"Bagaimana bisa kau lupa pada suamimu sendiri, Ura?" dingin Raymond, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada perempuan yang duduk di pangkuannya.
Carmen menoleh padanya, mendongak untuk menatapnya. 'Ura? Siapa Ura? Bapak ini pasti salah orang,' batin Carmen. Dia sempat mengira pria ini mungkin suaminya, karena beberapa kali pria ini memangilnya istri. Carmen memang tak mengenal suaminya karena dia tidak pernah bertemu dengan suaminya sebelum menikah. Lagipula, dia saja tak menyangka jika dia lah yang akan menikah dengan Kaizer–suaminya, karena sebelumnya Kaizer dijodohkan dengan kakaknya. Namun, saat tiga hari sebelum menikah, Clarissa melakukan sesuatu yang membuat Carmen berakhir menggantikannya menikah dengan tuan muda dari keluarga Abraham. Carmen hanyalah pengantin pengganti yang tak pernah direncanakan. Saat menikah, kondisi mata Carmen saat itu minus 4. Dia tak mengenakan kaca mata ataupun soflen, ditambah dia terus menangis saat itu, sehingga dia tidak bisa melihat jelas wajah suaminya. Yang dia tahu, dia menikahi pria lumpuh yang duduk di kursi roda. Carmen memberontak dan berniat untuk kabur. Akan tetapi pelukan pria itu sangat kuat sehingga Carmen tak bisa melepaskan diri. Pria itu tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, otomatis Carmen yang berada di pangkuannya juga ikut terjatuh. Pria itu dengan cepat memutar posisi sehingga Carmen berada di bawah tubuhnya. "Tubuhmu sangat nikmat, Wifey. Bagaimana jika kita mengulang kembali …-" Raymond mengusap pinggiran wajah Carmen dengan gerakan sensual, smirk tipis menyungging di bibir dan tatapannya berkabut gairah. "Ti-tidak! Menyingkir dari atas tubuhku!" pekik Carmen, kembali ingin menangis karena takut pada sosok pria di atas tubuhnya. Bahkan suaranya sudah bergetar karena ketakutan. "Aku belum melakukan apa-apa, tetapi kau sudah menangis, Heh?!" ejek Raymond, evil smirk semakin terlihat jelas di bibirnya. Entah kenapa dia senang melihat Carmen ketakutan. Carmen hanya diam, menahan ketakutan yang menyelimuti dirinya. Sedangkan Raymond belaiannya turun pada ceruk leher Carmen. Dia semakin bergairah, feromon Carmen sangat kuat dan dia tergoda untuk kembali mencicipi Carmen. Toh, perempuan ini istrinya. Tak salah bukan jika dia terus menginginkannya?! Air mata Carmen kembali jatuh. Pria ini kembali melucuti pakaiannya, bodohnya Carmen tak berbuat apa-apa. Dia ketakutan hingga tak bisa bergerak sama sekali. "Hiks …." Carmen hanya bisa mengeluarkan suara tangisan, ketika pria bejad ini berhasil melepas pakaiannya. "Semakin kau menangis, semakin aku bergairah, Wifey," ucap Raymond dengan nada rendah, senyum tipis ketika melihat Carmen hanya diam tanpa perlawanan–perempuan itu terus menangis. Raymond kembali menikmati tubuh istrinya. Tak disangka gadis kecil ini sangat nikmat dan candu. Lima tahun lalu, Carmen hanyalah gadis remaja beranjak dewasa yang memiliki tubuh kurus. Sekarang, Carmen sangat seksi, setiap pahatan tubuhnya memberikan daya tarik yang kuat untuk Raymond. "Ka-kamu siapa … hiks?!" tanya Carmen dengan nada pelan, merintih dan bergetar. Air matanya terus jatuh, memandang takut pada pria yang sedang menggagahi tubuhnya. 'Aku menjaga diriku dengan baik, tetapi pria bajingan ini-- hiks … aku membencinya.' batin Carmen, tak lagi memberontak seperti semalam karena dia tahu pria ini akan tetap melakukannya. Dia tak memberontak, juga karena terlalu takut. "Aku suamimu." Raymond tersenyum tipis. Dia memajukan tubuhnya kemudian mendaratkan ciuman pada bibir Carmen. Carmen hanya diam, mengamati pria tersebut dari jarak yang sangat dekat. Pria ini terlalu menikmati bibir Carmen, sehingga dia memejamkan mata. Hingga tiba-tiba manik tajam itu terbuka, menghunus tepat pada manik Carmen yang berkaca-kaca. Keduanya saling bersitatap, di mana Raymond masih menciumnya. Karena tak tahan ditatap oleh Raymond, Carmen memilih memejamkan mata. Diam-diam itu membuat Raymond tersenyum, terlihat dari sorot matanya. **** Carmen terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar mewah dan luas. Carmen menatap tubuhnya, di mana dia sudah mengenakan gaun tidur berwarna pink muda, indah dan manis secara bersamaan. "Pria gila itu membawaku ke mana?!" gumamnya, kembali ingin menangis karena takut. Meskipun tempat ini mewah dan terasa nyaman, tetapi Carmen tetap takut. Setelah pria yang mengaku suaminya tersebut kembali menidurinya, Carmen kembali tertidur. Carmen terbangun dan mendapati dirinya berada dalam mobil, lebih tepatnya di pangkuan pria yang memperkosanya. 'Aku akan membawanya pulang.' 'Kau selidiki tentang Nyonya Ura. Aku curiga jika seseorang memberikan informasi palsu padaku.' Carmen juga sempat mendengar percakapan antara pria tersebut dengan sopirnya. Karena tak paham apa yang mereka bicarakan, Carmen memilih kembali tidur. Sekarang, dia berada di sebuah kamar. "Dia menyebutku istrinya tetapi aku tidak yakin dia Mas Kaizer." Carmen bermonolog sendiri, dia bangkit dari ranjang kemudian mencari-cari di mana kopernya. "Mas Kaizer sopan, tidak seperti pria ini. Dia bajingan!" geram Carmen, marah dan sedih secara bersamaan. Sejujurnya dia sangat berharap pria yang memperkosanya adalah suaminya sendiri. Meskipun tak suka perlakuan kasar yang dia terima, setidaknya tubuhnya dijama oleh pria yang berhak atas dirinya. Tetapi, dia berkecil hati. Pria ini sangat jauh dari sosok suaminya. Walau interaksinya hanya lewat pesan, tetapi Carmen bisa menilai kalau Kaizer adalah pria yang sangat sopan. Suaminya sering menyuruhnya untuk tetap fokus pada pendidikan supaya bisa mengejar impiannya–lewat sebuah pesan, dan karena itu Carmen kagum pada Kaizer. Dia percaya suaminya orang baik dan jauh dari sosok pria yang memperkosanya. Jadi, ti-tidak mungkin! Setelah menemukan kopernya, Carmen mengganti baju. Setelah itu, dia berniat kabur. Akan tetapi pintu terkunci. Carmen berjalan ke arah balkon dan untungnya pintu balkon terbuka. Dia menatap ke arah bawah, menemukan kolam renang di bawah balkon. Ini bagus! Ceklek' Tiba-tiba saja, suara pintu terdengar. Carmen panik dan dia takut pria itu datang! Dalam keadaan panik, Carmen tanpa pikir panjang melompat ke bawah--ke kolam renang. Dia harus menyelamatkan dirinya dari pria itu. Persetan dengan kopernya yang tertinggal! Byurrrr' Carmen menutup mata ketika dia sudah dalam air. Kemudian dia mulai berenang ke permukaan–ke tepi kolam. Saat akan naik ke atas kolam, Carmen kesulitan. Untungnya seorang pria membantunya naik. "Terimakasih, Pak." Carmen membungkuk pada pria itu sebagai ucapan terimakasih, setelah itu dia berlari. Akan tetapi baru beberapa langkah, dia menghentikan kakinya–menoleh ke arah belakang untuk memastikan sesuatu. Deg' Jantung Carmen berpacu kuat. Pria yang membantunya adalah Raymond! Dan sekarang pria bajingan itu tengah memandanginya, menyeringai tipis padanya–membuat Carmen merinding dan membeku di tempat. "Carmen Gaura Abraham," ucap Raymond, berkata dengan nada dingin dan membunuh. Dia perlahan mendekat ke arah Carmen, membuat perempuan manis tersebut reflek mundur. "A-aku … aku bisa karate. Jangan macam-macam padaku yah …." Carmen tiba-tiba memasang kuda-kuda, menatap pria itu dengan wajah serius dan menantang. Dari luar dia terlihat kuat dan berani, tetapi percayalah jantungnya berdebar kencang karena ketakutan. Sosok pria ini begitu sempurna. Dia punya wajah yang tampan, tubuh tinggi dan atletis. Dia charming dan berwibawa secara bersamaan. Namun, kelakuannya … itu membuat Carmen memandang buruk pada sosok ini. Dia pria jahat dan bejad! Sedangkan Raymond, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis–merasa lucu dengan tingkah Carmen yang memasang kuda-kuda karate. Dia menyodorkan tangan ke hadapan Carmen, membuat Carmen mengernyit bingung. "Raymond Kaizer Abraham. Your husband." Deg deg deg"Nari." Lisa menatap ke arah karyawannya tersebut, "kamu kenapa?" tanya-nya kemudian. "O-oh, Bos." Nari terlihat gugup, grogi karena Sbastian sedang menatapnya. Padahal hanya ditatap oleh pria itu, akan tetapi Nari berasa berdebar luar biasa, "aku tidak sengaja menjatuhkan panci, Bos," ucap Nari kemudian. "Hati-hati yah," ucap Lisa lembut. Setelah itu kembali fokus pada suaminya. Sbastian mengedikkan pundak, memilih kembali memakan kue buatan istrinya secara lahap. *** "Umm … bagaimana pendapat Mas Sbastian tentang kue tadi? Peluang larisnya tinggi tidak?" tanya Lisa, di mana saat ini dia sudah berada di rumah–lebih tepatnya di dalam kamarnya dan Sbastian. Lagi-lagi ayah mertuanya tak pulang, ada tugas di keluarga Abraham. "Kue yang kumakan?" tanya Sbastian, naik ke atas ranjang kemudian duduk di sebelah isrtinya. Lisa menganggukkan kepala. "Itu kue yang kubuat khusus untuk Mas Sbastian. Sebenarnya kue yang belum pernah kubuat. Mas orang pertama mencoba." Sbastian mangu
"Kau mau apa?!" ketus Sbastian. Sekarang dia ingat siapa pria ini, pria di rumah sakit yang pernah dijenguk oleh istrinya dan adiknya. Hell! "O-oh." Jonny cukup gugup, menoleh sejenak pada Lisa lalu kembali menatap pria tinggi tersebut dengan ekspresi kaku, "jangan salah paham, Pak. A-aku ke sini datang untuk memesan kue ke Lisa. Ka-kami hanya teman," ucap Jonny, takut jika pria ini salah paham padanya dan Lisa. Dari wajah pria ini, menjelaskan jika dia memang salah paham. Terlebih tatapannya yang tajam, seolah ingin membunuhnya! "Hah?" Lisa bengong sejenak mendengar ucapan Jonny, lalu dari tertawa kecil. "Tenang saja, Jonny. Mas Sbastian tak mungkin salah paham. Dia baik hati dan berpikir terbuka kok," ucap Lisa, dengan manis pada suaminya dan juga Jonny. Mau tak mau Sbastian ikut tersenyum, padahal dalam hati dia kebakaran. Berpikir terbuka? Benar. Sebisa mungkin Sbastian berpikir terbuka. Akan tetapi jika mengenai masalah ini, dia tak ingin berpikir terbuka. Dia ingin semp
Namun, sangat disayangkan bukan Sbastian yang datang. Melainkan …- "Hai, Lisa," sapa Jonny ramah, senyum manis pada Lisa. "Oh, hai juga, Kak Jon," sapa Lisa hangat dan ceria, terlihat gembira, "wah, lama nggak ketemu yah." "Hehehe …." Pria itu menggaruk tengkuk, bersikap malu-malu di hadapan Lisa. "Begini, aku mau lihat kue … maksudku memesan kue." Lisa tertawa kecil melihat sikap Jonny yang kaku dan malu-malu padanya. Sebenarnya dia juga canggung, mengingat dia dan pria ini sudah lama tak berbagi kabar. "Mau lihat-lihat dulu, boleh kok, Kak. Atau mau pesan langsung juga boleh banget tuh," ucap Lisa ramah. "Oh begitu yah." Jonny berkata canggung, "aku kurang paham dengan yang begini-begini, tapi … baiklah, aku lihat-lihat dulu." "Ayo, Kak," ucap Lisa, membawa Jonny berkeliling toko dan etalase. Setiap kue yang dia perlihatkan, Lisa menjelaskan rasa, desain, dan makna dari elemen yang dia gunakan di dalamnya. Kue dekor adalah bagian dari seni dan setiap seni menyimpan makna,
"Mas," panggil Lisa kembali, semakin cemas. Sepertinya dia telah melakukan sesuatu yang membuat Sbastian marah padanya. Apa karena Lisa pergi menemui klien-nya dan tak mengabari pria ini? Apa siang tadi Sbastian datang? "Oh." Sbastian ber oh ria, tiba-tiba senyum tetapi sebuah senyuman yang terasa hambar, "sudah mau pulang?" tanya Sbastian setelahnya. Lisa menganggukkan kepala. "Tapi bentar lagi yah, Mas." "Humm." Sbastian menganggukkan kepala, "aku menunggumu di mobil," lanjut pria itu, memilih menunggu Lisa di dalam mobil daripada menunggu di dalam toko. Hal tersebut membuat Lisa bertanya-tanya dan merasa murung. Sikap Sbastian terasa dingin padanya. Apakah kehangatan pria itu sudah habis untuknya? *** Saat ini Lisa dalam mobil, pulang menuju rumah. Dia hanya diam karena Sbastian juga diam. Sejujurnya suaminya tipe pria yang tak banyak bicara, hanya saja tidak pernah se hening ini. Lisa merasa bersalah meskipun dia sendiri tak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat se
"Coba lihat ini, Bunny. Aku juga memasang wajahmu di wallpaper handphone ku," lanjut Sbastian, menunjukan wallpaper hpnya yang baru ia ganti–memasang wajah istrinya di sana. Yah, Sbastian memutuskan untuk memasang wajah istrinya di mana-mana. Entah di layar handphone, photo profil pesan dan aplikasi lainnya, bahkan photo profil akun email. Dan dia melakukan itu agar seluruh dunia tahu bahwa dia sudah menikah. "Hehehe …." Lisa antara malu, salah tingkah, meringis, dan grogi melihat wajahnya terpasang sebagai wallpaper sang suami. Yah, dia tahu pria ini manis dan romantis. Hanya saja, dia tak pernah kepikiran bahwa Sbastian akan seperti ini. Maksud Lisa, Sbastian adalah pria dewasa yang sudah kepala tiga, dan pria yang sudah berusaha matang rasanya tak mungkin ada di era romantis hingga memasang wajah kekasihnya sebagai wallpaper handphone. Tapi … apa Sbastian ke pacarnya dulu, juga seperti ini? Astaga! Entah kenapa Lisa risau memikirkannya. Sepertinya dia harus menanyakan periha
"Tita," panggil seseorang, membuat Tita yang sedang asyik minum coklat panas sambil meledek Lisa dan Sbastian, segera menoleh ke arah sosok yang memanggilnya. Raut muka Tita yang dipenuhi oleh ekspresi jahil, seketika berubah muram. Bukan tidak senang suaminya datang ke tempat ini, akan tetapi dia merasa bahwa seseorang sedang berusaha menyingkirkannya dari tempat ini. Tita segera menoleh berang ke arah kakaknya, melayangkan tatapan malas bercampur kesal. Di sisi lain, Sbastian begitu senang melihat Damian datang. Akhirnya si tukang meledek dan pengganggu ini akan pulang! "Kak Damian kok datang ke sini?" tanya Tita, segera menghampiri suaminya. "Menjemputmu," jawab Damian seadanya, senyum tipis pada istrinya. Saat Tita sudah di dekatnya, dia mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala wanita cantik dan menggemaskan tersebut. "Mau kencan denganku?" bisik Damian pelan pada istrinya. Awalnya Tita terlihat bingung. Namun, setelah konek dan paham apa itu kencan, dia langsung m