Dinda menelan ludah, rasa gugup dan takut menyeruak. Dia tahu maksud Pak Bram, dan meskipun perasaan bersalah terus menghantui, dia merasa tak punya pilihan lain. Kehidupannya sudah terperangkap dalam permainan yang dikuasai oleh mertuanya. Tanpa banyak kata, dia mengangguk, mengeluarkan ponselnya, dan mulai mengetik pesan kepada suaminya. "Sayang, aku harus lembur malam ini di rumah sakit. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Pulanglah duluan, jangan tunggu aku ya. I love you."Setelah pesan itu terkirim, Dinda menatap layar ponselnya dengan perasaan hampa. Dia tahu betul bahwa ini bukanlah pertama kali dia berbohong kepada Leo, dan itu membuat dadanya semakin sesak. Namun, dia tetap menuruti perintah Pak Bram, yang kini tersenyum puas. "Bagus," ujar Pak Bram, lalu dia mendekati Dinda, membelai rambutnya dengan lembut. "Kita bisa menikmati waktu kita malam ini tanpa gangguan," imbuhnya.Dinda hanya bisa menunduk, menahan perasaan campur aduk yang menguasai dirinya. Dia meras
Dalam situasi seperti itu, Dinda tidak bisa berbuat banyak lagi selain hanya pasrah dengan apa yang dikatakan oleh mertuanya itu. Dinda yang sedang merasakan sakit di area kewanitaannya, dia sangat berharap pak Bram tidak melakukannya, namun sepertinya hal itu sangat mustahil, karena pak Bram tampak begitu bernafsu menjamah tubuh Dinda. "Pak... Jangan sekarang yah, aku masih sakit, Pak... Jika bapak mau, aku bantuin aja yah," ucap Dinda dengan lirih, nada bicaranya terdengar memohon. "Apa kamu beneran sakit?" Pak Bram menatap Dinda dengan tajam, sementara nafsunya terus menggebu-gebu. "Iya, Pak. Aku serius, semalam aja aku gak melakukannya dengan mas Leo, aku masih merasa sakit di area itu," jawab Dinda meyakinkan mertuanya itu.Pak Bram tersenyum kecut, tapi dia merasa kasihan juga melihat Dinda yang sepertinya memang sedang tidak baik-baik saja, pak Bram tahu itu akibat permainannya kemarin yang begitu brutal. "Baiklah, Dinda. Tapi kamu harus memuaskanku dengan cara lain, aku in
Setelah bersiap, Dinda dan Leo keluar dari kamar mereka. Aroma sarapan yang menggugah selera sudah tercium dari arah dapur. Ternyata, Bu Mela, telah menyiapkan makanan dan menyambut mereka dengan senyum hangat seperti biasanya. "Selamat pagi, kita sarapan dulu yuk," sapa Bu Mela dengan ramah, menatap keduanya. Wajahnya terlihat tenang, seolah tak ada yang berubah.Dinda tersenyum, merasa nyaman melihat ibunya. Dia tidak menyadari bahwa di balik senyum lembut itu, ada rahasia besar yang disembunyikan Bu Mela. "Pagi, Bu. Terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawab Dinda sambil duduk di meja makan bersama Leo.Di sisi lain Leo berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap kali dia melihat Bu Mela, ada kilasan rasa bersalah yang muncul, tetapi dia pandai menyembunyikannya. Di hadapan Dinda, dia tampak hormat dan menjaga jarak, memperlakukan Bu Mela layaknya seorang menantu yang baik.Mereka pun mulai makan bersama. Suasana sarapan pagi itu tampak damai, meski di dalam hati mereka masing
Malam itu, Dinda duduk di tepi ranjang, matanya lelah menatap ke luar jendela, memandangi langit yang tampak kelam. Leo, suaminya, berjalan mendekat, senyumnya penuh cinta dan kelembutan. Mereka baru saja menikah beberapa bulan yang lalu, dan Leo masih terus memuja Dinda, menganggapnya sebagai pusat dari dunianya. "Sayang, kau tampak kelelahan. Mungkin sebaiknya kita istirahat aja malam ini," ucap Leo lembut sambil merangkul bahunya.Dinda tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa berat. Ada rasa bersalah yang terus menghantui setiap kali Leo berada di dekatnya. Betapa Leo tak pernah tahu, bahwa di balik senyum itu, Dinda menyembunyikan rahasia yang begitu kelam. Dia telah berselingkuh, bukan dengan pria asing, tetapi dengan pak Bram, mertuanya sendiri."Iya, Mas. Hari ini rasanya capek banget," ucap Dinda pelan.Kejadian itu bukan sesuatu yang diinginkannya. Dinda terjebak dalam situasi yang membuatnya merasa tak berdaya. Mertuanya, pria yang seharusnya dihormatinya, memaksanya dalam
Dengan penuh nafsu, pak Bram terus menghentakkan kejantanannya menggenjot goa Dinda tanpa ampun. Dia melakukannya dengan begitu buas layaknya singa yang sedang lapar. Dinda terlihat kerepotan mengimbangi permainan mertuanya yang ternyata begitu kuat dalam urusan bercinta. "Ugh .. ugh... Hmm jangan keras-keras, Pak... Sakit..." Dinda terus saja meracau, dia memohon agar mertuanya itu melakukannya dengan pelan.Akan tetapi, semua itu hanya sia-sia dilakukan Dinda, nyatanya pak Bram tidak memperdulikan perkataannya, dan bahkan semakin agresif dan brutal menggenjot liang kewanitaan Dinda dan meremas-remas buah dadanya kuat-kuat. Dinda seolah tidak lagi merasakan kenikmatan, yang dirasakannya saat itu hanyalah kesakitan di area miliknya dan juga di area buah dadanya. "Ayo Sayang... Kita harus mengeluarkannya bersama," ucap pak Bram dengan penuh nafsu.Nafasnya memburu. Sementara kedua tangannya terus meremas-remas buah dada menantunya yang ukurnya cukup besar itu. "Ahhh.. jangan keluark
Pak Bram mendongakkan kepalanya merasakan kenikmatan ketika kejantanannya berhasil menerobos masuk liang kewanitaan menantunya itu, dengan hentakan yang keras kejantanan itu langsung masuk dengan cara kasar, perlakuan itu juga yang membuat Dinda marasa kesakitan. "Ahh... Pak." Dinda memekik, dia menggigit bibir bawahnya. Sedangkan pak Bram menatapnya penuh nafsu, senyum kepuasan tersirat di bibirnya. "Kamu sungguh istimewa, Dinda. Goa milikmu begitu nikmat menjepit," ucap pak Bram memuji.Setalah sempat terdiam beberapa saat, pak Bram kemudian mencondongkan tubuhnya memeluk tubuh perempuan cantik itu dengan penuh nafsu, dan di saat itu juga pak Bram langsung menggerakkan pinggulnya naik-turun menggenjot goa basah menantunya yang montok itu. "Owhh... Ini sungguh nikmat," ucap pak Bram kemudian menciumi leher Dinda sambil terus menggenjotnya.Pada saat itu Dinda hanya bisa menggeliat, mendesah-desah dan sesekali memekik jeritan karena merasakan antara nikmat dan rasa sakit di area