"Emm, baguslah kalau begitu," kata Petra.Adeline berdiri dan menatapnya. "Ini sudah malam. Sudah saatnya juga aku pulang.""Oke. Kamu pengen makan apa besok pagi? Aku akan membuatkannya untukmu."Adeline menggeleng. "Nggak usah, kamu sudah capek kerja. Nggak perlu sengaja bangun pagi untuk buatkan sarapan bagiku."Baru saja Petra hendak berbicara, ponsel Adeline tiba-tiba berdering. Melihat itu adalah panggilan dari Carissa, Adeline menatap Petra dan berkata, "Aku pulang dulu. Sampai jumpa besok."Adeline menjawab telepon itu sambil berjalan menuju pintu. "Carissa, ada apa?""Adel, orang tuamu berencana untuk adakan pesta penyambutan baru bagi Amanda. Dengar-dengar, pestanya akan diadakan di Hotel Cloudine, hotel termewah di Kota Senara. Apa mereka sudah kasih tahu kamu?"Langkah Adeline pun terhenti. Dia menjawab sambil menunduk, "Belum, mungkin mereka nggak berencana kasih tahu aku."Meskipun Adeline telah kembali ke Keluarga Thomas, hubungannya dengan Shinta dan Delon masih buruk.
Petra berbalik dan berjalan ke dapur, lalu segera kembali dengan membawa seperangkat alat makan.Rosma menerimanya sambil tersenyum. "Makasih."Kemudian, dia menatap Adeline dan bertanya, "Ngomong-ngomong, Adeline, gimana kamu dan Petra saling mengenal?"Melihat rasa ingin tahu Rosma, Adeline melirik Petra dan menjawab sambil tersenyum, "Waktu aku mau pulang dari pesta ulang tahun sahabatku, aku menyadari dia menabrak mobilku. Kami kenal dari sana."Keterkejutan terpancar di mata Rosma. Dia mengangkat sebelah alis ke arah Petra. "Petra, kalau nggak salah ingat, kamu pernah balapan mobil, 'kan? Dengan kemampuanmu, kamu juga bisa nabrak mobil orang lain? Apa kamu mau coba dekati Petra, makanya kamu sengaja nabrak mobilnya?"Petra menjawab dengan tenang, "Hari itu, langit sudah hampir gelap dan cahayanya redup. Aku nggak bisa melihat dengan jelas.""Oh, ceroboh juga kamu." Rosma menoleh ke arah Adeline dan berujar, "Tahu nggak, ada periode di mana Petra tergila-gila pada balap mobil. Dia
"Oke," jawab Adeline.Kelak adalah kata yang begitu indah. Membayangkannya saja sudah membuatnya menantikannya.Saat makan sampai setengah, bel pintu tiba-tiba berbunyi.Petra berdiri dan berjalan menuju pintu masuk. Begitu membuka pintu, suara tawa Rosma langsung terdengar."Petra, tempatmu ini sulit banget dicari? Aku sampai salah belok dan harus putar beberapa kali sebelum akhirnya menemukannya."Cengkeraman Adeline pada sumpitnya perlahan-lahan mengencang. Baik itu tampang mereka yang tersenyum ketika mengobrol di ruang privat sebelumnya atau keakraban alami dalam nada bicara Rosma sekarang, semuanya mengisyaratkan kedekatannya dengan Petra.Adeline tahu dirinya tidak seharusnya keberatan. Bagaimanapun juga, memiliki teman lawan jenis itu normal. Lagi pula, Henry pernah bercerita bahwa dirinya dan Rosma tumbuh besar bersama. Petra juga kurang lebih seusia mereka dan mereka seharusnya juga tumbuh besar bersama.Adeline menunduk dan menahan rasa sedih tak terjelaskan yang membuncah d
"Biar aku saja yang membawanya," ucap Petra.Adeline menyerahkan stroberi itu kepada Petra dan berkata, "Satu keranjang stroberi itu untukmu. Ngomong-ngomong, kenapa kamu tunggu di sini?""Berhubung makan malamnya sudah siap, aku pun turun. Aku pengen lebih cepat ketemu sama kamu."Setelah mendengar ucapan itu, pegangan Adeline pada tas pun mengerat. Dia merasa seperti tersengat listrik dan sensasi itu menyebar dari hatinya ke seluruh tubuhnya.Adeline menggigit bibir bawahnya dan berujar, "Dari sini ke atas cuma butuh satu menit.""Satu menit itu sangat berharga bagiku."Mereka telah melewatkan satu sama lain selama bertahun-tahun. Setiap menit bersama Adeline sekarang sangat berharga bagi Petra."Kamu jago banget gombalnya. Aku hampir curiga kamu pernah pacaran beberapa kali sebelumnya."Petra menunduk dan menjawab dengan tegas, "Aku belum pernah pacaran dan yang kukatakan itu benar. Aku bukan lagi berusaha menyenangkanmu."Keseriusan di mata Petra membuat jantung Adeline berdebar le
Ibunya Henry menatap Henry dengan tampang cemberut. "Tadi, aku mau ketemu sama dia, tapi kamu yang mengacaukannya. Aku sudah siapkan pidato yang panjang, tapi nggak sempat ngomong sepatah kata pun. Sayang banget."Henry pun tidak bisa berkata-kata dan menjawab, "Ibu, kamu jangan keseringan baca novel roman. Kalau memang bosan, cari kerja sana.""Aku nggak perlu kerja. Ayahmu mampu hidupi aku. Ngomong-ngomong, meski kamu melarangku ketemu sama dia hari ini, aku akan cari kesempatan untuk ketemu sama dia lain kali. Kamu bisa hentikan aku kali ini, tapi kamu nggak mungkin selalu ada di sisinya."Kali ini, tujuan utama kedatangannya adalah untuk bertemu dengan Adeline. Bagaimana mungkin dia pulang dengan tangan kosong?Henry terlihat tak berdaya. "Kamu nggak perlu khawatir. Dia benar-benar nggak menyukaiku."Dari detail interaksi terakhir Petra dan Adeline, ketika Adeline menatap Petra, Henry menemukan semacam kegembiraan dan perhatian yang hanya ditujukan terhadap orang yang disukainya.
"Apa aku kenal kalian?" tanya Adeline."Bu Adeline, nyonya kami ingin ketemu sama kamu."Adeline melihat ke arah pria-pria berpakaian hitam itu menunjuk dan melihat sebuah Rolls-Royce terparkir di pinggir jalan. Alisnya pun berkerut. "Aku nggak kenal sama nyonya kalian, juga nggak akan pergi bersama kalian. Kalau kalian nggak segera pergi, aku akan lapor polisi."Melihat Adeline mengeluarkan ponselnya dari tas dan siap menelepon polisi, pria berpakaian hitam itu tetap tenang."Bu Adeline, apa kamu kenal dengan Henry?""Kenal, ada apa?""Dia putra nyonya kami."Adeline pun terdiam.Setelah menatap pria berpakaian hitam itu beberapa detik, Adeline akhirnya bertanya, "Apa hubungannya itu denganku? Henry itu memang karyawan perusahaanku, tapi kurasa aku nggak perlu ketemu sama ibunya. Lagian, gimana aku tahu kalau kalian bukan penipu?""Kalau Bu Adeline nggak percaya, hubungi saja Tuan Henry."Lima menit kemudian, Henry berlari menghampiri Adeline dengan terengah-engah. "Kak Adeline, maaf.