Share

Bab 5

Lilian yang terus memandangi gadis kacamata itu kemudian dia pergi meninggalkannya karena bosan. Gadis berkacamata itu kemudian mengikutinya dan akhirnya mereka berdua bekerjasama untuk mencari dimana Eri bersembunyi. Sebelum dirinya pindah ke sekolah ini, Eri memang selalu menghilang di tengah-tengah jam sekolah. Orang-orang yang mendiskriminasinya tidak pernah merasa senang akan keberadaannya semenjak Eri di nyatakan mengalami depresi. Lilian yang mengetahui fakta itu dengan wajah terkejut mendadak diam. Gadis berkacamata itu bernama Diana. Dia sudah bisa menebak reaksi Lilian begitu mengetahui kebenarannya. Namun, semua itu tidak mengubah apa pun. Lilian tetap ingin berteman dengan Eri walau dia sudah mendengar kabar tidak menyenangkan tentangnya. Dengan senyuman cerah di wajahnya membuat Diana merasa terharu dan kemudian dia meminta maaf atas semua perbuatannya.

“Kau tidak perlu meminta maaf kepadaku. Minta maaf lah kepada Eri. Dia sangat menderita bukan diriku,” ucap Lilian kepada Diana dengan lemah lembut.

“Tapi, aku tidak punya muka untuk bertemu dengannya apalagi minta maaf.”

“Tidak. Kau punya kesempatan. Karena itu ayo kita cari anak itu. dan kemudian memarahinya karena membuatku harus menghabiskan waktu untuk mencarinya.”

“Iya.”

“Oh iya, tadi kau bilang aku tidak boleh pergi ke kelas, apa maksudnya itu?”

“Sebenarnya... mereka ingin balas dendam kepadamu karena sikapmu tadi. Mereka memasang beberapa ember berisi air kotot untuk mempermalukanmu. Rencanya sudah ku ketahui karena itulah lebih baik kau tetap di luar kelas.”

“Oh, ide seperti itu bukankah terlalu berbahaya? Bagaimana jika yang datang adalah orang lain. misalnya guru. Tentunya itu akan menjadi hadiah yang bagus bukan?”

“Kalau soal itu, aku tidak peduli. Karena mereka lah yang akan kena marahnya.”

“Kau benar Diana.”

“Oh iya Lilian.”

“Iya? Ada apa?”

“Sebenarnya aku tidak terlalu mengetahui tentang Eri. Anak itu selalu menutup diri bahkan dari kelas 1.”

“Hmm.... sulit juga ya. Bagaimana caranya berteman denganya? Ah ini membuatku pusing saja.”

“Dan lagi, apa yang membuatmu ingin berteman denganya?”

“Tentu saja karena anak itu menarik.”

“Apa?”

“Kau mungkin tidak akan menyadarinya, tapi aku sudah tau kalau dia pasti anak yang baik.”

“Begitu ya.”

Mereka berdua terus mencari Eri. Di suatu tempat tepatnya di sebuah ruangan musik. Di sana Eri sedang duduk di depan piano tanpa memainkannya. Dia hanya terdiam cukup lama di sana. Waktu terus berjalan hingga akhirnya sekolah sudah selesai dan semua orang bergegas untuk pulang. Eri kemudian beranjak dari sana dan pergi menuju ke kelas. Ketika dirinya memasuki kelas, semua orang sudah tidak ada di sana. Hanya tinggal dirinya. Eri kemudian mengambil tasnya dan pergi.

“Tunggu, jam pulang?” ucap Lilian

“Iya benar,” sahut Diana

“Ayo cepat kembali dan ambil tas.”

“Oke.”

Mereka berdua kemudian pergi ke kelas dan megambil tas milik mereka. Di sana, Lilian menyadari bahwa tas milik Eri sudah tidak ada di sana. Dengan kata lain dia sudah pulang. Melihat hal itu, Lilian pun menghembuskan nafas penyesalan karena selama beberapa jam dia mencarinya dan ternyata orang yang di carinya sudah pulang. Kali ini di dalam bus. Eri yang menaiki bus tersebut kemudian duduk di kursi tengah sambil menyender ke jendela bus. Tatapannya yang penuh dengan penderitaan membuatnya semakin suram. Tidak lama kemudian, dia sudah sampai di halte dan berjalan menuju ke rumahnya. Cuaca yang terlihat cerah tapi isi hatinya kelabu membuat Eri terus terdiam membisu.

Malam harinya di kediaman Eri. Dia memasuki kamar mandi dan hendak mandi. Keesokan harinya di sekolah di hebohkan dengan rumor bahwa Eri sudah sering bolos dan dia pantas mendapatkan diskors. Berita itu terus menyebar dari mulut ke mulut. Semua anak sudah mendengarnya tidak terkecuali dengan Lilian dan juga Diana. Mereka berdua tidak percaya dengan hal itu dan kemudian mereka berdua mendatangi guru untuk meminta konfirmasi atas semua berita yang tersebar hari ini. Guru pun mengatakan yang sebenarnya. Dan mereka berdua akhirnya bisa menerima kenyataanya walau masih menunjukan wajah terkejut.

“Apa? kenapa? Tapi dia mengalami kesakitan,” ucap Lilian

“Itu tidak akan semudah itu di maklumi. Semua murid harus mendapatkan hak yang sama dan tidak pengecualian.”

“Apa? Anda tidak mengerti apa yang sedang dia rasakan. Kenapa semudah itu?”

“Memangnya kau bisa merasakan penderitaannya?”

“Eh? Itu...”

“Sudahlah, lagi pula itu kesalahannya. Kenapa tidak bercerita kepada guru konseling dan malah tidak pernah datang ketika di panggil oleh beliau.”

“Tidak mungkin.”

“Benar yang di katakan guru. Dia memang tidak pernah mendengarkan siapa pun dan terus seperti itu. karenanya banyak yang tidak mengetahui kondisinya. Sebelum seseorang mengatakan kemungkinan,” sahut Diana

“Kenapa? Kenapa tidak ada yang membela korban? Kalian semua ternyata sama saja,” ucap Lilian sambil pergi meninggalkan ruang guru.

Diana juga kemudian menyusul Lilian. Dan dia langsung menemukannya di atap sekolah sambil menatap langit seorang diri. Diana kemudian mendekatinya dan mencoba untuk berbicara. Begitu Diana datang menghampirinya, Lilian masih terdiam sambil melihat langit.

“Aku mengerti dengan rasa empatimu yang begitu besar. Tapi, kau juga harus melihatnya dari sudut pandang yang berbeda,” ucap Diana

“Aku sudah tahu.”

“Apa?”

“Aku tahu aku salah. Terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. terlebih lagi aku hanya anak baru yang tidak tahu banyak mengenai dia. Sekarang kau tidak perlu menceramahiku aku sudah merenungkannya.”

“Senang mendengarnya.”

“Oh iya, apa kau tahu di mana rumahnya? Aku ingin tahu.”

“Ah itu, aku tahu. Bagaimana jika sehabis pulang sekolah datang menemuinya?”

“Ide bagus. Sekarang dia tidak masuk sekolah ya.”

“Aku juga harus minta maaf kepadanya.”

Beberapa jam kemudian, sepulang sekolah mereka berdua pergi ke rumahnya Eri. Mereka berdua sekarang sudah sampai di depan pintu rumahnya Eri. Ketika Diana menekan bel rumahnya dan masih belum ada jawaban. Meski mencoba beberapa kali lagi juga hasilnya sama saja. Saat itulah tetangganya yang merupakan seorang pak tua melihat mereka berdua yang frustasi karena tidak kunjung ada jawaban meski sudah beberapa kali menekan bel.

“Dari tadi ku rasa anak itu ada di dalam rumah. Jika tidak, biasanya sepatunya tidak akan ada di depan pintu,” ucap pak tua itu kepada mereka berdua.

“Maaf pak, dia juga tidak menjawab panggilan telepon dari kami.”

Karena terlanjur curiga dengan apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya pak tua itu mendobrak pintunya dan begitu mereka masuk ke dalam, ruangan yang terlihat gelap. Diana langsung  menyalakan lampunya dan mereka memanggil Eri tapi tidak kunjung ada jawaban. Sampai akhirnya mereka mendengar suara shower di kamar mandi. Mereka berdua langsung ke tempat asal suara itu dan ternyata di sana pemandangan yang mengerikan nampak begitu jelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status