Share

Bab 5

Wanita yang berbicara itu bergegas menghampiri mereka. Bunga di tangannya langsung dipakai untuk memukul Sonia, mendorong Sonia dengan keras. Kemudian, wanita itu menarik Stella ke dalam pelukannya.

Reviana memeriksa tubuh Stella dengan cemas, “Ada yang terluka, nggak? Apa ada yang berdarah? Di mana yang sakit?”

Kelopak-kelopak bunga yang basah karena embun berserakan di lantai. Duri dari bunga segar itu menusuk leher Sonia. Sonia merasa sedikit pedih, tertegun menatap wanita yang sedang mencemaskan putrinya itu.

Hendri Dikara cepat-cepat menghampiri dan berkata pada Sonia, “Kamu nggak terluka, ‘kan?”

Reviana tiba-tiba menoleh ke belakang, menatap Sonia dengan mata galak, “Kamu mau apa? Kamu mau membunuh Stella?”

Hati Sonia pedih melihat tatapan jijik dan benci yang terpancar dari mata wanita itu.

Stella melirik Sonia sekilas, lalu buru-buru meraih pergelangan tangan Reviana dan berkata, “Ma, Mama salah paham. Aku yang minta Kak Sonia untuk menggunting rambutku. Kak Sonia nggak melukaiku.”

“Ternyata begitu!” Hendri tertawa, lalu berkata dengan marah kepada Reviana, “Kamu itu selalu begitu. Belum tahu jelas apa yang terjadi, tapi sudah marah duluan. Coba kamu lihat itu, bajunya Sonia jadi kotor karena kamu.”

Reviana sadar dia telah salah sangka pada Sonia. Dia terlihat malu dan berusaha menjelaskan, “Tadi waktu aku sampai di pintu, aku melihat Sonia sedang memegang gunting dan mengarahkannya ke leher Stella. Aku nggak tahu kalau dia sedang menggunting rambut.”

“Sudah, jangan banyak alasan!” Hendri memelototi Reviana, lalu berkata kepada Stella, “Bawa kakakmu naik untuk ganti baju. Bajunya kotor semua.”

“Kak, ayo ikut aku!”

Stella menggandeng tangan Sonia. Sonia menyapu kelopak-kelopak bunga yang ada di pundaknya.

Setelah masuk ke kamar tidur di lantai dua, Stella berkata dengan nada meminta maaf, “Kak, maaf, ya. Aku nggak menyangka Mama akan pulang di saat itu. Kakak jadi terluka.”

“Itu bukan salahmu!” Sonia tersenyum kecil.

Stella mengambil sebuah kaos putih dari lemari pakaiannya, lalu meletakkannya di sofa, “Ini baju baru, belum pernah dipakai. Kak Sonia ganti baju saja. Aku akan menunggu Kakak di bawah.”

“Oke.”

Stella menutup pintu kamar. Sonia melihat baju yang ada di atas sofa. Senyuman di wajahnya memudar. Yang satu minta tolong diguntingkan rambutnya, yang satu lagi kebetulan pulang. Kebetulan sekali!

Setelah berganti pakaian, Sonia berjalan keluar menyusuri koridor. Ada sebuah pintu yang tidak tertutup rapat di tengah. Dia mendengar suara Hendri, “Kok bisa kamu memukul Sonia pakai bunga? Keterlaluan sekali!”

Sonia memperlambat langkahnya.

Reviana masih terdengar tidak yakin, “Mana aku tahu kalau dia sedang menggunting rambut? Dia memegang gunting dan mengarahkannya ke leher Stella. Aku langsung ketakutan waktu itu!”

Hendri menghela napas, “Apa kamu nggak merasa sikapmu pada Sonia itu salah? Jangan lupa, anak kandung kita itu Sonia!”

Reviana berargumen, “Aku tahu. Waktu dia pulang ke rumah tiga tahun lalu, aku juga ingin menebus kesalahanku. Tapi, dia yang bersikeras mau tinggal di luar. Bagaimana aku bisa menebusnya?”

“Kamu ada menahannya nggak waktu dia bilang mau pindah tinggal di luar?” Hendri berkata, “Aku tahu kamu sayang pada Stella, tapi Sonia itu sudah tertukar dari lahir. Dia sudah sangat menderita di luar sana. Apa kamu nggak bisa bersikap baik sedikit padanya?”

Reviana berkata dengan tak berdaya, “Aku juga ingin bersikap baik pada Sonia, tapi aku sudah menyayangi Stella selama dua puluh tahun dan menganggapnya sebagai putri kandungku sendiri. Bagaimana aku bisa mengubahnya begitu saja? Selain itu, Stella sangat pintar. Dia bisa main piano, melukis, main viola. Semuanya hebat. Anaknya juga pengertian dan cerdas. Coba kamu lihat Sonia, nggak ada kelebihannya sama sekali. Aku jadi nggak bisa menyayanginya!”

“Kok kamu bisa bilang begitu tentang putrimu sendiri?”

“Aku kan nggak mengatakannya di depan orangnya?” Reviana mengeluh, “Kamu juga. Kenapa kamu suruh dia datang? Hari ulang tahun yang menyenangkan dibuat jadi nggak menyenangkan!”

Sorot mata Sonia berubah sedih. Dia tidak mendengarkan lagi, membuka tasnya dan meletakkan kotak perhiasan abu-abu muda di rak bunga di luar pintu, lalu turun ke bawah.

Di lantai bawah, Stella sedang menggendong seekor kucing. Ketika dia melihat Sonia turun, Stella langsung tersenyum dan bertanya, “Kak, bajunya muat?”

“Muat, makasih!” kata Sonia dengan sopan.

“Kita ini kakak beradik. Untuk apa sesungkan itu?” Stella tersenyum polos.

Sonia tersenyum ringan, “Aku baru saja dapat telepon. Ada urusan di kampus yang mengharuskanku pergi ke sana. Aku pergi dulu, ya. Kamu tolong kasih tahu Papa.”

“Nggak usah buru-buru. Kita belum makan kuenya!” Stella memasang ekspresi yang menyayangkan.

“Tolong bilang ke Mama, maaf sudah mengacaukan hari ulang tahunnya,” kata Sonia, lalu berjalan menuju pintu.

Dia tidak tahu sejak kapan mulai gerimis di luar. Tanah di luar benar-benar basah.

Stella menoleh dan berteriak, “Bi Umi, dimana Pak Umar? Suruh Pak Umar untuk antar Kak Sonia pulang.”

Bi Umi bergegas datang. Dia melirik hujan di luar, berpikir sebentar, lalu menghela napas, “Aduh,kebetulan sekali. Pak Umar sedang pergi ambil kue Bu Reviana. Dia belum pulang.”

“Aku pulang sendiri saja. Tolong beri aku payung, Bi Umi,” kata Sonia.

“Oh, oke!” Bi Umi berbalik badan dan pergi, lalu kembali dengan sebuah payung. Dia menyerahkannya ke Sonia dan tidak lupa berpesan, “Payung ini harganya berjuta-juta, Non. Gunakan dengan hati-hati.”

Sorot mata Sonia agak dingin, tapi wajahnya tetap tenang. Dia membuka payung itu dan melangkah di bawah rintikan hujan.

Begitu Sonia keluar dari gerbang, Stella melihat Pak Umar sedang berjalan dengan membawa payung di halaman.

Bi Umi terlihat malu dan berkata, “Aduh, dasar ingatanku ini. Pak Umar kan sudah pulang setengah jam yang lalu. Kasihan sekali Non Sonia harus pulang sendiri di tengah hujan begini.”

Sonia memeluk kucingnya, tersenyum lembut dan berkata, “Mungkin Bi Umi kecapekan akhir-akhir ini. Kalau ada waktu, aku akan bilang ke Mama untuk menaikkan gaji Bibi.”

Bi Umi langsung berseri-seri, “Makasih, Non. Mulai sekarang, Bibi akan menuruti semua kemauan Non.”

Stella berbalik badan dan naik ke atas. Dia melihat kotak perhiasan di atas rak bunga dan mengambilnya. Sebelum dia bisa membukanya, Hendri dan Reviana keluar.

Reviana malah merasa lega ketika mendengar Sonia sudah pergi.

Hendri tidak ingin bertengkar dengan Reviana di hari ulang tahunnya, jadi dia mengganti topik pembicaraan. Dia melihat kotak perhiasan di tangan Stella dan tersenyum, “Itu untuk mamamu?”

Reviana mengambilnya sambil tersenyum, kemudian tertegun sejenak setelah membukanya, kemudian terlihat kaget dan senang, “Perhiasan model baru yang baru dirilis oleh GK Jewelry, masih dalam masa promosi. Katanya setiap model hanya ada satu set, jadi nggak mudah untuk mendapatkannya. Stella, apa ini kado ulang tahun yang kamu belikan untuk Mama?”

Stella agak kaget, tapi kemudian tersenyum dan tidak menyangkalnya, “Baguslah kalau Mama suka!”

“Stella memang yang paling baik!” Reviana memeluk Stella dengan emosional. Rasa bersalah karena memukuli Sonia langsung menghilang dalam sekejap.

Sonia meninggalkan rumah keluarga Dikara dan berjalan pulang. Ini adalah kompleks vila, tidak ada bus, bahkan taksi saja sedikit.

Rintikan hujan menghantam payungnya. Sangat bising.

Sonia menginjak air hujan, berjalan santai. Hujan ini sepertinya akan turun dengan deras. Langit terlihat seperti suasana hatinya saat ini.

Satu per satu mobil pribadi melewati jalanan itu. Di dalam salah satu mobil yang lewat, yaitu mobil Bentley, seorang gadis yang duduk di kursi sebelah supir tiba-tiba melihat ke luar jendela, lalu berkata kepada pria yang duduk di belakang, “Om Reza, aku melihat teman sekelasku di sana. Di sini nggak ada bus. Kita ajak dia naik saja, ya.”

Reza sedang membaca dokumen di tangannya. Ekspresi di wajah tampannya tampak acuh tak acuh. Dia mengangguk kecil.

Tasya meminta supir untuk memundurkan mobil, lalu menurunkan kaca jendela dan berteriak pada Sonia, “Sonia, masuk ke dalam mobil!”

Sonia terkejut, “Tasya?”

Mereka dari jurusan yang sama, tapi tidak bisa dibilang akrab.

Tasya tersenyum, “Cepat naik. Nanti baru bicara di mobil.”

“Makasih!” Sonia berterima kasih, membuka pintu mobil, menutup payungnya dan masuk. Dari sudut matanya, dia melihat seseorang duduk di sampingnya. Dia menoleh ke samping dan tertegun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status