Leo berbaring di atas ranjang, pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk. Bayangan lekuk tubuh Bu Mela, ibu kekasihnya, terus menghantui benaknya. Sejak pertama kali menginap di rumah Dinda, kekasihnya, Leo selalu berusaha untuk menjaga pikirannya tetap bersih. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya Bu Mela bergerak, sesuatu yang membuat Leo tidak bisa menyingkirkan bayangan itu dari kepalanya.
Dia mencoba memejamkan mata, berusaha untuk fokus pada hal lain, tapi hasratnya semakin sulit untuk ditahan. Leo tahu, dia tidak bisa menghampiri Dinda, karena dia menghormati keputusan kekasihnya untuk menjaga diri sampai pernikahan. Kesadaran itu membuat Leo merasa terjebak di antara keinginannya dan rasa hormatnya. Setelah beberapa saat bergumul dengan pikirannya sendiri, Leo memutuskan untuk menuntaskan gejolak yang sudah tidak bisa ditahannya. Dia keluar dari kamar dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang melihatnya, dan segera masuk ke kamar mandi. Di sana, dalam kesunyian malam, Leo melepaskan segala hasrat yang telah menumpuk dalam dirinya. Dia begitu tenggelam dalam apa yang dilakukannya sehingga tidak menyadari bahwa Bu Mela berdiri di luar, mengintip dari celah pintu kamar mandi yang tidak tertutup rapat. Mata Bu Mela terpaku pada Leo, dan sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya. Bu Mela terdiam, hatinya berdebar melihat apa yang dilakukan Leo di dalam kamar mandi. Ada sesuatu dalam tatapan Bu Mela yang tidak bisa dijelaskan, seperti campuran antara rasa bersalah dan keinginan yang terpendam. "Benar-benar panjang punya dia," gumam Bu Mela, matanya menatap penuh kagum. Setelah beberapa saat, dia perlahan berbalik dan kembali ke kamarnya, meninggalkan Leo yang tidak sadar bahwa dirinya sedang diawasi. Bu Mela duduk di tepi ranjang kamarnya, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Bayangan batang kejantanan Leo yang dilihatnya tadi di kamar mandi terus terbayang di benaknya. Sebuah perasaan senang dan gairah yang selama ini jarang ia rasakan menyelimuti pikirannya. Tidak hanya itu, pikiran tentang pernikahan Dinda dengan Leo kini terasa lebih menggoda. Sudah beberapa waktu Bu Mela memendam rasa ketertarikan kepada Leo. Meskipun itu adalah calon menantunya, rasa itu tak bisa ia hindari. Bu Mela tahu bahwa Leo menghormati keputusannya dan persetujuannya untuk menikahi Dinda tanpa terlalu banyak bertanya. Namun, di balik semua itu, ada kesepakatan yang tersirat di antara mereka, sebuah kesepakatan yang hanya mereka berdua pahami. Bu Mela telah memastikan bahwa Leo, meskipun terikat dengan Dinda, akan tetap menyediakan jatah malam untuk dirinya. Di dalam kamarnya, Bu Mela merasa tidak sabar menunggu hari pernikahan Dinda dan Leo tiba. Pikiran tentang bagaimana dia akan memiliki akses tanpa batas ke Leo membuatnya semakin bersemangat. Dia membayangkan bagaimana keintimannya dengan Leo akan menjadi rahasia di antara mereka berdua, sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Dinda. Senyum di wajah Bu Mela semakin lebar. Dia tahu, setelah pernikahan itu, dia akan mendapatkan lebih dari sekadar menantu; dia akan mendapatkan kenikmatan yang sudah lama tidak dirasakannya. Leo mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang telah disepakati, tetapi Bu Mela akan memastikan bahwa setiap janjinya ditepati. Dengan pikiran itu, Bu Mela merasa puas, dan dia berbaring di atas ranjang, memikirkan bagaimana kehidupannya akan berubah dalam waktu dekat. ** Sekitar jam lima subuh, Leo terbangun dari tidurnya saat pintu kamar terbuka pelan. Dinda masuk dengan langkah lembut, membawakan secangkir kopi panas untuk Leo. Wajahnya tampak segar meski hari masih sangat pagi. Leo duduk di atas ranjang, mengusap matanya yang masih sedikit berat. Begitu melihat Dinda, senyum terukir di wajahnya. "Selamat pagi, sayang," sapa Dinda dengan suara lembut sambil duduk di tepi ranjang. "Aku tahu hari ini kamu ada tugas penting di kantor. Kopi ini untuk membantu kamu segar kembali," imbuhnya. Leo menerima cangkir kopi dari Dinda dengan senyum lebar. "Terima kasih, Sayang. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik," balas Leo dengan tulus. Hatinya terasa hangat oleh perhatian kekasihnya ini. Dinda tersenyum, kemudian menyisir rambut Leo dengan jarinya. "Aku juga harus segera berangkat ke rumah sakit. Ada beberapa pasien yang perlu aku tangani pagi ini," ujarnya dengan nada yang menunjukkan dedikasinya sebagai seorang dokter. Leo menatap Dinda dengan penuh kekaguman. Dalam benaknya, dia merasa beruntung memiliki seseorang seperti Dinda di sisinya, wanita yang bukan hanya cantik, tetapi juga perhatian dan bertanggung jawab. Saat Dinda mengeluarkan seragam dokternya dari lemari, Leo merasa perasaan sayangnya semakin dalam. Setelah Dinda selesai bersiap-siap, dia kembali mendekati Leo. "Kamu jangan terlalu memaksakan diri di kantor, ya. Ingat, kesehatan itu yang paling penting," ucap Dinda sambil menatap Leo dengan penuh perhatian. Leo mengangguk,"Kamu juga, Din. Jangan terlalu lelah di rumah sakit. Aku sangat mencintaimu" Dinda tersenyum lembut dan mendekat untuk mencium pipi Leo,"Aku juga mencintaimu. Aku akan selalu ada di sini untukmu" Setelah beberapa saat berbicara dengan penuh kehangatan, Dinda akhirnya beranjak keluar kamar untuk berangkat ke rumah sakit. Leo menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar. Pikiran Leo masih terbagi antara rasa sayangnya pada Dinda dan bayangan Bu Mela yang muncul di kepalanya. Namun, saat ini, perhatian dan cinta Dinda membuatnya merasa lebih tenang. Di tengah kesibukan dan tantangan yang ada, Leo merasa memiliki seseorang yang begitu mengerti dirinya, dan itu membuatnya merasa sangat bahagia dan beruntung. Leo kemudian bergegas untuk bersiap-siap, mengingat hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor. Tapi dalam hatinya, dia merasa siap karena tahu bahwa dia memiliki dukungan dari Dinda, wanita yang akan segera menjadi istrinya. *****Leo dengan penuh cinta memeluk tubuh Dinda yang kini telah sah menjadi istrinya. Kali ini Dinda pun pasrah dengan apa yang dilakukan Leo. Ketika Leo mendaratkan bibirnya di bibir Dinda, di situ Dinda langsung merespon dengan penuh perasaan. Keduanya saling menyesap seakan sama-sama ingin melampiaskan nafsu birahinya yang sudah lama menunggu momen malam pertama pernikahan mereka."Mmm... Ahh...." Dinda mulai menggeliat ketika Leo mulai mengecup lehernya dengan buas. Leo tampak begitu bernafsu karena malam itu Dinda benar-benar cantik dengan balutan gaun pengantin. "Aku ingin kita menikmatinya bersama, Sayang," bisik Leo. Nafasnya memburu, kedua tangannya perlahan-lahan melepaskan gaun yang dikenakan oleh istrinya.Saat itu Dinda langsung paham, dia mengerti keinginan suaminya, sehingga Dinda juga mengambil posisi untuk lebih mudah melepaskan gaun pengantin yang dipakainya."Sabar, Mas... Jangan buru-buru,' ucap Dinda, suaranya terdengar lembut dan sangat menggoda. "Aku sudah lama me
Hari itu, Leo berusaha mengalihkan pikirannya dengan tenggelam dalam berbagai urusan pernikahannya dengan Dinda. Dia sibuk menghubungi vendor dekorasi, mencocokkan jadwal dengan katering, hingga memastikan semua persiapan berjalan lancar. Meskipun pikirannya masih terus dihantui oleh sikap Bu Mela, Leo tahu bahwa pernikahannya dengan Dinda harus menjadi prioritas utama.Setelah berjam-jam sibuk dengan persiapan, Leo merasa sudah waktunya untuk berbicara dengan Dinda. Dia ingin memastikan semua rencana berjalan cepat dan mulus, tapi di balik itu, ada keinginan lain yang mendesak di hatinya: mempercepat pernikahan agar dia bisa segera mengakhiri semua tekanan yang dia rasakan dari Bu Mela.Dia mengambil ponselnya dan menelepon Dinda. Suara lembut kekasihnya terdengar dari seberang telepon. "Halo, Mas. Gimana, semuanya lancar?" tanya Dinda dengan nada riang. "Iya, lancar kok. Aku baru selesai ngurus beberapa hal. Sayang bisa datang ke rumah nggak? Ada yang pengen aku omongin langsung
Leo duduk di ruang tamu, merasa gelisah. Malam itu terasa begitu tenang, namun ada ketegangan yang tak bisa dia abaikan. Dinda, kekasihnya, sudah tertidur di kamar, sementara Bu Mela terus mendekatinya dengan sikap yang membuat Leo merasa tidak nyaman. "Leo, kamu pasti capek, ya?" tanya Bu Mela sambil duduk lebih dekat dari biasanya. Tatapan matanya begitu intens, seakan-akan dia mencari sesuatu dari Leo yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya."Tidak, Bu. Aku baik-baik saja kok, hanya sedikit masih mengantuk aja," jawab Leo tersenyum kaku.Namun, semakin lama, Bu Mela semakin berani. Tangan halusnya mulai menyentuh lengan Leo, dan meskipun terlihat santai, Leo tahu ada maksud tersembunyi di balik sikapnya. "Bu, jangan seperti itu. Ini sudah pagi, dan aku tidak ingin Dinda terbangun kemudian memergoki kita," ujar Leo mencoba mencari alasan untuk menjauh. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.Tapi, Bu Mela tidak menyerah begitu saja. Dia mendekat, lebih dekat lagi, hingga
Leo terus memainkan lidahnya di area mahkota Dinda yang semakin basah. Sedangkan Dinda terus saja mendesah seolah sangat menikmati apa yang dilakukan oleh calon suaminya itu. Leo yang juga sudah tidak kuat lagi menahan gejolak hasrat birahinya yang semakin memuncak, kemudian dia menyudahi permainan itu. Dia tersenyum menatap Dinda, keduanya saling tatap dengan penuh perasaan. Tangan Leo memegang miliknya yang membuat Dinda sedikit kaget melihat itu. "Mas, jangan ngelakuin yang lebih," ucap Dinda pelan dan seolah memohon. "Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak akan memasukannya kok, kan kita sudah janji. Aku hanya ingin menggesek-gesekkan aja biar kita sama-sama mendapatkan kenikmatan," balas Leo diakhiri senyuman. Mendengar itu, Dinda mengangguk lemah, meski ada rasa ketakutan jika sampai Leo melakukannya sebelum pernikahan. Dinda tidak mau merusak momen saat nanti malam pertama. Namun di satu sisi dia yakin jika Leo pasti memegang ucapnya. "Kita nikmati bareng-bareng yah, Saya
Mendengar perkataan Leo, sontak Dinda membuka matanya lebar-lebar. "Ihh, Sayang. Kenapa sih bisa gitu?" Dinda terlihat keheranan. "Ya nggak tau, Sayang. Mungkin udah gak sabar masuk ke sarangnya," jawab Leo sedikit bercanda. "Jangan lah, Mas. Kita kan udah sepakat untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Kamu tahan aja yah," ucap Dinda yang tidak mau melanggar komitmennya. "Aku tahu itu, Sayang. Tapi gimana dong ini? Sumpah gak kuat banget, Sayang." Leo mengusap-usap bagian celananya yang menyembul. Saat itu Dinda terdiam memperhatikan calon suaminya yang memang tampak sangat bernafsu. Walaupun sebenarnya Dinda juga ingin cepat-cepat merasakan benda keras milik suaminya, tetapi dia tidak mau itu terjadi sebelum pernikahan. "Mas, aku tahu kamu nggak kuat, aku bantuin aja yah," ucap Dinda yang akhirnya menawarkan diri. Leo tersenyum meski sebenarnya dia ingin melakukan lebih, namun dia juga sadar dengan perjanjiannya dengan Dinda. Yang akhirnya Leo mengangguk, karena biar
"Sayang, kamu yakin kita akan tidur bareng di sini?" tanya Leo dengan tatapan mata yang penuh cinta. "Iya, Mas. Kan kita cuma tidur, kita jangan melakukan sesuatu yang lebih," jawab Dinda mencoba untuk menahan Leo agar tidak melakukannya sebelum sah menjadi pasangan suami-isteri. "Iya juga sih, tapi kalo bukan itu boleh dong, Sayang, hehe." Leo menggodanya, dia mencubit lembut hidung calon istrinya itu. Dinda tertawa kecil mendengar lelucon itu, tetapi dalam hatinya Dinda tahu jika Leo sangat mencintainya, dan begitu juga dengan Dinda sendiri yang juga sangat mencintai Leo. Akan tetapi, keduanya sudah berkomitmen untuk tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah. Leo tersenyum sambil memandangi kamar Dinda yang memang terlihat nyaman dan indah. "Kamar ini benar-benar indah, Sayang. Wanginya juga bikin betah. Rasanya aku nggak sabar ingin tinggal selamanya di sini bareng kamu," ucap Leo sambil menggenggam tangan Dinda. Mendengar itu, Dinda tersenyum mendengar pujian Leo,