Holla, MyRe. Semoga kalian suka dengan novel baru kita. Di novel ini akan banyak kejutan, jdi tetap pantengin novel kita dan jangan sampai ketinggalan yah, MyRe. IG penulis:@deasta18
"Apa?" Carmen memekik kaget, tak menduga kalau suaminya adalah mantan chef hebat. "Pelankan suaramu, Carmen," bisik Teresia, meringis karena Carmen tiba-tiba memekik dan sekarang semua orang menoleh pada Carmen. Carmen menutup mulut sendiri, cukup kikuk karena semua orang saat ini sedang memperhatikannya. Carmen semakin gelisah karena dia telah dilihat oleh Raymond. Namun, entah kenapa, pria itu melayangkan tatapan marah dan dingin padanya. Apa kesalahan yang Carmen lakukan? Tidak ada bukan?! "Ambilkan seragam kokiku," titah Raymond pada Diego, nadanya dingin dan datar–terus menatap ke arah sosok perempuan yang terlihat menunduk dalam, berdiri di belakang seorang pria. Cara perempuan itu bersembunyi di balik tubuh pria tersebut, seperti sedang mencari perlindungan. Apakah Raymond menakutkan baginya? Raymond terus menatap, menunggu Carmen mendongak dan melihat ke arahnya. Akan tetapi, perempuan memilih terus menunduk, sepertinya tak ingin dikenali oleh Raymond. Setelah
"Bagiamana dengan ini, Mas?" tanya Carmen, keceplosan memanggil 'mas pada Raymond. Untung suaranya pelan. Raymond menoleh pada istrinya, lalu menatap udang yang telah Carmen bersihkan. "Sudah rapi tetapi kau memakan waktu cukup lama hanya untuk membersihkan satu udang, Sweetheart," jawab Raymond dengan nada bersahabat dan hangat. Carmen dibuat menganga karena perubahan nada bicara Raymond. Dia terkejut! Sebelumnya Raymond terkesan dingin dan ketus, tetapi mendadak sangat lembut. Suaranya yang berat dan hangat, menyapa kalbu dengan mesra. Carmen dibuat terkesima. Carmen lagi-lagi merasa kalau Raymond ini aneh. Emosi pria ini mudah berubah-ubah. Sayang sekali, Carmen belum bisa memastikan apa yang membuat emosi Raymond berubah-ubah. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Carmen merasa senang. Dia seperti merasakan kehadiran 'Mas Kaizer-nya yang sopan dan manusiawi. Yah, walaupun masa itu dia berinteraksi dengan suaminya hanya lewat pesan, akan tetapi Carmen sangat mengagumi 'Mas Kaize
"Habiskan makananmu, Wifey." Deg deg deg' Carmen membulatkan mata, senyuman manis di bibir seketika lenyap. Ekspresi muka yang awalnya terlihat ceria berubah gugup, pucat, dan tegang. Mata bulat Carmen bergerak melirik pria tampan yang duduk santai di sebelahnya. Tampang wajah pria matang nan penuh pesona tersebut terlihat tenang, seakan ucapannya barusan bukan hal yang memberikan dampak apapun. Dengan muka yang masih terpasang kaku, Carmen menoleh pada sahabatnya– ekspresi Teresia terlihat terkejut, bola mata perempuan itu hampir meloncat dari tempat. Di sisi lain, Bayu tak kalah kaget dari Teresia. Tak hanya mereka berdua, orang yang berada dalam ruangan itu juga terlihat kaget. "A- ahahaha … typo." Carmen tertawa kaku, menunjuk Raymond dengan jari telunjuk yang mungil. "Maksudku disartria." Raymond meraih telunjuk Carmen yang menunjuk ke arahnya. Dia menyentak tangan perempuan itu sehingga Carmen berakhir duduk di atas pangkuannya. "Jangan bilang kau lupa lagi pada suamimu,
Carmen menatap sejenak pada mobil lalu kembali menatap layar HP, memeriksa siapa yang menelponnya. 'Suamiku tercinta.' "Is, nama kontaknya kenapa begini?" Carmen bermonolog sendiri, kaget melihat nama kontak yang menelponnya. Namun mengingat jika handphone ini adalah handphone pemberian Raymond, pasti yang menamai kontak di sini adalah Raymond. Handphone ini adalah handphone milik Raymond. Sebelum pria itu berikan padanya, Raymond lebih dulu me-riset ulang. Mungkin beberapa file penting, telah pria itu pindahkan ke handphone miliknya yang lain. Carmen belum sempat mengotak atik handphone ini, selain menambah nomor baru rekan kerjanya–tadi. Sedangkan kontak dengan nama 'Suamiku tercinta' ini, pasti ulah Raymond. Tapi-- apa iya Raymond?! Ah, jelas Raymond. Tidak mungkin Carmen melakukanya tanpa sadar. Tiba-tiba saja sebuah tangan terulur ke hadapan Carmen. Jemari tangan kokoh tersebut menyentuh ikon berwarna hijau sehingga sambungan telepon terhubung. Setelah itu, dia memeg
"Aku Siran Aurlesya, cinta masa kecil Raymond," ucap Siran dengan nada bangga, tersenyum tipis pada Carmen, "tetapi itu hanya masa lalu. Sudah menjadi histori untukku dan Raymond," lanjutnya–masih berbicara dengan nada anggun dan lembut. Raymond mengatupkan rahang, tidak suka pada Siran yang memperkenalkan diri seperti ini. Seharusnya yang telah berlalu tak perlu diungkit, bagaimana jika Ura-nya salah …- "Wah, daebak," puji Carmen dengan nada riang dan manis, menyambut tangan Siran dengan semangat, "kebetulan aku memang sangat ingin ke museum. Namaku Carmen Gaura Ab--" Ucapan Carmen berhenti karena dia kurang pede memperkenalkan diri dengan menyertakan nama belakang keluarga suaminya. Sedangkan Raymond, rahangnya semakin mengatup kuat, menahan kemarahan karena Carmen tak menyertakan nama keluarganya di belakang nama Carmen. Ini membuktikan kalau Carmen belum menerimanya dengan sepenuhnya. Siran menatap bingung pada Carmen, sedikit merasa aneh kerena Carmen tiba-tiba menying
"Raymond, makanan Talita belum habis." Siran langsung mengcekal pergelangan tangan Raymond, membuat pria itu berhenti melangkah. Melihat itu, Carmen hanya dapat tersenyum getir. "Aku terbiasa terluka, aku tidak apa-apa. Maksudku … aku bisa mengobati sendiri. Aku pamit, Mas Kaizer," ucap Carmen, segera beranjak dari sana. "Ura." Carmen pura-pura mengangkat telepon supaya bisa mengabaikan Raymond yang memanggilnya. Dia juga berjalan cepat, terlihat tergesa-gesa. Mungkin orang-orang di ruangan itu mengira Carmen terburu-buru karena takut terlambat ke tempat kerja, akan tetapi Carmen tergesa-gesa karena dia tak ingin bertahan lama di ruangan itu. Melihat Raymond bersama Siran dan Talita, Carmen semakin sadar kalau dia hanya sebatas hiasan. *** Carmen sudah tiba di tempat kerja, dapur untuk para koki mengolah makanan. Karena Raymond sudah tak datang, Carmen bekerja dengan Bayu. "Carmen, tolong bantu aku membuat adonan tepung basah," pinta Bayu secara sopan dan lembut pada
Tuk' Raymond menyentil kening Carmen. Dang! Cerai?! Apa itu cerai?! "Tidak ada perceraian!" dingin Raymond. Dia berdecak ketika melihat cara Carmen menggoreng ayam. Raymond langsung mematikan kompor, memanggil salah satu chef senior dan menyuruhnya melanjutkan tugas Carmen. "Kau perlu memulai dari awal, Wifey. Caramu menggoreng masih berantakan," ucap Raymond datar, bersedekap dingin sembari melayangkan tatapan tajam pada Carmen. Carmen meneguk saliva susah payah, jantungnya berdebar sangat kencang dan firasatnya tak enak. Dari cinta ke ayam. Apakah karena cinta ditolak Raymond dendam pada Carmen?! Habislah dia! **** Ini ke dua puluh kalinya Carmen menggoreng ayam dan Raymond selalu mengatakan dia gagal. Padahal Carmen merasa jika ayam hasil gorengannya sudah berhasil akan tetapi tetap saja di mata Raymond, ayamnya jelek serta tak layak. Para koki senior dan beberapa teman dekat Carmen–seperti Teresia maupun Bayu, menatap iba padanya. Vincen dan koki senior tahu s
"Kurasa bakat memasak mu turun pada Talita karena kecil-kecil dia sudah bisa menggoreng nugget loh," ucap Siran dengan semangat, tiba-tiba muncul dari belakang Raymond–bersama dengan putri kecilnya. Carmen mendengar ucapan Siran karena dia cukup dengan pintu. Carmen seketika membuang muka, menarik kotak bekal milik Teresia lalu makan dengan sangat lahap dan terburu-buru. Dia kesal, dia marah dan … kenapa Siran ada di sini?! Carmen semakin kesal karena Raymond dan perempuan itu duduk satu meja, berjarak dua meja dari tempat Carmen. Sejujurnya, Teresia cukup syok karena bekalnya dirampas oleh Carmen. Namun, dia mengabaikan hal itu, memilih simpati pada sahabatnya. Perempuan yang bersama Raymond, sepertinya dia orang terdekat Raymond. Mungkin itu alasan kenapa Carmen mendadak makan dengan gila-gilaan. Pasti Carmen terganggu atau cemburu melihat suaminya makan dengan perempuan lain. "Umm … perempuan itu siapa, Carmen?" tanya Teresia berbisik pelan karena penasaran pada perempua
Belum memulai dan dia sudah kalah. Sedangkan Tita, dia menganga lebar karena syok mendengar perkataan Jonny tadi. Damian meraih kotak di tangan Tita lalu asal meletakkannya di rak. "Ayo," ucap Damian, menarik Tita supaya pergi dari sana. Tita sendiri masih syok, cukup malu dan masih tak paham kenapa Jonny bisa mengatakan hal seperti tadi. Sekarang Tita jadi semakin takut dengan pria di sebelahnya ini. Jangan cuma mau enaknya saja.' Astaga, ucapan Jonny tadi-- kenapa terasa sangat mengerikan bagi Tita? Yang membuatnya semakin mending adalah Jonny menyuruh Damian menikahinya. Gila! "Kak Damian tidak perlu mengindahkan ucapan temanku tadi. Sepertinya dia sedang ada masalah," ucap Tita gugup. Di mana saat ini dia dan Damian sudah di depan mini market, menunggu Sbastian menjemput. Sebetulnya Tita masih gugup dan canggung karna perkataan Jonny tadi. Tapi, karena jajannya dibayar oleh Damian, Tita memberanikan diri untuk bersuara. "Humm." Damian berdehem singkat. "Sebe
Tita malah duduk di sana–bersebelahan dengan Damian. "Ck, kenapa kau duduk di belakang, Dek? Sini, pindah ke depan," ucap Sbastian, menoleh sambil melayangkan tatapan penuh peringatan pada Tita. Tita menganggukkan kepala lalu pindah ke depan. Mobil berjalan dan Tita tak banyak bicara karena canggung pada Damian. Sebetulnya Tita tipe yang banyak bicara dan berisik, tetapi dia pilih-pilih orang untuk memperlihatkan sifat tersebut. Contohnya pada Damian, sepertinya itu tak cocok karena Damian tipe yang pendiam dan tak banyak bicara. "Loh, kenapa kita ke sini, Kak?" Tita memprotes, mengerutkan kening lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Daripada kau bekerja di perusahaan orang lain, lebih baik kau bekerja di perusahaan Kak Damian," ucap Sbastian. Dia segera turun kemudian membukakan pintu untuk Damian. Tita buru-buru turun kemudian mengikuti kakaknya. "Kak, tapi aku bukan anak tata boga, manajemen ataupun ekonomi. Aku agribisnis," ucap Tita dengan setengah berbisik
Setelah makan malam bersama, keluarga Diego masih belum pulang. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas pernikahan Damian dan Olive lebih serius. "Sudah kukatakan aku tidak ingin menikah," dingin Damian, melayangkan tatapan kesal bercampur marah pada setiap orang di sana. Dia sangat tak suka dipaksa, terlebih tentang pernikahan. Carmen memperhatikan putranya secara lekat, keningnya mengerut dan matanya sedikit memicing. Sebelumya dia bertanya pada putranya dan Damian sudah bersedia. Lalu kenapa sekarang Damian menolak keras? Bahkan putranya terlihat sangat marah. "Tak apa-apa jika Tuan muda tak mau, dan kuharap kita semua tak memaksa Tuan muda," ucap Diego, tak masalah jika Damian menolak menikah dengan Olive. Tentu! Putri konglomerat saja Damian tolak, apalagi hanya putri angkat dari seorang kepercayaan sepertinya. "Damian tidak bisa menolak. Mau tak mau Damian menikah dengan Olive. Minggu depan kalian akan bertunangan," putus Lennon, memaksa agar Da
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti seta
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastian
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada