Share

Bab 6

Reza tidak mengangkat kepalanya sama sekali dan hanya membaca dokumen yang ada di tangannya dengan ekspresi dingin dan tidak tersentuh. Setelah itu lelaki tersebut menoleh dan tersenyum sambil bertanya, “Sonia, kamu jadi guru les?”

Dia tahu perempuan itu tinggal di daerah timur dan kondisi ekonominya juga tidak bagus. Sedangkan di sini merupakan kawasan elit, otomatis Reza menganggap Sonia datang untuk menjadi guru bimbingan.

“Untung saja ketemu dengan kamu,” jawab Sonia sambil tersenyum tipis.

Kenapa dia bisa melupakan kalau Tasya adalah anak dari kakaknya Reza dan merupakan keponakan dari lelaki itu.

Dulu, dalam tiga tahun mereka nyaris tidak pernah bertemu satu kali pun. Sekarang, dalam satu minggu bisa bertemu sebanyak tiga kali. Sonia berpikiran apakah Sang Cupid baru saja terbangun dari tidurnya dan tengah mencoba menyatukan mereka?

Tasya menatap Sonia dan memperkenalkan perempuan itu pada Reza. “Dia Om aku yang kedua, Om Reza.”

Sonia bersikap seakan tidak kenal dan menganggukkan kepalanya. “Pak Reza,” sapa Sonia.

Wajah Reza terangkat ke atas ketika mendengar nada suara tersebut tidak asing. Sorot matanya terlihat aneh dan matanya menyipit. Perempuan itu hanya menggenggam payungnya dengan gugup, tetapi ekspresinya terlihat tenang.

Namun tidak ada yang tahu bahwa jantungnya tengah berdegup sangat cepat. Sonia berusaha menenangkan dirinya sambil mengatakan bahwa Reza hanya akan mengingatnya sebagai teman kuliahnya dulu, jadi untuk apa dirinya panik?

Tasya memang memiliki sifat yang sangat ramah dan bersahabat, perempuan itu langsung mengajak Sonia untuk berbincang. “Melia lagi mengejar Andre, ya?”

Ingatan akan kejadian kemarin terlintas di benak Sonia dan menjawab, “Kayaknya iya.”

“Semua orang di sekolah tahu kalau Andre suka sama kamu selama tiga tahun, kalian berdua begitu dekat, mana mungkin Andre bisa tertarik dengan Melia?” ujar Tasya sambil tersenyum miring.

Tanpa sadar Sonia melirik sekilas ke arah Reza dan tersenyum tipis sambil berkata, “Aku dan Andre hanya teman biasa saja. Dia mau pacaran dengan siapa, nggak ada hubungannya juga denganku.”

Tasya melemparkan sebuah tatapan seperti tidak percaya pada ucapan perempuan di depannya ini yang membuat Sonia hanya bisa pasrah. Tidak peduli apakah hubungan pernikahannya didasari perjanjian kontrak atau tidak, sekarang dia sudah merupakan seorang istri.

Dalam perjalanan kembali, terdapat sebuah kecelakaan di depan jalan. Mobil-mobil tampak berhenti dan membuat jalanan tersebut macet. Tasya memegang perutnya dan berkata, “Kapan jalanannya normal? Aku sudah lapar! Gimana kalau kita pergi makan dulu?”

“Aku turun di sini saja. Aku balik ke kampus sendiri saja,” sahut Sonia dengan cepat.

“Ngapain balik kampus? Sudah jam segini! Kita pergi makan bersama saja,” kata Tasya dengan penuh penekanan.

Reza yang tidak bersuara sedikit pun selama perjalanan tadi melirik jam tangan yang ada di pergelangannya dan memerintahkan Robi, “Berhenti di tepi.”

Sebelah kanan mereka kebetulan adalah restoran Italia. Ketiga orang tersebut memutuskan untuk makan di sana. Tasya khawatir Sonia belum pernah makan di restoran mahal seperti ini sehingga dia menanyakan tipe masakan kesukaan perempuan itu dan membantu Sonia memesan makanan.

Setelah selesai memesan, Tasya pergi ke toilet dan meninggalkan kedua orang tersebut. Reza bersandar pada sofa dengan posisi yang terlihat bermalas-malasan sambil menunduk dan melihat ponsel di tangannya. Wajah tampan lelaki itu membuat semua orang tidak mampu mengalihkan tatapan mereka.

Tatapan Sonia berhenti pada wajah rupawan tersebut dan mendadak teringat pada kejadian malam itu. Lelaki di depannya ini bersikap lembut dan juga panas di waktu yang sama. Gerakannya sangat menyeramkan sekali. Berbanding terbalik sekali seperti sikapnya sekarang yang terlihat mahal dan anggun.

Malam itu, Sonia merasa sangat emosi ketika sudah pulang. Lupakan saja kenyataan bahwa dirinya kehilangan harta berharganya begitu saja, tetapi kenapa dia masih harus membayar dua ratus ribu?!

Namun ketika sekarang dia duduk di sini dan menatap lelaki di depannya yang begitu rupawan, dalam hatinya berbisik bahwa uang tersebut sangat sebanding!

Mungkin saja Reza menyadari ada yang memperhatikannya sehingga dia menaikkan wajahnya sedikit dan menatap Sonia. Perempuan yang ditatap itu hanya bersikap seakan tidak terjadi sesuatu dan membuang tatapannya ke arah jendela dengan telinga memerah dan wajah memanas.

Sorot mata Reza terlihat penasaran, dengan suara pelan dia bertanya, “Nama kamu siapa?”

Punggung Sonia menegang seketika. Dia melihat mata gelap lelaki itu dan dengan pelan bersuara, “Sonia.”

Ekspresi Reza terlihat normal dan biasa saja, tatapan matanya juga tidak terlihat sorot terkejut. Jelas sekali dia asing dengan namanya. Lelaki itu tidak ingat! Sonia berbisik dalam hati kalau lelaki itu bahkan tidak ingat dengan nama orang yang dia nikahi.

Kebetulan sekali seorang pelayan datang dengan membawa makanan ringan bersamaan dengan adanya pesan masuk di ponsel Sonia. Perbincangan keduanya terputus begitu saja.

Sonia membuka ponselnya dan melihat pesan yang dikirimkan oleh Ranty.

“Sonia, coba tebak aku ketemu siapa? Reza! Dia sedang makan dengan seorang perempuan dan sedang memunggungiku! Aku nggak bisa melihat muka perempuan itu dengan jelas. Baru pulang dia sudah kencan dengan pelakor! Dia tahu nggak kalau dia sudah menikah?!”

Sonia memandangi ponselnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Beberapa saat kemudian baru dia membalas pesan tersebut.

“Maaf, aku adalah pelakor yang kamu katakan itu.”

Ranty adalah teman baik dan juga musuhnya selama bertahun-tahun. Ranty merupakan satu-satunya orang yang tahu dirinya menikah dengan Reza selain ayahnya. Perempuan itu membalas pesannya dengan sebuah ekspresi terkejut diikuti dengan sebaris kalimat yang bertuliskan,

“Kenapa kamu bisa bersama dengan Reza? Kalian sudah saling mengakui?”

Mengakui? Sonia terlihat tercenung sesaat ketika membaca tulisan tersebut. Dia melayangkan tatapannya sekilas pada lelaki itu sebelum membalas pesan Ranty, “Nggak, kebetulan ketemu saja. Nanti aku ceritakan lengkapnya seperti apa.”

Rasa ingin tahu Ranty yang begitu tinggi digantung oleh Sonia. Dia yang memang memiliki jiwa ingin tahu tidak terima dengan respons yang seperti ini. “Aku ada di lantai tiga. Aku turun dan cari kamu.”

“Diam di sana! Jangan bergerak!” balas Sonia secepat kilat dengan kening berkerut.

Sebuah pesan dengan ekspresi memelas terlihat di ponselnya lagi, tetapi Sonia memutuskan untuk mengabaikannya saja. Tiba-tiba sebuah aroma parfum yang begitu wangi dan segar tercium di dekat mereka. Seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna krem terlihat berjalan ke arah mereka dan langsung duduk di samping Reza.

Dandanan perempuan itu sangat bagus dengan aura elegan yang begitu luar biasa. Perempuan tersebut menyapu pandangannya pada sosok Sonia sekilas kemudian berbicara pada Reza.

“Tadi pagi aku ajak kamu makan, kamu bilang kamu nggak ada waktu. Ternyata kamu sudah janji sama orang lain.”

“Selalu ada istilah siapa yang duluan dan siapa yang terakhir, bukan?” jawab Reza dengan ekspresi datar.

Perempuan itu hanya tersenyum tipis dan menatap Sonia dengan sorot mata tajam sambil berkata, “Kenalan dulu! Namaku Hana, kamu?”

Sonia menyadari aura persaingan yang diberikan oleh perempuan itu. Baru saja dia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba Reza menyodorkan piring kue kecil ke hadapannya. Lelaki itu berbicara dengan nada biasa saja tetapi entah kenapa memberikan kesan mesra.

“Bukannya kamu suka cranberry mousse? Makanlah.”

Sebenarnya dia tidak menyukai makanan manis tersebut, tetapi Sonia tetap mengambil sendok dari meja.

Ekspresi Hana terlihat keruh, tetapi dia tetap berusaha mempertahankan senyuman di bibirnya. “Kenapa protektif sekali? Hanya tanya namanya saja, aku nggak akan makan dia.”

Reza terlihat sedikit kesal dan menjawab, “Dia penakut, nggak biasa sama orang asing.”

Sonia menyendokkan kue tersebut sambil berusaha keras menelannya ketika mendengar ucapan lelaki itu. Sedangkan Hana terlihat menahan tawanya dan berkata dengan nada sinis, “Penakut? Kenapa aku justru merasa dia sangat berani sekali. Mentang-mentang dia cantik makanya sembarangan tebar pesona. Reza, kamu harus hati-hati.”

Lelaki itu menyilangkan kakinya kemudian tersenyum miring sambil berkata, “Yang penting cantik, aku juga nggak ingin hal lainnya dari dia.”

Tangan Sonia yang tengah memegang sendok bergetar sesaat, kuenya bahkan sudah nyaris tidak sanggup dia telan lagi. Perempuan itu bertanya dalam hati apakah mereka tidak bisa memikirkan perasaannya?

Hana memasang muka judes secara terang-terangan karena Reza terlihat jelas sedang melindungi perempuan ini. Hatinya memanas tetapi dia juga tidak berani marah langsung di hadapan lelaki itu. Selain itu, Hana juga tidak berhak cemburu.

Hubungan keluarga mereka cukup baik. Ayah Hana memang berniat mendekatkan mereka berdua, tetapi Reza yang tidak pernah bersedia. Oleh karena itu dia berusaha untuk tidak memberikan kesan yang jelek pada lelaki di depannya ini.

Hana bangkit berdiri dan tersenyum dengan anggun sambil berkata, “Kalau gitu aku nggak ganggu kalian makan lagi. Nanti aku cari waktu kosong buat ketemu sama tante saja di rumah.”

Reza hanya memberikan respons dehaman saja yang membuat Hana semakin kesal. Dia meninggalkan tempat tersebut dengan emosi dan hati yang panas.

Kue di piring Sonia sudah tinggal setengah ketika dia meletakkan sendoknya saat melihat perempuan itu telah pergi. Reza langsung mengangkat wajahnya dan dengan suara yang seperti sedia kala berkata, “Jangan salah paham dengan pembicaraan yang tadi.”

Sonia juga terdengar sangat tenang dan menjawab, “Aku mengerti, Bapak mentraktir aku makan dan aku membantu Bapak. Kita berdua impas.”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status