LOGIN
“Kau haus?”
Sasi Theresia, gadis bernasib malang itu tampak mengangguk antusias. Lalu, pria berperawakan tinggi besar yang biasa dikenal sebagai salah satu Algojo itu tersenyum miring. Melepaskan cambuk dari tangannya. “Buka mulutmu!” Perintahnya dengan suara lantang dan keras. Sasi menggeleng. Kedua kelopak matanya sayu. “Aku akan memberimu minum. Cepat!” Sasi membelalakkan kedua bola matanya, kemudian langsung beringsut mundur sembari terus menggeleng-geleng takut. Air matanya mengancam keluar. Di antara puluhan wanita yang berada di sana, hanya dialah satu-satunya yang masih memiliki reaksi terhadap apa pun bentuk tindakan yang dilakukan kepada dirinya. Pasalnya, algojo itu bukan menawarinya minuman. Itu adalah hal terburuk yang akan Sasi ingat. Ruangan itu gelap serta lembab, bau busuk serta karat besi menguar menjadi satu. Terdengar suara nyaring antara besi bertemu dengan kulit, tapi tidak ada jeritan. Segala mimpi buruk seakan bersatu ada di tempat itu, mimpi yang akan terus disimpan tanpa kemampuan untuk membuangnya. Mereka semua akan dijual. Seharusnya berita tersebut menjadi berita yang membahagiakan. Namun, tentu tergantung siapa yang akan membeli mereka. Nasib mereka akan berubah seiring dengan pemiliknya. “Sekali lagi kukatakan, buka mulutmu!” Sasi menelan ludah dengan susah payah, kerongkongannya begitu kering. Rasa haus yang mencekik membuatnya terpaksa mengerang. Sebuah erangan tidak bisa dikatakan sebagai keributan. Namun, di dalam ruangan sunyi itu, helaan napas yang terlalu kuat juga bisa menjadi gangguan dalam pendengaran. Jika wanita lain akan menurut dengan pandangan kosong, karena jiwa mereka sudah mati, hanya tersisa tubuh tanpa pikiran. Maka, tidak dengan Sasi. Wanita itu bahkan selalu berusaha menolak apa pun yang Algojo perintah. Itulah yang menjadi sebab, dirinya malam ini akan dijual dengan harga yang paling tinggi. “Atas dasar apa kau menolak, P*lacur!” Algojo itu membentak, lalu mendekat dan menjambak rambut Sasi. Kemudian, satu tamparan yang maha kuat mendarat mulus di wajah Sasi, hingga membuat tubuhnya limbung serta telinganya berdengung. Bahkan, sudut bibirnya telah berdarah, sebelum luka lama sembuh, sudah ditimpa dengan luka baru. Satu Algojo lainnya menghampiri mereka. “Kau lupa, jika hari ini mereka dijual? Jangan menyakiti mereka lebih parah atau pelanggan yang berminat semakin sedikit.” “Wajah dia cantik, dan itu satu-satunya perawan yang masih tersisa. Kau bahkan juga tahu jika dia tidak terpengaruh pada obat kita. Dia masih memiliki reaksi, hal yang mustahil jika dia tidak laku malam ini. “ Jika mereka mendapat majikan kejam yang menginginkan mereka menjadi anjing, maka mereka akan melaksanakannya. Makan langsung dengan mulut, memakai kalung anjing, dan menggonggong ketika dipanggil. Seharusnya itu lebih baik, daripada harus tinggal selamanya di dalam ruangan gelap, lembab, serta mengerikan tersebut. Makan makanan busuk setiap hari, lalu mendapat perlakuan kasar. Namun, jika dipikir kembali, seorang dominan tidak mungkin lebih baik dibandingkan para Algojo yang berada di sana. *** Mereka dibawa ke ruangan gelap, yang tampak bersih di antara puluhan ruangan yang berada di sana. Ruangan itu menjadi tempat mereka menunggu giliran untuk dilelang. Gelap dan senyap, sudah menjadi keadaan yang wajar. Hingga rasa kantuk seketika menyerang. Sasi jatuh tertidur. Rasanya ia belum pernah merasakan senyaman ini, tubuhnya terasa lebih segar karena sudah terkena air, dan ditambah juga dengan tempat yang lembab tanpa debu serta bau busuk yang menyengat. Hanya berselang beberapa menit, setelah Sasi terlelap, perutnya ditendang dengan begitu kuat, hingga membuatnya sekonyong-konyong membuka mata dan langsung beringsut. Gadis itu tampak meringis menahan sakit yang tak berkesudahan. Sejurus kemudian, ia menoleh ke arah kanan serta kiri. Sepi. Hanya dirinya yang tersisa di sana saat ini. Para wanita yang berada di ruangan yang sama dengannya tadi sudah tidak ada. Sasi di seret tanpa tahu dirinya akan dibawa ke mana. Hingga sebuah tirai disingkap. Tampak puluhan manusia ada di sana. Sedangkan dirinya menjadi sorot utama. Di paksa duduk disebuah bangku kosong yang berada di tengah-tengah panggung, membuat Sasi kembali diselimuti rasa takut. Seketika ia meringkuk, mencoba menghindar dari sorot mata puluhan manusia dan juga cahaya lampu yang menyakitkan netranya. “Lihat ke depan, dan duduk dengan tegak. Jika tidak, maka cambuk ini akan berakhir di atas tubuhmu,” ujarnya ketus. Terkesan sebagai sebuah ancaman, dan Sasi sudah terbiasa mendengarnya. Matanya melirik takut-takut ke arah cambuk kasar yang berada di tangan algojo, ia berusaha menelan ludahnya dengan rasa gugup. Kemudian Sasi mencoba untuk duduk tegak, meski kepalanya tertunduk dalam. “Tuan-tuan sekalian. Dia adalah aset berharga kami, cantik dan bersih, masih perawan. Dan dia satu-satunya budak yang masih memiliki reaksi. Tapi … tenang saja, jika dia berbuat macam-macam, Anda bisa membawanya kepada kami untuk diisolasi!” Ketukan palu terdengar. Tawaran harga pun dimulai. Hari ini, Sasi akan memiliki majikan baru. Dan … ini jugalah kesempatannya untuk melarikan diri. “Buka bajunya, aku ingin melihat bagaimana kondisi tubuhnya. Bukankah budak ini yang paling spesial dan sampai pada harga tertinggi, aku akan rugi jika ternyata dia tidak benar-benar perawan!” Beberapa pria lain yang mendengar ucapannya mengangguk setuju. Sasi langsung beringsut mundur, berniat turun dari bangku tinggi yang didudukinya. Namun, sayangnya Algojo yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk langsung sigap menghampirinya. Menahan kedua bahu Sasi dan langsung menarik bajunya lepas hingga tubuhnya terekspos. “Jatuhkan tanganmu darinya. Seratus juta euro aku akan membayarnya!” Suara lantang itu menghentikan sorak sorai para pria yang ingin melihat inti tubuh Sasi. Tatapan mereka beralih secara bersamaan ke arah lelaki yang memakai tuxedo navy dengan sebuah topeng serigala. Pria misterius itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah algojo dengan bibir terlihat menukik sebelah. “Aku akan membawanya pulang. Bawahanku yang akan mengurus pembayarannya.” Suaranya begitu seksi. Terkesan tegas. “Berapa tadi? Seratus juta euro? Cukup ‘kan untuk membayarnya?”Kejadian yang telah dilewati, tidak bisa serta merta Sasi lupakan begitu saja. Terlebih nada suara yang terkesan sumbang dan penuh dengan kengerian. Sasi memang sudah lupa dengan sosok dari suara yang selalu terngiang di benaknya itu. Namun, kemana pun dia melangkah, seolah olah dirinya telah disadarkan jika—semua kemalangan ini untuk menghindar dari pemilik suara yang saat ini tengah berdiri di hadapannya dengan wajah yang cukup bringas. “Apa kau tahu, sudah berapa lama ayah mencarimu, hmm? Apa kau tahu rasa malu yang ayah tanggung selama bertahun tahun karena kau kabur!” Suaranya bahkan terkesan ingin menguliti inci demi inci daging Sasi. Tubuh wanita itu semakin bergetar. Bahkan karena rasa takutnya yang begitu besar, Sasi tidak sanggup lagi mengeluarkan air matanya. Alexander Melolo tertawa kacil. “K-kau!” pekiknya sambil menunjuk wajah sang putri. “Apa-apaan kau ini! Kenapa hanya aku yang merasa senang karena telah bertemu kembali denganmu, Naina!”Sasi bahkan telah melupakan
Aroma yang tidak asing. Besi karat, serta bau anyir darah. Suara teriakan karena kesakitan yang terlalu menggema, memekakkan gendang telinga. Perlahan, kesadaran Sasi kembali. Darah sedikit mengering rembas dari helai-helai rambutnya. Gadis itu kemudian berusaha membuka kedua matanya. Awalnya, dia ingin terpejam, karena tak terbiasa dengan silau matahari membuat pandangannya kabur. Namun, kali ini beda. Matanya yang masih tampak sayu-sayup terbuka lebar, ketika kendapati kedua tangannya terikat kuat. Gadis itu saat ini tengah berada di dalam ruangan yang begitu sempit. Dadanya bahkan begitu terasa sesak. Sasi kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Mencoba tenang dengan mengatakan jika ini semua hanyalah bagian dari mimpi buruk. Saat membuka kedua kelopak matanya, dia yakin jika semua ini akan lenyap terbawa arus mimpi dalam tidur. Namun, dia sadar jika ada sesuatu yang nyeri di bagian kepalanya, bahkan aroma anyir dari darah yang sedikit mengering dari helai-helai rambutnya masi
Sasi merengek pada Jonathan. Pasalnya, gadis itu ingin sekali diajak jalan-jalan menikmati suasana di luar sana. Karena merasa tidak tega dengan sang budak—akhirnya Jonathan mengangguk setuju. “Tapi, aku tidak mau membawamu ke pusat keramaian. Di wilayah ini ada sebuah danau bagus. Kau Pasti menyukainya.” Jonathan mencium kening Sasi dengan hangat. “Cepat ganti pakaianmu. Sebelum aku berubah pikiran.”Sasi berhambur masuk dalam kamar. Karena merasa bingung harus berpenampilan seperti apa. Gadis itu pun mengintip Jonathan dari balik pintu kamar. “J-Joe, b-bisakah kau mencarikanku baju?”Sial! Jonathan bahkan sangat hapal, ketika gadis itu merengek seperti itu dengan kedipan mata yang terbilang binal—berarti dia sedang tidak memakai apa pun saat itu. “Jangan berulah, Sasi. Ayolah, kau tinggal ambil baju di dalam lemari. Kalau aku sampai masuk ke dalam kamar saat ini juga kau bakal habis ku makan!”“T-tapi, aku serius, Joe.”Jonathan menghirup udara banyak-banyak kemudian menghembuska
“Nathalie, kau di rumah?” Jonathan menelepon wanita itu ketika Leo sudah pergi. “Aku sedang di butik, ada apa, Jo?” tanya Nathalie dari balik telepon. Jonathan diam sesaat. “Brian ada di rumah? Aku menghubunginya beberapa kali, tapi tidak di respon. Apa dia sibuk?” Suranya datar, bahkan terkesan jauh dari kata marah. “Kau tahu siapa dia. Jam-jam seperti ini, dia masih tidur.”“Katakan padanya, besok malam aku ingin bertemu dengannya di kelab Davin’z.”“Ya, nanti kusampaikan. Bagaiaman kabar Sasi? Apa dia semakin baik? Maksudku, apa dia sudah lebih mengert dengan lingkungannya?”“Ehm. Dia lebih baik dari sebelumnya.”“Syukurlah. Jo, aku rindu denganmu—““Maaf, Nath, aku sedang sibuk.” Jonathan memutus panggilannya sepihak, sebelum sempat mendengar Nathalie melengkapi kata-katanya. “Brian.” Jonathan mengetuk-ngetukkam ujung jarinya pelan di atas meja, sebelah tangannya bertumpu di bawah dagunya. Seola
“Sam, apakah Zack sudah sadar?” Pria itu langsung bertanya ketika selesai mencuci tangannya. Ada bercak darah di sana. “Sudah Tuan, saya sudah mengintrogasinya. Katanya penyusup itu bersembunyi di ruangan urutan empat dari pintu masuk. Dekat dengan sel keenam. Saat mengetahui tidak ada pengawal Anda yang berwajah sepertinya, Zack ingin menangkapnya. Tapi penyusup itu melarikan diri. Dia juga mengatakan tidak menyadari jika ada wanita Anda di sana, Tuan. Yang Zack tahu setelah dia terjatuh, seorang wanita menangkapnya dengan ragu ragu. Dan dia langsung menjerit dan meminta tolong.” Jonathan berkeinginan akan menambah ruang penyekapan pribadinya. Jendela di ruangan utama baru saja selesai dibuat, ruangan itu ingin dijadikan tempat beristirahat para pengawal. Sebab, selama ini ruangan para pengawalnya begitu dekat dengan sel penyekapan. Aroma anyir darah memang sudah bersatu di ruangan itu. Setidaknya bau anyir tidak terlalu dekat jika mereka berada di ruangan utama. Tumbuh besar
Selepas bersenggama, Jonathan menidurkan Sasi di dalam pelukannya. Mereka menghangatkan tubuh satu sama lain di dalam selimut yang sama tanpa mengenakan pakaian. Pikiran Jonathan berkecamuk. Pria itu bahkan tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Dia tidak mengerti, padahal dirinya belum memukul gadis itu sama sekali, hanya menjambaknya. Namun, tubuhnya sedikit demam sejak tadi. Andai suatu saat dia memukul gadis itu, Jonathan akan menjadi salah satu jajaran pria. Pecundang yang hanya bisa menyakiti wanita. Saat berada di ruangan penyekapan miliknya, entah kenapa Jonathan begitu menaruh curiga pada Sasi. Bukan hanya pada gadis itu, tapi kepada semua orang. Namun, kecurigaannya lebih besar pada Sasi, karena gadis itu orang paling dekat dengannya. Bukankah musuh memang kebanyakan tercipta dari orang terdekat sendiri? Tapi, saat melihat gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dan menangis terisak-isak, membuat sesuatu dalam diri Jonathan hancur. Jika







