernah nyaris menabrak anak anjing yang tengah mengejar induknya. Untungnya dia sigap mengerem hingga tidak menubruk binatang kecil yang segera menjauh.
"Bang, dapat salam dari Zaara dan Malanaya," ujar Utari seusai membaca pesan dari kedua sahabatnya di grup khusus mereka bertiga.
"Waalaikumsalam. Kangen aku sama mereka," balas Hisyam.
"Enggak kangen sama Teh Edelweiss?"
"Itu pasti. Pacar abadiku itu."
"Aku salut sama kalian. Bisa menjalin hubungan batin yang kokoh. Padahal Teteh El sudah punya suami."
"Pak Dante tahu, jika aku menyayangi istrinya seperti adikku. Bukan sayang laki-laki ke perempuan."
"Ya, karena itu Koko nggak cemburu ke Abang."
"Kadang dia cemburu juga. Tapi kucuekin aja."
"Cemburunya kayak gimana?"
"Pak Dante bakal langsung nelepon dan minta aku putuskan hubungan dengan istrinya. Kujawab, Bapak lagi kesambet? Akhirnya ketawa lagi dia."
Utari tertawa, kemudian dia cepat-cepat menghentikan gelakaknya. "Lucu itu Koko. Gayanya sok cool, tapi aslinya manja banget."
"Begitulah. Dia juga nggak peduli sekitar. Kalau lagi pengen, bakal langsung nyiumin istrinya di depan pegawai. Habis itu dia maksa Teh El ke kamar. Bikin aku senewen."
Utari terbahak dan memancing Hisyam melakukan hal serupa. Keduanya baru berhenti tertawa ketika sudah hampir sampai di tempat tujuan.
Seusai Hisyam menghentikan mobil di tempat parkir, keduanya turun dari kendaraan sambil membawa tas kain masing-masing.
Tiba-tiba Utari terpeleset akibat jalanan licin yang tergenang air. Hisyam sigap memegangi rekannya, kemudian dia membantu Utari menepi.
"Kamu melamun lagi," keluh Hisyam sambil memandangi gadis berjaket panjang abu-abu muda.
"Ehm, nggak," sanggah Utari.
"Itu bisa tisoledad, padahal genangan airnya bisa dihindari."
"Aku ...."
Utari tidak jadi melanjutkan perkataan karena namanya dipanggil seseorang yang baru turun dari mobil sedan di sisi kanan tempat parkir.
Kala pria itu dan seorang temannya mendekat, Utari spontan mengaitkan tangannya ke lengan kiri Hisyam yang sempat bingung menyaksikan tingkah sang gadis.
"Bang, itu Kiano," cicit Utari.
"Oh, ternyata itu orangnya," sahut Hisyam.
"Abang bantuin aku, ya."
"Gimana?'
"Kita berlakon sebagai pasangan kekasih. Aku akan bilang kalau Abang adalah orang yang dijodohkan Ibu denganku."
Hisyam hendak membantah, tetapi diurungkan karena Kiano dan rekannya telanjur tiba di depannya. Hisyam spontan menegakkan badan sambil membusungkan dada. Gaya andalannya jika hendak mengintimidasi orang.
Kiano memandangi kedua orang di hadapannya dengan saksama. Dia mengamati lelaki berkulit kecokelatan yang sedang digandeng Utari. Rasa cemburunya mencuat dan menyebabkan Kiano tidak menyukai pria berjaket kulit hitam tersebut.
"Aku mencarimu ke kantor, Tari. Tapi kamunya nggak ada," ungkap Kiano sambil memandangi perempuan yang masih disayanginya dengan sorot mata penuh kerinduan.
"Buat apa mencariku?" tanya Utari.
"Kita harus bicara, berdua saja."
Utari menggeleng. "Seperti yang kukatakan tempo hari lewat telepon, tidak ada yang harus kita bicarakan lagi."
"Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Avariella."
"Aku tidak peduli."
"Aku juga sudah menjelaskan semuanya pada Kakek dan keluargaku. Mereka ingin bertemu denganmu dan tentu saja keluargamu."
"Ngapain harus ketemu dengan kami?"
"Aku sudah meminta mereka untuk melamarkanmu."
Utari terkesiap sesaat, kemudian dia menoleh ke kanan dan beradu pandang dengan Hisyam. "Sorry, tapi aku sudah menerima perjodohan dengan Abang. Dan kami akan segera menikah."
Kiano membulatkan matanya. "Bukannya dulu kamu menolak dijodohkan?"
"Itu karena aku belum tahu jika Abang adalah orang yang baik, setia dan sangat bertanggung jawab. Aku pindah ke sini sebagai upaya untuk lebih dekat dengannya. Dan, ternyata aku benar-benar menyayanginya."
Hisyam menyunggingkan senyuman. Dia takjub dengan drama yang dilakukan dengan baik oleh Utari. Hisyam membalas perkataan gadis tersebut dengan melepaskan pegangan, lalu menggeser tangannya untuk mendekap pundak Utari dari samping.
Sang gadis menengadah karena Hisyam lebih tinggi darinya. Mereka sama-sama tersenyum, lalu Utari memindahkan tangannya untuk melingkari pinggang Hisyam.
"Maaf, tapi kami harus buru-buru berbelanja. Permisi," tukas Hisyam.
"Aku belum selesai bicara dengan Tari!" desis Kiano.
"Dia tadi sudah menegaskan tentang hubungan kami. Jadi, lebih baik kamu menyingkir dan pergi jauh dari sini. Bila tidak, jangan salahkan jika aku melakukan tindakan preventif untuk melindungi calon istriku."
"Jangan sombong dulu, Bung. Aku yakin jika kamu hanya pelarian bagi Tari."
"Enggak masalah. Sebentar lagi kami akan menikah dan dia akan jadi milikku. Tidak akan ada kesempatan buatmu untuk menggapainya lagi, karena aku akan benar-benar menjaga milikku dari orang licik sepertimu."
"Aku tidak licik!"
"Begitu? Berarti aku keliru karena ternyata kamu bukan licik, tetapi nggak tahu diri. Sudah jelas-jelas salah, menjadikan Tari ban serep, padahal kamu juga membagi hati ke perempuan lain. Kemaruk!"
Kiano maju dan hendak meninju Hisyam, tetapi sang pengawal lebih dulu bergerak menendangi lawannya. Kiano tidak sempat menjerit ketika kepalanya dtendangi Hisyam dari samping, dengan kencang.
Dunia Kiano mendadak berkunang-kunang. Dia limbung dan nyaris jatuh, sebelum Dandi cepat-cepat menangkapnya. Hisyam mengarahkan Utari kembali ke mobil. Keduanya memasuki kendaraan, lalu Hisyam segera mengemudikan mobilnya menjauhi area tersebut.
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar