***
"Bagaimana? Trik Tanteku berhasil di kamu nggak?" tanya Teresia, di mana saat ini Carmen sudah di hotel. Dia kembali bekerja seperti biasa. Meskipun tadi malam Raymond sempat baik saat menyentuhnya, akan tetapi paginya pria itu langsung berubah dingin padanya. Sejujurnya Carmen sangat galau, dia bimbang antara ingin melanjutkan misinya untuk mendamaikan suaminya dan ayah mertuanya, atau dia berhenti. Raymond memperingatinya secara keras. 'Aku tidak ingin hubungan kita retak.' Itu perkataan Raymond yang berhasil membuat Carmen cemas. Kalimat itu bahkan menghantuinya hingga ke alam mimpi– di mana dalam mimpinya dia tetap nekat membantu Lennon untuk berdamai dengan Raymond, akan tetapi pada akhirnya Carmen gagal, berakhir Raymond menceraikannya lalu mengusirnya saat tengah malam yang dingin. Itu mimpi yang sangat buruk, Carmen sangat takut jika itu menjadi kenyataan. "Heh!" Teresia menepuk pund"Jamal," gumam pria itu pelan, menatap dingin dan kesal pada Carmen. Itu membuat Carmen mengerutkan kening karena bingung. Dia tak melakukan apa-apa, tapi pria ini menunjukkan wajah kesal padanya. Aneh! "Hai, Pak Harlen. Selamat pagi menjelang siang, Pak," sapa Carmen ramah, meskipun Harlen terlihat menunjukan ekspresi bad mood padanya. Harlen keluar dari lift kemudian berhenti di depan Carmen. Sejujurnya Carmen perempuan yang cantik dan menarik. Hanya saja tingkahnya luar biasa menguji kesabaran! Sampai sekarang dia masih bertanya-tanya, kenapa Raymond mempertahankan perempuan abnormal ini sebagai istrinya? Padahal Raymond terkenal mudah marah. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Harlen dengan nada ketus. "Loh." Carmen mengerjap beberapa kali, menatap cengang pada Harlen, "ini kan perusahaan suamiku. Terserah aku dong mau datang ke sini untuk apa. Seharusnya aku yang bertanya, Pak Harlen ke sini buat a
Carmen menatap tak percaya pada suaminya, dia senang karena Raymond akhirnya bersedia mendengarkan Carmen–membahas mengenai kematian ibunya. Namun, Carmen cukup ragu karena mimpinya membuatnya takut. Bagaimana jika Raymond marah dan berujung menceraikannya? Meski sudah berjanji tak akan marah, tetapi Carmen tetap tak yakin pada suaminya-- mengingat akan ada banyak keburukan ibu pria ini yang akan Carmen ungkap. Di sisi lain, Carmen juga merasa harus menceritakannya. Miminya bukan hanya tentang Raymond yang menceraikannya, tetapi juga mimpi bertemu dengan seorang perempuan yang mengaku sebagai ibu Raymond. Carmen tak ingat wajahnya, saat dia bangun dia sudah lupa seperti apa wajah perempuan dalam mimpi tersebut. Tetapi dia ingat apa yang perempuan itu katakan padanya. Dia mengatakan jika Raymond tak boleh bahagia, Raymond harus terus mencintainya agar Raymond tak menerima cinta orang-orang yang tulus laganya. Raymond harus menderita seumur hidup–sebagai karma karena Raymond membua
"Maaf, Ayah."Deg'Mata Lennon melebar saat mendengar dua kata yang keluar dari bibir istrinya tersebut. Jantungnya berdebar kencang dan hatinya bergetar. Namun, baru saja Lennon ingin membalas pelukan Raymond, tiba-tiba saja Raymond meluruh–bersimpuh, berakhir bertekuk lutut di kaki ayahnya. Lagi-lagi Lennon dibuat terkejut oleh tindakan Raymond, hatinya semakin meringis. Dia terharu tetapi sesak melihat anaknya harus bertekuk lutut di kakinya. Vior dan anak buahnya yang lain yang juga menyaksikan, ikut kaget. Mereka menatap Raymond dengan pandangan berkaca-kaca. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa menyaksikan Raymond berpelukan dengan ayahnya. Anak yang tersesat dan kehilangan arah ini kembali menemui ayahnya. "Maafkan aku, Ayah. Maaf …." Raymond kembali meminta maaf, bersujud di kaki ayahnya–menjatuhkan air mata, menangis sesak mengingat kekejamannya pada ayahnya. Berapa jahatnya Raymond sebagai seorang anak. Dia membenci ayahnya yang begitu tulus mengasihi serta menyayan
"Chestnut, makan yang banyak," ucap Lennon, di mana saat ini dia, Raymond dan menantunya sedang makan bersama. Setelah saling bermaaf-maafan dengan putranya, Lennon tak membolehkan keduanya untuk pulang. Dia ingin Raymond dan Carmen menginap dan makan bersama dengannya. Ah, dia sudah lama merindukan moment ini, dan malam ini akhirnya harapannya terwujud. Kerinduan Lennon akhirnya terobati. Putranya kembali padanya! "Iya, Ayah," jawab Carmen, tersenyum malu pada ayahnya. "Kau sedang tidak malu-malu bukan?" tanya Lennon kemudian, memperhatikan piring menantunya yang memperlihatkan makanan yang sedikit. Biasanya anak ini selalu makan dalam porsi banyak. Carmen menggelengkan kepala, memperlihatkan cengiran pada mertuanya. "Sepertinya Nona Carmen memang malu-malu, Tuan. Soalnya ada … ekhmmm," ucap Vior, diakhiri deheman untuk menggoda Carmen. Ucapan Vior tersebut berhasil membuat yang lainnya tertawa, seketika menatap geli ke arah Carmen. Sedangkan Carmen, perempuan cantik ters
Talita menarik lengan kemeja Raymond, membuat Raymond menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanya Raymond datar–Talita terlihat gugup dan takut. Talita hanya diam, mendongak ke arah Raymond dengan sesekali menoleh ke takut ke arah Lennon. Talita sudah tahu bahwa Lennon adalah ayahnya dan Raymond. Pria yang sering ia panggil Tuan Lemon ini adalah kakaknya. Namun, meskipun begitu, Talita sangat takut pada Lennon. Pria itu galak dan selalu menatap tajam ke arahnya. "Jangan ganggu putraku. Kemari!" marah Lennon pada Talita, membuat gadis kecil tersebut tersentak kaget dan menatapnya dengan penuh ketakutan. Talita memang putri kandungnya. Akan tetapi, dia membenci ibu perempuan ini dan dia tidak bisa menyayangi anak ini. Melihat anak ini saja, Lennon sudah merasa sangat jijik. Bagaimana tidak? Anak ini hasil dari kesalahan yang sangat kotor. Lennon tidur dengan perempuan yang sudah ia anggap keponakan–putri dari temannya sendiri, yang dimana tumbuh kembang perempuan itu ikut Lennon saksikan.
"Aku kembalikan ke Mas Kaizer. Soalnya itu buku milik Mas Kaizer."Raymond menatap buku di atas pangkuannya kemudian meraihnya. Dia langsung menyembunyikan buku tersebut, menoleh pada Carmen dengan tatapan datar. Sedangkan Carmen, dia memperlihatkan senyuman tak enak–langsung menatap ke arah jendela di sebelahnya. 'Kan! Sudah kuduga, Mas Kaizer pasti kesal padaku karena Ayah memberikan buku itu padaku. Untung aku langsung memberikan bukunya ke dia.' batin Carmen, hanya diam setelahnya karena takut berbicara pada suaminya. Yang ada di otaknya, Raymond kesal padanya. Pria ini pasti marah karena Lennon memberinya buku legendaris milik Raymond pada Chestnut. Setelah tiba di hotel, Carmen segera turun dari mobil. Dia tak mengatakan apa-apa pada Raymond, dan dia terkesan buru-buru meninggalkan suaminya. "Tuan, apa kita langsung berangkat ke kantor?" tanya Diego yang sedang mengemudi. Raymond mengamati istrinya yang berlari kecil ke dalam hotel. Setelah itu dia menganggukkan kepala, di m
Carmen melipat laporan pemeriksaan dan memasukkannya dalam tas. Raut mukanya pucat dan tegang, mata membulat serta tatapan kosong. Dia kira dia hanya demam biasa karena cuaca yang sering berubah-ubah. Namun, ternyata dia salah! "Bagaimana hasilnya, Car?" tanya Teresia, setelah Carmen keluar dari ruang pemeriksaan–mendatanginya di tempat tunggu. Teresia memang tak ikut masuk untuk menemani Carmen karena dilarang oleh Carmen. Mereka adalah sahabat yang sangat garing, mudah tertawa dan sulit serius jika sudah bersama. Oleh sebab itu, Carmen menolak ditemani masuk oleh Teresia. Carmen takut tertawa terus saat pemeriksaan! "Gejala perubahan cuaca saja, Tere," jawab Carmen mantap, tersenyum tipis pada Teresia. "Aku harus banyak minum air putih dan sebaiknya istirahat juga. Itu kata dokter," lanjutnya berbohong. "Ouh, syukurlah bukan penyakit serius." Teresia merangkul Carmen lalu keduanya berjalan beriringan–pergi dari sana. "Berarti sekarang kamu harus pulang dong. Kata dokter ka
"Auu …." Clarissa terjatuh cukup kasar ke lantai, dia meringis lalu melayangkan tatapan marah pada Carmen. "Sialan kamu, Carmen! Dasar anak buangan! Sampah!""Sampah?! Hei, kamu dan Ibumu padasitisme! Dan aku anak buangan?!" Carmen menunjuk diri sendiri, "kalian semua yang kubuang! Buktinya aku pergi meninggalkan keluarga Wijaya, bukan kalian yang meninggalkanku.""Argkkk!" Clarissa menjerit marah karena tak terima dengan perkataan Carmen, dia segera bangkit dan langsung menjambak rambut Carmen. Carmen tentunya tak mau kalah. Dia balik menjambak rambut Clarissa secara membabi buta, meluapkan semua kemarahan serta rasa sakit yang dia terima selama ini melalui jambakan X 3000 ultra pro max miliknya. Orang-orang mulai mengerumuni mereka, menonton keduanya yang sedang jambak-jambakan. Teresia sendiri, awalnya dia ingin memisahkan Carmen dan Clarissa. Dia cukup khawatir pada kondisi Carmen yang sedang sakit. Namun, melihat Carmen lebih unggul dan mendominasi, Teresia beralih menjadi supp
Belum memulai dan dia sudah kalah. Sedangkan Tita, dia menganga lebar karena syok mendengar perkataan Jonny tadi. Damian meraih kotak di tangan Tita lalu asal meletakkannya di rak. "Ayo," ucap Damian, menarik Tita supaya pergi dari sana. Tita sendiri masih syok, cukup malu dan masih tak paham kenapa Jonny bisa mengatakan hal seperti tadi. Sekarang Tita jadi semakin takut dengan pria di sebelahnya ini. Jangan cuma mau enaknya saja.' Astaga, ucapan Jonny tadi-- kenapa terasa sangat mengerikan bagi Tita? Yang membuatnya semakin mending adalah Jonny menyuruh Damian menikahinya. Gila! "Kak Damian tidak perlu mengindahkan ucapan temanku tadi. Sepertinya dia sedang ada masalah," ucap Tita gugup. Di mana saat ini dia dan Damian sudah di depan mini market, menunggu Sbastian menjemput. Sebetulnya Tita masih gugup dan canggung karna perkataan Jonny tadi. Tapi, karena jajannya dibayar oleh Damian, Tita memberanikan diri untuk bersuara. "Humm." Damian berdehem singkat. "Sebe
Tita malah duduk di sana–bersebelahan dengan Damian. "Ck, kenapa kau duduk di belakang, Dek? Sini, pindah ke depan," ucap Sbastian, menoleh sambil melayangkan tatapan penuh peringatan pada Tita. Tita menganggukkan kepala lalu pindah ke depan. Mobil berjalan dan Tita tak banyak bicara karena canggung pada Damian. Sebetulnya Tita tipe yang banyak bicara dan berisik, tetapi dia pilih-pilih orang untuk memperlihatkan sifat tersebut. Contohnya pada Damian, sepertinya itu tak cocok karena Damian tipe yang pendiam dan tak banyak bicara. "Loh, kenapa kita ke sini, Kak?" Tita memprotes, mengerutkan kening lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Daripada kau bekerja di perusahaan orang lain, lebih baik kau bekerja di perusahaan Kak Damian," ucap Sbastian. Dia segera turun kemudian membukakan pintu untuk Damian. Tita buru-buru turun kemudian mengikuti kakaknya. "Kak, tapi aku bukan anak tata boga, manajemen ataupun ekonomi. Aku agribisnis," ucap Tita dengan setengah berbisik
Setelah makan malam bersama, keluarga Diego masih belum pulang. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas pernikahan Damian dan Olive lebih serius. "Sudah kukatakan aku tidak ingin menikah," dingin Damian, melayangkan tatapan kesal bercampur marah pada setiap orang di sana. Dia sangat tak suka dipaksa, terlebih tentang pernikahan. Carmen memperhatikan putranya secara lekat, keningnya mengerut dan matanya sedikit memicing. Sebelumya dia bertanya pada putranya dan Damian sudah bersedia. Lalu kenapa sekarang Damian menolak keras? Bahkan putranya terlihat sangat marah. "Tak apa-apa jika Tuan muda tak mau, dan kuharap kita semua tak memaksa Tuan muda," ucap Diego, tak masalah jika Damian menolak menikah dengan Olive. Tentu! Putri konglomerat saja Damian tolak, apalagi hanya putri angkat dari seorang kepercayaan sepertinya. "Damian tidak bisa menolak. Mau tak mau Damian menikah dengan Olive. Minggu depan kalian akan bertunangan," putus Lennon, memaksa agar Da
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti seta
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastian
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada