“Selamat ulang tahun, Sasi.”
Sasi tersenyum lembut, kemudian gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Apa kau yang menyiapkan semua hadiah ini untukku?” tanyanya dengan suara pelan. Tom mengangguk, lalu mengecup dahi Sasi dengan sayang. Setidaknya itu yang dilihat Sasi kala itu. “Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.” Saat itu adalah ulang tahun Sasi ke 26 tahun. Tepat ketika Tom ingin melamarnya. Suasananya begitu meriah, hingga tak ada yang sadar semabuk apa Sasi malam itu. Para tamu pun mabuk, hingga tak sadar apa yang sudah terjadi. Sasi sendiri berdiri dengan keadaan kepala berdenyut, langkahnya menjadi tidak stabil. Sasi berusaha berjalan ke arah kamar yang telah dipesan oleh Tom untuk mereka dapat habiskan malam penuh cinta tersebut. Gadis itu tidak terlalu mengingatnya, ia hanya memasuki kamar yang cukup gelap, lalu mulutnya ditutup kain dengan aroma yang cukup menyengat, hingga gadis itu berontak. “Tom, kaukah itu?” lirihnya. Namun, tubuhnya yang telah dikuasai alkohol yang memabukkan, membuatnya limbung dan jatuh pingsan. Saat dia membuka mata, dirinya telah berada di tempat yang gelap, bau besi karat, lembab dan banyak tikus serta hewan melatah lain. ^^^ Sasi bergerak tidak nyaman, jantungnya berdegup ketika mereka menuju lift yang menuju lantai atas. Tangannya mencengkeram begitu erat kemeja lelaki yang tidak dikenal yang saat ini sedang menggendong dirinya. Perempuan itu bahkan melupakan luka bakar yang berada di punggungnya, ia ingin segera bebas. “Bisakah kau sembunyikan wajahmu?” Lelaki itu berkata saat mereka sampai di lantai atas. Tanpa diperintah dua kali, Sasi sudah menelusupkan wajahnya di dada lelaki yang tak dikenalnya itu. Terlalu banyak orang asing, serta suara musik yang begitu menggema keras. Sasi memang sudah terbiasa dengan keheningan serta kegelapan, semua ini terasa asing baginya. Lalu, langkah pria itu berhenti ketika mereka sampai di mobil yang sudah menyambut, inilah saatnya untuk kabur bagi gadis malang itu. Saat pria misterius tersebut menurunkan tubuhnya. Tanpa berkata apa-apa, Sasi memilih membalikkan tubuhnya dan langsung berlari. Hanya beberapa langkah saja, sebuah tangan memeluk pinggangnya, menarik tubuhnya dengan mudah hingga ia menabrak sesuatu yang terasa keras di belakangnya. Sasi langsung memberontak dengan tubuh bergetar. Tubuhnya melayang, ia kembali diangkat. Sasi kembali memberontak ketika dirinya berhasil duduk di dalam mobil yang akan membawanya pergi entah ke mana. Kenangan lalu kembali berkelebat di dalam pikirannya. Dulu ia juga dibawa pergi dan berakhir di tempat terkutuk itu. Apa sekarang dirinya akan berakhir di tempat yang lebih menyeramkan? Tanpa sadar air matanya mengalir, Sasi terisak dengan tubuh bergetar. Kepalanya menggeleng panik ketika mobil yang dinaikinya mulai berjalan. “Hei, kau kenapa?” Lelaki yang menggendong dirinya itu mendekat, berniat ingin memeluknya agar dirinya sedikit tenang. Namun, bukan membuatnya tenang, Sasi malah semakin bergetar. Bersembunyi dibalik tuxedo kebesaran yang menyelimuti tubuhnya. Tangannya berusaha menutupi kepala, Sasi sudah siap menerima pukulan yang akan mengenainya. “Aku tidak akan memukulmu, jadi … jangan takut seperti itu. Namamu Sasi Theresia ‘kan? Coba lihat aku, aku di sini untuk menjagamu. Tenang manis, mulai saat ini tidak akan ada yang berani menyakitimu. Aku janji.” Sasi tetap tidak bergerak, kukuh menutup kepalanya dengan tangan. Menyembunyikan wajahnya di dalam kerah tuxedo kebesaran yang dipakainya. Ia tidak bisa mendengar apa pun, yang ada di pikirannya saat ini hanya suara-suara cambuk yang menemaninya selama ini. Bahunya disentuh dengan lembut sebelum tubuhnya ditarik masuk ke dalam pelukan seseorang. Sasi memberontak, tapi kemudian ia sedikit meringis ketika lukanya terasa perih saat ia bergerak. Ada luka baru yang didapatnya beberapa hari lalu. “Mulai saat ini aku adalah tuanmu, namaku Jonatan Allard, dan kau bisa memanggilku dengan sebutan Jo tanpa memakai kata ‘Tuan’. Aku yang akan mengurusmu mulai sekarang. Jadi … kau harus menuruti apa perkataanku.” Perlahan Sasi mendongak, menatap wajah Jonatan dengan pandangan bertanya. Apakah ia akan dipukul jika tidak menuruti perkataan Jonatan? Apakah dia akan mendapatkan siksaan yang lebih parah dari sebelumnya? Banyak pertanyaan lain yang bersarang dalam otaknya. Namun, Sasi memilih diam tak bersuara. Jonatan mengulurkan tangannya, menyentuh lembut bagian rambut Sasi. “Jangan menatapku dengan raut seperti itu. Sudah kukatakan jika aku akan menjagamu, aku tidak akan menyakitimu, Sasi.” Tangan Jonatan berpindah pada ujung bibir Sasi yang tampak membiru, ia yakin jika itu adalah bekas tamparan algojo yang didapatnya tadi. Selain bibirnya yang membiru, ada beberapa luka lain di wajahnya. Beberapa memar di tulang pipi serta dahinya. Bahkan, sebelah kelopak matanya membengkak, membuat mata indah tersebut sedikit tertutup. “Sekejam apa mereka memperlakukanmu, hingga membuat wajahmu seperti ini?” Jonatan mengerutkan dahinya, seolah menyadari sesuatu, lalu dengan sigap ia membuka tuxedo yang menutup tubuh Sasi, menyingkap kain tipis yang dikenakannya dan melihat satu luka yang masih bernanah dan tampak mengerikan. “Ini seperti luka bakar yang berasal dari besi panas atau.” Jonatan kembali bersuara. Kemudian, Jonatan menyentuh pinggiran luka yang masih basah itu dan mendapati Sasi meringis. Wanita itu menarik dirinya dan kembali melindungi kepalanya. Sasi merasa bersyukur ketika melihat Jonatan tidak mendekat. Tubuhnya belum terbiasa disentuh dengan cara yang lembut seperti itu. “Aku ingin mengobati lukamu, jangan takut,” ujar Jonatan kembali mendekat. Lelaki itu tersenyum berusaha menenangkan. Tidak peduli dengan sikap Sasi yang jelas-jelas menolak, Jonatan berusaha menyentuh lukanya dengan sesuatu yang terasa dingin. Bagi Sasi, manusia tidak ada yang baik. Mereka hanya akan baik ketika pertama kali bertemu dengannya. Jika mereka tahu kelemahan serta kekurangannya, mereka akan memanfaatkan lalu menyiksanya, lebih parahnya lagi, mereka akan pergi meninggalkan. “Maaf, aku lupa jika tidak mempunyai persediaan obat lengkap di dalam mobil. Setelah sampai nanti, biar dokter yang akan menanganimu.” Jonatan membasuh luka Sasi dengan cairan yang dingin. Sasi hanya berkedip bingung, memilih untuk tidak menjawab. Ia bahkan tidak terbiasa bersuara, itulah mengapa dirinya hampir saja lupa bagaimana caranya bicara. Jonatan menganjur napas perlahan. “Kau mengerti dengan apa yang kukatakan padamu, Sasi?” Masih tidak mengangguk atau pun merespon, Sasi hanya mengedipkan matanya. Entah itu sebagai sebuah jawaban atau memang sudah saatnya kelopak mata itu bergerak. “Jika kau tidak keberatan dengan ucapanku, kau harus menganggukkan kepalamu sebagai jawaban ‘ya’ dan jika tidak setuju, kau bisa menjawab dengan cara menggelengkan kepalamu,” ujar Jonatan sambil menirukan ucapannya. Sasi menatap dalam. “Apa kau ingin tubuhmu tidak merasakan sakit lagi?” Sasi menganggukkan kepalanya pelan, sedikit merasa ragu. Saat melihat senyum tersungging di bibir Jonatan, ia merasa jika itu adalah hal yang benar. “Gadis pintar.” Jonatan mengacak rambut Sasi dengan pelan.Jonatan mengangkat kedua alisnya, sedikit gugup saat melihat Nathalie yang menajamkan pandangannya. “Kau bilang, kau menemukan gadis ini di tengah jalan? Jangan pikir aku tidak tahu siapa dia, Jo. Kau lupa, jika Brian punya kegemaran yang sama denganmu?” “Baiklah-baiklah.” Jonatan menggenggam kedua bahu Nathalie, mendorongnya masuk dalam kamar. “Kau tahu, jika aku tidak piawai dalam membohongimu, Nath. Dia adalah budak yang kubeli dari kelab. Kurasa suamimu juga tahu itu.” “Kau bahkan tidak pernah membeli budak sebelumnya, apalagi memeliharanya. Apa ….” Nathalie menggantung kalimatnya, kedua bola matanya menelisik ke arah Jonatan. “Jangan bilang karena masalah kita dulu, jadi kau memilih untuk memelihara budak, Jo.” Jonatan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tentu saja bukan, Naht. Aku hanya butuh barang untuk bermain-main. Akhir-akhir ini aku sedikit bekerja keras karena masalah Leo, dan aku butuh sesuatu untuk bisa membuat pikiranku lebih segar.” Nathalie bekacak ping
“Tidak ada masalah yang serius, selain luka-luka yang lumayan parah. Tapi, dia memiliki luka batin yang begitu serius, hingga jiwanya terguncang,” ujar dokter Violetta sambil membetulkan posisi kacamatanya. Jonatan menatap lekat ke arah Sasi. “Jo, aku tidak mau tahu apa yang sudah kau lakukan terhadap gadis malang ini. Namun, karena saat ini dia adalah pasienku, jadi sudah tanggung jawabku.” Jonatan menahan senyumnya. Wanita paruh baya yang sialnya dokter khusus yang ditugaskan untuknya itu, selalu ingin tahu banyak hal untuk kemudian diadukannya kepada Anthony Allard, dengan tambahan sedikit bumbu dramatis. “Kau tenang saja, Vio, karena tidak ada kejadian yang lebih untuk kau ketahui. Aku hanya menolongnya. Katakan pada Ayah, jika putranya ini sudah menjadi lebih dewasa dan baik.” Dokter Violetta terbatuk-batuk, kemudian wanita paruh baya tersebut kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Aku tidak pernah memberitahu apa pun tentangmu pada Anthony, Jo. Jadi, tolong jan
Jonatan tidak tahu apakah perbudakan tempat Sasi berada, memaksa mereka makan dengan gaya anj*ng atau tidak, tetapi melihat bagaimana gaya Sasi makan, sepertinya tempat itu memang mengajarkan budak-budak mereka makan dengan gaya hewan. Lelaki itu meringis. Ia merasa punya hewan dalam wujud manusia. Dia berjalan mendekati Sasi, berjongkok di hadapannya sembari tersenyum lembut. “Aku tidak akan mengambil makananmu, kau boleh makan sesukamu kapan pun kau mau, Sasi. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya makan yang baik dan benar.” Jonatan mengambil piring Sasi yang berada di lantai, membawanya kembali ke atas meja makan lalu mengedikkan dagunya untuk menyuruh gadis itu duduk di atas kursi. “Ini sendok, dan ini garpu. Kau harus memakainya saat. Seperti ini ….” Sasi tidak mengikutinya, gadis itu hanya memperhatikan dengan kedua bola mata membesar, dahinya berkerut sebelum wajahnya perlahan tampak berbinar. Seolah-olah ia kembali mengingat sesuatu yang pernah dilupakannya. Me
Malam itu, Jonatan mengubah posisi tidurnya, berbalik ke kanan lima menit, lalu kembali telungkup. Tidak sampai satu menit, ia kembali mengubah gaya tidurnya menghadap ke kiri. Begitu terus sampai menjelang pagi. Sejak kejadian beberapa bulan lalu tidurnya selalu gelisah. Ia selalu teringat bagaimana dirinya meniduri seorang wanita yang dicintainya. Karena perbuatan Jonatan—Nathalie—memilih menikah dengan orang lain, yang membuat wanita itu tidak bahagia. Jonatan kemudian mengerang frustrasi. Mungkin hanya dirinya yang seperti saat ini, karena bisa saja sekarang Nathalie sedang tertidur nyenyak. Sahabatnya itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah terjadi. Sebetulnya mereka mempunyai perasaan yang sama. Yang berbeda hanya cara dalam memelihara rasa yang mereka miliki. Lalu Nathalie memilih menikah dengan orang lain. Jonatan menatap jam di ponselnya dengan malas, lalu mencari nomor Paman Leonard sebelum meneleponnya, tampaknya malam itu ia akan menghabiskan malam di seb
“Selamat ulang tahun, Sasi.” Sasi tersenyum lembut, kemudian gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Apa kau yang menyiapkan semua hadiah ini untukku?” tanyanya dengan suara pelan. Tom mengangguk, lalu mengecup dahi Sasi dengan sayang. Setidaknya itu yang dilihat Sasi kala itu. “Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.” Saat itu adalah ulang tahun Sasi ke 26 tahun. Tepat ketika Tom ingin melamarnya. Suasananya begitu meriah, hingga tak ada yang sadar semabuk apa Sasi malam itu. Para tamu pun mabuk, hingga tak sadar apa yang sudah terjadi. Sasi sendiri berdiri dengan keadaan kepala berdenyut, langkahnya menjadi tidak stabil. Sasi berusaha berjalan ke arah kamar yang telah dipesan oleh Tom untuk mereka dapat habiskan malam penuh cinta tersebut. Gadis itu tidak terlalu mengingatnya, ia hanya memasuki kamar yang cukup gelap, lalu mulutnya ditutup kain dengan aroma yang cukup menyengat, hingga gadis itu berontak. “Tom, kaukah itu?” lirihnya. Namun, tubuhnya
“Kau haus?” Sasi Theresia, gadis bernasib malang itu tampak mengangguk antusias. Lalu, pria berperawakan tinggi besar yang biasa dikenal sebagai salah satu Algojo itu tersenyum miring. Melepaskan cambuk dari tangannya. “Buka mulutmu!” Perintahnya dengan suara lantang dan keras. Sasi menggeleng. Kedua kelopak matanya sayu. “Aku akan memberimu minum. Cepat!” Sasi membelalakkan kedua bola matanya, kemudian langsung beringsut mundur sembari terus menggeleng-geleng takut. Air matanya mengancam keluar. Di antara puluhan wanita yang berada di sana, hanya dialah satu-satunya yang masih memiliki reaksi terhadap apa pun bentuk tindakan yang dilakukan kepada dirinya. Pasalnya, algojo itu bukan menawarinya minuman. Itu adalah hal terburuk yang akan Sasi ingat. Ruangan itu gelap serta lembab, bau busuk serta karat besi menguar menjadi satu. Terdengar suara nyaring antara besi bertemu dengan kulit, tapi tidak ada jeritan. Segala mimpi buruk seakan bersatu ada di tempat itu, mimpi yan