Sesampainya di kantor, Leo segera melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Pikirannya masih dipenuhi oleh kehangatan pagi yang diberikan oleh Dinda, namun dia segera fokus pada pekerjaannya. Tak lama kemudian, pintu kantornya diketuk, dan Pak Bram, ayahnya, masuk dengan senyuman di wajahnya.
"Selamat pagi, Leo?" sapa Pak Bram sambil duduk di kursi di depan meja kerja Leo. Leo tersenyum dan berdiri untuk menyambut ayahnya,"Selamat pagi, Pah. Kabar baik, seperti biasa. Apa yang membawa Bapak ke sini pagi-pagi begini?" Pak Bram tersenyum lebih lebar. "Papah ingin bicara sedikit tentang pernikahanmu dengan Dinda. Tinggal menghitung hari saja, kan? Papah hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar," jawab pak Bram tersenyum. Leo mengangguk,"Iya, Pak. Segala persiapan sudah hampir selesai. Tinggal detail kecil yang perlu dirapikan" Pak Bram mengangguk puas, "Bagus, bagus. Papah senang mendengarnya. Tapi, ada satu hal lagi yang ingin papah bahas. Ini tentang pekerjaan Dinda" Leo menatap ayahnya dengan perhatian,"Oh? Ada apa, Pah?" Pak Bram bersandar di kursinya, ekspresinya serius tapi penuh perhatian. "Sebagai ayahmu dan juga seorang dokter, papah tahu betapa pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dinda bekerja di rumah sakit yang cukup jauh dari tempat tinggal kalian nanti, kan?" Pak Bram menatap serius. Leo mengangguk, mulai paham ke mana arah pembicaraan ayahnya. "Jadi, papah berpikir, kenapa tidak kamu minta Dinda untuk bekerja di rumah sakit tempat papah bekerja? Papah bisa memberinya posisi yang sesuai dengan keahliannya. Selain itu, dia juga bisa lebih dekat dengan rumah. Tidak perlu lagi bepergian terlalu jauh setiap hari. Lebih aman dan nyaman untuknya," ujar pak Bram. Leo terdiam sejenak, merenungkan saran ayahnya. Dia tahu betapa Dinda mencintai pekerjaannya sebagai dokter, dan bekerja di rumah sakit yang lebih dekat tentu akan menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka berdua. Selain itu, dia juga mempercayai kemampuan ayahnya dalam mengelola rumah sakit, sehingga Dinda pasti akan mendapatkan lingkungan kerja yang baik. "Aku pikir itu ide yang bagus, Pah," jawab Leo akhirnya. "Dengan begitu, Dinda tidak perlu kerja terlalu jauh, dan aku juga merasa lebih tenang jika dia bekerja di bawah pengawasan Bapak," imbuhnya. Pak Bram tersenyum bangga,"Bagus, Leo. Papah senang kamu setuju. Papah akan berbicara dengan Dinda tentang hal ini. Dan papah yakin dia juga akan menyambut baik idenya" Leo mengangguk,"Aku juga akan bicara dengannya nanti. Terima kasih, Pah" Pak Bram berdiri dan menepuk bahu Leo dengan penuh kebanggaan. "Kamu adalah anak yang baik, Leo. Aku senang melihat kamu mengambil keputusan yang bijaksana. Segera setelah pernikahan, kita akan merencanakan langkah selanjutnya," ucap pak Bram tersenyum lebar. Leo tersenyum, merasa lebih tenang dan yakin dengan keputusan yang baru saja dibuat. Setelah Pak Bram keluar dari kantornya, Leo segera meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Dinda. Dia merasa sependapat dengan saran ayahnya dan ingin Dinda mendiskusikan hal ini secara langsung dengan Pak Bram. Pesannya singkat, namun penuh perhatian: [Sayang, setelah istirahat siang nanti, bisakah kamu mampir ke rumah sakit tempat Bapak bertugas? Bapak ingin bicara sesuatu yang penting denganmu. Aku juga setuju dengan apa yang ingin dia bicarakan. Nanti aku jelaskan lebih lanjut] Beberapa saat kemudian, ponsel Leo berbunyi, menunjukkan balasan dari Dinda: [Tentu, Sayang. Aku akan mampir setelah jam makan siang. Aku juga penasaran apa yang ingin Bapak bicarakan. Sampai nanti!] Leo tersenyum lega setelah membaca pesan tersebut. Dia tahu bahwa Dinda selalu terbuka untuk diskusi, dan dia yakin pertemuan dengan Pak Bram akan berjalan lancar. *** Siang hari tiba, dan setelah menyelesaikan jam makan siangnya, Dinda bergegas menuju rumah sakit tempat Pak Bram bertugas. Begitu dia sampai di sana, dia disambut oleh seorang perawat yang segera mengarahkan Dinda ke kantor Pak Bram. Pak Bram berdiri dari kursinya dengan senyum ramah ketika Dinda masuk ke ruangannya. "Selamat siang, Dinda. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang," sapa Pak Bram dengan hangat. "Selamat siang, Pak. Tidak apa-apa, saya senang bisa ke sini," balas Dinda sambil tersenyum. Setelah beberapa menit berbasa-basi, Pak Bram akhirnya masuk ke topik utama yang ingin dia sampaikan,“Dinda, bapak berbicara dengan Leo tadi pagi tentang pekerjaanmu di rumah sakit. Kamu tahu, Leo sama bapak sangat menghargai dedikasimu sebagai dokter. Namun, bapak khawatir jarak rumah sakit tempat kamu bekerja sekarang terlalu jauh dari rumah yang nanti akan kamu tinggali bersama Leo" Dinda mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Nah, karena itu, bapak ingin menawarkan posisi untukmu di rumah sakit ini. Bapak yakin dengan kemampuanmu, kamu akan cocok di sini, dan bapak bisa memastikan kamu mendapatkan lingkungan kerja yang mendukung. Selain itu, jaraknya jauh lebih dekat dengan rumah kalian nanti, sehingga kamu tidak perlu terlalu capek dalam perjalanan," terang pak Bram dengan jelas. Dinda terkejut dengan tawaran ini, namun senyum Pak Bram yang hangat membuatnya merasa tenang. "Terima kasih, Pak. Saya sangat tersanjung dengan tawaran ini. Saya akan mempertimbangkannya dengan serius. Memang, selama ini saya merasa perjalanan cukup melelahkan, terutama jika harus bekerja dalam shift panjang," ucap Dinda, matanya berbinar. Pak Bram mengangguk, senang melihat reaksi positif Dinda,"Bapak tahu ini keputusan besar, Dinda, jadi tidak perlu terburu-buru. Pikirkan baik-baik, dan bicarakan juga dengan Leo. Kami ingin yang terbaik untukmu dan untuk keluarga kalian nanti" Dinda tersenyum, merasa lega bahwa Pak Bram begitu pengertian dan mendukung,“Saya akan membicarakannya dengan Leo, Pak. Saya juga setuju bahwa bekerja lebih dekat dengan rumah akan sangat membantu, terutama setelah kami menikah nanti" Pak Bram tersenyum puas,"Itulah yang aku harapkan. Jika kamu setuju, kita bisa mengatur transisi secepat mungkin, dan aku akan memastikan semuanya berjalan lancar" Dinda mengangguk, merasa beruntung memiliki calon mertua yang begitu perhatian. Dengan keyakinan yang baru, Dinda merasa siap untuk menjalani babak baru dalam hidupnya bersama Leo. Tetapi, setelah sempat merasakan kesenangan, seketika pak Bram membawa aura wibawa yang membuat Dinda merasa tegang. "Dinda," ujar Pak Bram dengan suara berat. "Bapak sudah mempertimbangkan hubunganmu dengan Leo. Bapak tahu Leo mencintaimu, dan bapak tidak menentang pernikahan kalian. Namun, ada satu syarat yang harus kau penuhi jika benar-benar ingin menjadi istri anakku," ujar pak Bram dengan serius dan tatapan mata yang tajam. Dinda mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya,"Apa pun syaratnya, Pak. Saya akan melakukannya" Pak Bram tersenyum tipis, tetapi senyuman itu terasa dingin di mata Dinda,"Syaratnya sederhana. Setelah menikah dengan Leo, kau juga harus melayani aku!" Jantung Dinda berhenti berdetak sejenak, otaknya berputar untuk mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan. "M-maksud, Bapak?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku ingin kau melayaniku," ulang Pak Bram dengan tegas, pandangan matanya tajam menembus ke dalam mata Dinda. "Setelah kamu menikah dengan Leo, kamu harus menjadi milikku juga. Kalau kamu menolak, bapak akan memastikan pernikahan ini tidak akan pernah terjadi," tambahnya menekan. "Tapi, Pak." Dinda terlihat ketakutan melihat calon mertuanya yang terlihat sangat bernafsu. Pak Bram melepas jas dokternya yang berwarna putih, dia tersenyum mengapa Dinda penuh nafsu. *****Leo dengan penuh cinta memeluk tubuh Dinda yang kini telah sah menjadi istrinya. Kali ini Dinda pun pasrah dengan apa yang dilakukan Leo. Ketika Leo mendaratkan bibirnya di bibir Dinda, di situ Dinda langsung merespon dengan penuh perasaan. Keduanya saling menyesap seakan sama-sama ingin melampiaskan nafsu birahinya yang sudah lama menunggu momen malam pertama pernikahan mereka."Mmm... Ahh...." Dinda mulai menggeliat ketika Leo mulai mengecup lehernya dengan buas. Leo tampak begitu bernafsu karena malam itu Dinda benar-benar cantik dengan balutan gaun pengantin. "Aku ingin kita menikmatinya bersama, Sayang," bisik Leo. Nafasnya memburu, kedua tangannya perlahan-lahan melepaskan gaun yang dikenakan oleh istrinya.Saat itu Dinda langsung paham, dia mengerti keinginan suaminya, sehingga Dinda juga mengambil posisi untuk lebih mudah melepaskan gaun pengantin yang dipakainya."Sabar, Mas... Jangan buru-buru,' ucap Dinda, suaranya terdengar lembut dan sangat menggoda. "Aku sudah lama me
Hari itu, Leo berusaha mengalihkan pikirannya dengan tenggelam dalam berbagai urusan pernikahannya dengan Dinda. Dia sibuk menghubungi vendor dekorasi, mencocokkan jadwal dengan katering, hingga memastikan semua persiapan berjalan lancar. Meskipun pikirannya masih terus dihantui oleh sikap Bu Mela, Leo tahu bahwa pernikahannya dengan Dinda harus menjadi prioritas utama.Setelah berjam-jam sibuk dengan persiapan, Leo merasa sudah waktunya untuk berbicara dengan Dinda. Dia ingin memastikan semua rencana berjalan cepat dan mulus, tapi di balik itu, ada keinginan lain yang mendesak di hatinya: mempercepat pernikahan agar dia bisa segera mengakhiri semua tekanan yang dia rasakan dari Bu Mela.Dia mengambil ponselnya dan menelepon Dinda. Suara lembut kekasihnya terdengar dari seberang telepon. "Halo, Mas. Gimana, semuanya lancar?" tanya Dinda dengan nada riang. "Iya, lancar kok. Aku baru selesai ngurus beberapa hal. Sayang bisa datang ke rumah nggak? Ada yang pengen aku omongin langsung
Leo duduk di ruang tamu, merasa gelisah. Malam itu terasa begitu tenang, namun ada ketegangan yang tak bisa dia abaikan. Dinda, kekasihnya, sudah tertidur di kamar, sementara Bu Mela terus mendekatinya dengan sikap yang membuat Leo merasa tidak nyaman. "Leo, kamu pasti capek, ya?" tanya Bu Mela sambil duduk lebih dekat dari biasanya. Tatapan matanya begitu intens, seakan-akan dia mencari sesuatu dari Leo yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya."Tidak, Bu. Aku baik-baik saja kok, hanya sedikit masih mengantuk aja," jawab Leo tersenyum kaku.Namun, semakin lama, Bu Mela semakin berani. Tangan halusnya mulai menyentuh lengan Leo, dan meskipun terlihat santai, Leo tahu ada maksud tersembunyi di balik sikapnya. "Bu, jangan seperti itu. Ini sudah pagi, dan aku tidak ingin Dinda terbangun kemudian memergoki kita," ujar Leo mencoba mencari alasan untuk menjauh. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.Tapi, Bu Mela tidak menyerah begitu saja. Dia mendekat, lebih dekat lagi, hingga
Leo terus memainkan lidahnya di area mahkota Dinda yang semakin basah. Sedangkan Dinda terus saja mendesah seolah sangat menikmati apa yang dilakukan oleh calon suaminya itu. Leo yang juga sudah tidak kuat lagi menahan gejolak hasrat birahinya yang semakin memuncak, kemudian dia menyudahi permainan itu. Dia tersenyum menatap Dinda, keduanya saling tatap dengan penuh perasaan. Tangan Leo memegang miliknya yang membuat Dinda sedikit kaget melihat itu. "Mas, jangan ngelakuin yang lebih," ucap Dinda pelan dan seolah memohon. "Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak akan memasukannya kok, kan kita sudah janji. Aku hanya ingin menggesek-gesekkan aja biar kita sama-sama mendapatkan kenikmatan," balas Leo diakhiri senyuman. Mendengar itu, Dinda mengangguk lemah, meski ada rasa ketakutan jika sampai Leo melakukannya sebelum pernikahan. Dinda tidak mau merusak momen saat nanti malam pertama. Namun di satu sisi dia yakin jika Leo pasti memegang ucapnya. "Kita nikmati bareng-bareng yah, Saya
Mendengar perkataan Leo, sontak Dinda membuka matanya lebar-lebar. "Ihh, Sayang. Kenapa sih bisa gitu?" Dinda terlihat keheranan. "Ya nggak tau, Sayang. Mungkin udah gak sabar masuk ke sarangnya," jawab Leo sedikit bercanda. "Jangan lah, Mas. Kita kan udah sepakat untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Kamu tahan aja yah," ucap Dinda yang tidak mau melanggar komitmennya. "Aku tahu itu, Sayang. Tapi gimana dong ini? Sumpah gak kuat banget, Sayang." Leo mengusap-usap bagian celananya yang menyembul. Saat itu Dinda terdiam memperhatikan calon suaminya yang memang tampak sangat bernafsu. Walaupun sebenarnya Dinda juga ingin cepat-cepat merasakan benda keras milik suaminya, tetapi dia tidak mau itu terjadi sebelum pernikahan. "Mas, aku tahu kamu nggak kuat, aku bantuin aja yah," ucap Dinda yang akhirnya menawarkan diri. Leo tersenyum meski sebenarnya dia ingin melakukan lebih, namun dia juga sadar dengan perjanjiannya dengan Dinda. Yang akhirnya Leo mengangguk, karena biar
"Sayang, kamu yakin kita akan tidur bareng di sini?" tanya Leo dengan tatapan mata yang penuh cinta. "Iya, Mas. Kan kita cuma tidur, kita jangan melakukan sesuatu yang lebih," jawab Dinda mencoba untuk menahan Leo agar tidak melakukannya sebelum sah menjadi pasangan suami-isteri. "Iya juga sih, tapi kalo bukan itu boleh dong, Sayang, hehe." Leo menggodanya, dia mencubit lembut hidung calon istrinya itu. Dinda tertawa kecil mendengar lelucon itu, tetapi dalam hatinya Dinda tahu jika Leo sangat mencintainya, dan begitu juga dengan Dinda sendiri yang juga sangat mencintai Leo. Akan tetapi, keduanya sudah berkomitmen untuk tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah. Leo tersenyum sambil memandangi kamar Dinda yang memang terlihat nyaman dan indah. "Kamar ini benar-benar indah, Sayang. Wanginya juga bikin betah. Rasanya aku nggak sabar ingin tinggal selamanya di sini bareng kamu," ucap Leo sambil menggenggam tangan Dinda. Mendengar itu, Dinda tersenyum mendengar pujian Leo,