Malam itu, Jonatan mengubah posisi tidurnya, berbalik ke kanan lima menit, lalu kembali telungkup. Tidak sampai satu menit, ia kembali mengubah gaya tidurnya menghadap ke kiri. Begitu terus sampai menjelang pagi. Sejak kejadian beberapa bulan lalu tidurnya selalu gelisah. Ia selalu teringat bagaimana dirinya meniduri seorang wanita yang dicintainya.
Karena perbuatan Jonatan—Nathalie—memilih menikah dengan orang lain, yang membuat wanita itu tidak bahagia. Jonatan kemudian mengerang frustrasi. Mungkin hanya dirinya yang seperti saat ini, karena bisa saja sekarang Nathalie sedang tertidur nyenyak. Sahabatnya itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah terjadi. Sebetulnya mereka mempunyai perasaan yang sama. Yang berbeda hanya cara dalam memelihara rasa yang mereka miliki. Lalu Nathalie memilih menikah dengan orang lain. Jonatan menatap jam di ponselnya dengan malas, lalu mencari nomor Paman Leonard sebelum meneleponnya, tampaknya malam itu ia akan menghabiskan malam di sebuah kelab. “Kuharap, aku tidak mengganggu waktumu, Paman.” Hening, hanya deru napas yang terdengar, Jonatan tersenyum simpul. “Malam ini kelab biasa,” tanpa basa-basi, Paman Leonard langsung berujar. Jonatan tertawa ringan. “Maaf, malam ini aku telah mengganggu malam indahmu, Paman. Kau bisa melanjutkannya lagi.” Jonatan meraih kunci mobilnya, bersenandung kecil dan langsung menuju kelab yang sering di datanginya. Kelab Davin’z salah satu kelab yang begitu sering ia kunjungi. Selain menyediakan berbagai macam jenis minuman langka dan mahal, tempatnya juga cukup tertutup. Menjunjung tinggi privasi, itulah sebabnya kelab ini banyak dikunjungi para petinggi serta orang-orang penting di negaranya. Pemilik kelab sendiri banyak mengetahui rahasia para petinggi serta orang-orang penting yang berada di negara tersebut. Sayangnya tidak satu pun dari para petinggi dan orang-orang penting itu tahu wajah Davin. Dia selalu mengenakan topeng rubah, dan kehidupan pribadinya amat tertutup. Tidak ada yang dapat menjelaskan bagaimana bentuk wajah aslinya, tapi yang pasti Davin adalah pebisnis muda yang cukup sukses. Jonatan memiliki kartu VIP, membuatnya dengan mudah memasuki dunia bawah tempat pelelangan para budak dilakukan. Memilih tempat duduk di bagian akhir, ia senang mengamati gerakan tubuh pebisnis dan orang-orang penting yang berada di sana. Meski wajahnya mereka tutupi dengan topeng, Jonatan dengan begitu mudah dapat mengingat setiap kebiasaan serta gerakan. Salah satu rahasia sukses yang dimilikinya. Jonatan tidak mungkin bekerja sama dengan pebisnis yang tergila-gila pada tubuh wanita dan dominan pada budak-budak yang dibelinya. Seperti biasa, acaranya cukup membosankan. Budak-budak itu berdiri dengan tatapan kosong, hanya berbentuk tubuh tanpa pikiran. Persis seperti sebuah manekin. “Malam ini kami hendak menjual budak yang paling spesial. Dia satu-satunya budak yang masih perawan, bukan hanya itu … dia juga punya pikiran dan seperti perempuan pada umumnya. Tapi tenang saja, dia akan tetap mematuhi perintah, jika tetap berontak dan tidak bisa diatur, Anda bisa membawanya kembali pada kami dalam beberapa minggu untuk diisolasi.” Jonatan berniat pergi, tapi segera mengurungkan niatnya tersebut ketika mendengar kalimat itu. Selama mengikuti pelelangan belum pernah ada yang hidup. Semua wanita yang menjadi budak seolah telah mati, mereka berdiri bagaikan boneka. “Sasi Theresia.” Seorang wanita diseret agar mengikuti langkah algojo berbadan besar, dipaksa duduk di bangku tinggi yang menjadi tempat para budak-budak sebelumnya. Kedua bola mata wanita itu menatap takut-takut ke arah semua orang yang berada di sana. Jonatan tampak tersenyum tipis, ternyata wanita itu memang memiliki reaksi. Tubuhnya kurus, ada puluhan lebam yang berada di sekitar pundak serta kakinya. Setidaknya itulah yang terlihat saat ini. Wajahnya pucat, dan kerutan di dahinya membuat Jonatan memiliki dorongan kuat untuk segera bisa menghilangkannya. Bahkan terkesan aneh, pria itu memiliki rasa ingin segera membawa gadis itu pergi jauh dari tempat terkutuk tersebut lalu memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa gadis bernama Sasi Theresia itu akan aman bersamanya. Tidak tahu apa yang merasuki pikiran Jonatan, tetapi ketika mereka ingin melihat alat vital gadis itu, lelaki itu menyebutkan angka yang mungkin bisa dicatat dalam sejarah pelelangan. Yang Jonatan tahu, Sasi harus segera dirawat dengan baik. Gadis itu memiliki reaksi dan tidak seperti budak-budak lainnya. Jonatan bahkan tidak tahu, dari mana rasa ketertarikan itu berasal, tapi mari anggap saja rasa itu sebagai hadiah keberuntungan bagi gadis tersebut, karena dirinyalah yang membeli. Pembeli yang lain belum tentu memperlakukannya dengan hormat. Mereka membeli budak untuk sekadar memuaskan nafsu. Bukan untuk membebaskannya. Ya, meskipun nanti, ketika Sasi berada di tangannya, ia tidak akan membebaskannya juga. Setidaknya Jonatan tidak akan menyakiti budaknya sendiri. Mungkin ia akan mengajari Sasi beberapa hal, agar gadis itu bisa seperti wanita-wanita pada umumnya. Agar ia bisa menghentikan pembantunya dan membuat gadis itu mengerjakan pekerjaan rumah. ^^^ Jonatan menatap tubuh polos Sasi di dalam bathtub. Berniat akan memandikan sang budak. Gadis itu meringis saat luka-lukanya terkena air. Ada binar senang di wajahnya saat melihat seluruh tubuhnya tertutup busa. Sejurus kemudian Sasi mendongak menatap Jonatan dengan sorot mata takut. Ragu-ragu mengambil air lalu memasukkannya dalam mulut dengan gerakan begitu cepat. Jonatan tercengang melihatnya. Itu air sabun. “Muntahkan, Sasi! Kenapa kau meminumnya? Ini air sabun, kau bisa sakit.” Tidak ada jalan lain, Jonatan memasukkan telunjuknya ke dalam kerongkongan Sasi. Hingga membuat gadis itu memuntahkan isi perutnya. “Jika memang kau haus dan ingin minum, aku akan memberikannya. Jangan pernah meminum air dari kamar mandi lagi, apa kau mengerti?” Sasi mengangguk takut-takut. Matanya berair karena dipaksa mengeluarkan isi perutnya. Jonatan mengerang, akan sejauh mana usahanya nanti agar bisa membuat Sasi seperti gadis normal. Tampaknya, ia harus menyewa orang untuk mengajari gadis itu. “Buka mulutmu.” Jonatan mengambil sikat gigi miliknya lalu menggosok gigi Sasi. “Mulai hari ini dan seterusnya, kau harus menyikat gigimu ketika sedang mandi. Kau juga harus mengenakan sabun serta shampo, ini untuk badan, sementara yang ini untuk rambut.” Jonatan menunjuk satu persatu botol yang berjajar di sana. Sasi mengamati setiap gerak Jonatan. “Basuh mulutmu dan jangan meminum airnya.” Jonatan mengambil air langsung dari telapak tangannya dan memberikannya pada Sasi. “Tutup matamu, dan tenangkan tubuhmu. Iya seperti itu, aku akan mencuci rambutmu,” bisik Jonatan di salah satu cuping telinga Sasi, membuat suasana sedikit terasa panas, junior miliknya mendadak tegang, ketika melihat gadis itu merebahkan tubuhnya di dalam bathtub, hingga menyembulkan dua gundukan kenyal yang tak seberapa besar. Lantas, Jonatan pun berupaya menghalau keinginannya saat ini. Lelaki itu menarik keinginannya, dia sendiri yang akan mengajari Sasi segalanya. Tidak perlu orang lain, sebab melakukannya terasa begitu menantang.Jonatan mengangkat kedua alisnya, sedikit gugup saat melihat Nathalie yang menajamkan pandangannya. “Kau bilang, kau menemukan gadis ini di tengah jalan? Jangan pikir aku tidak tahu siapa dia, Jo. Kau lupa, jika Brian punya kegemaran yang sama denganmu?” “Baiklah-baiklah.” Jonatan menggenggam kedua bahu Nathalie, mendorongnya masuk dalam kamar. “Kau tahu, jika aku tidak piawai dalam membohongimu, Nath. Dia adalah budak yang kubeli dari kelab. Kurasa suamimu juga tahu itu.” “Kau bahkan tidak pernah membeli budak sebelumnya, apalagi memeliharanya. Apa ….” Nathalie menggantung kalimatnya, kedua bola matanya menelisik ke arah Jonatan. “Jangan bilang karena masalah kita dulu, jadi kau memilih untuk memelihara budak, Jo.” Jonatan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tentu saja bukan, Naht. Aku hanya butuh barang untuk bermain-main. Akhir-akhir ini aku sedikit bekerja keras karena masalah Leo, dan aku butuh sesuatu untuk bisa membuat pikiranku lebih segar.” Nathalie bekacak ping
“Tidak ada masalah yang serius, selain luka-luka yang lumayan parah. Tapi, dia memiliki luka batin yang begitu serius, hingga jiwanya terguncang,” ujar dokter Violetta sambil membetulkan posisi kacamatanya. Jonatan menatap lekat ke arah Sasi. “Jo, aku tidak mau tahu apa yang sudah kau lakukan terhadap gadis malang ini. Namun, karena saat ini dia adalah pasienku, jadi sudah tanggung jawabku.” Jonatan menahan senyumnya. Wanita paruh baya yang sialnya dokter khusus yang ditugaskan untuknya itu, selalu ingin tahu banyak hal untuk kemudian diadukannya kepada Anthony Allard, dengan tambahan sedikit bumbu dramatis. “Kau tenang saja, Vio, karena tidak ada kejadian yang lebih untuk kau ketahui. Aku hanya menolongnya. Katakan pada Ayah, jika putranya ini sudah menjadi lebih dewasa dan baik.” Dokter Violetta terbatuk-batuk, kemudian wanita paruh baya tersebut kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Aku tidak pernah memberitahu apa pun tentangmu pada Anthony, Jo. Jadi, tolong jan
Jonatan tidak tahu apakah perbudakan tempat Sasi berada, memaksa mereka makan dengan gaya anj*ng atau tidak, tetapi melihat bagaimana gaya Sasi makan, sepertinya tempat itu memang mengajarkan budak-budak mereka makan dengan gaya hewan. Lelaki itu meringis. Ia merasa punya hewan dalam wujud manusia. Dia berjalan mendekati Sasi, berjongkok di hadapannya sembari tersenyum lembut. “Aku tidak akan mengambil makananmu, kau boleh makan sesukamu kapan pun kau mau, Sasi. Aku akan mengajarimu bagaimana caranya makan yang baik dan benar.” Jonatan mengambil piring Sasi yang berada di lantai, membawanya kembali ke atas meja makan lalu mengedikkan dagunya untuk menyuruh gadis itu duduk di atas kursi. “Ini sendok, dan ini garpu. Kau harus memakainya saat. Seperti ini ….” Sasi tidak mengikutinya, gadis itu hanya memperhatikan dengan kedua bola mata membesar, dahinya berkerut sebelum wajahnya perlahan tampak berbinar. Seolah-olah ia kembali mengingat sesuatu yang pernah dilupakannya. Me
Malam itu, Jonatan mengubah posisi tidurnya, berbalik ke kanan lima menit, lalu kembali telungkup. Tidak sampai satu menit, ia kembali mengubah gaya tidurnya menghadap ke kiri. Begitu terus sampai menjelang pagi. Sejak kejadian beberapa bulan lalu tidurnya selalu gelisah. Ia selalu teringat bagaimana dirinya meniduri seorang wanita yang dicintainya. Karena perbuatan Jonatan—Nathalie—memilih menikah dengan orang lain, yang membuat wanita itu tidak bahagia. Jonatan kemudian mengerang frustrasi. Mungkin hanya dirinya yang seperti saat ini, karena bisa saja sekarang Nathalie sedang tertidur nyenyak. Sahabatnya itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang pernah terjadi. Sebetulnya mereka mempunyai perasaan yang sama. Yang berbeda hanya cara dalam memelihara rasa yang mereka miliki. Lalu Nathalie memilih menikah dengan orang lain. Jonatan menatap jam di ponselnya dengan malas, lalu mencari nomor Paman Leonard sebelum meneleponnya, tampaknya malam itu ia akan menghabiskan malam di seb
“Selamat ulang tahun, Sasi.” Sasi tersenyum lembut, kemudian gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Apa kau yang menyiapkan semua hadiah ini untukku?” tanyanya dengan suara pelan. Tom mengangguk, lalu mengecup dahi Sasi dengan sayang. Setidaknya itu yang dilihat Sasi kala itu. “Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.” Saat itu adalah ulang tahun Sasi ke 26 tahun. Tepat ketika Tom ingin melamarnya. Suasananya begitu meriah, hingga tak ada yang sadar semabuk apa Sasi malam itu. Para tamu pun mabuk, hingga tak sadar apa yang sudah terjadi. Sasi sendiri berdiri dengan keadaan kepala berdenyut, langkahnya menjadi tidak stabil. Sasi berusaha berjalan ke arah kamar yang telah dipesan oleh Tom untuk mereka dapat habiskan malam penuh cinta tersebut. Gadis itu tidak terlalu mengingatnya, ia hanya memasuki kamar yang cukup gelap, lalu mulutnya ditutup kain dengan aroma yang cukup menyengat, hingga gadis itu berontak. “Tom, kaukah itu?” lirihnya. Namun, tubuhnya
“Kau haus?” Sasi Theresia, gadis bernasib malang itu tampak mengangguk antusias. Lalu, pria berperawakan tinggi besar yang biasa dikenal sebagai salah satu Algojo itu tersenyum miring. Melepaskan cambuk dari tangannya. “Buka mulutmu!” Perintahnya dengan suara lantang dan keras. Sasi menggeleng. Kedua kelopak matanya sayu. “Aku akan memberimu minum. Cepat!” Sasi membelalakkan kedua bola matanya, kemudian langsung beringsut mundur sembari terus menggeleng-geleng takut. Air matanya mengancam keluar. Di antara puluhan wanita yang berada di sana, hanya dialah satu-satunya yang masih memiliki reaksi terhadap apa pun bentuk tindakan yang dilakukan kepada dirinya. Pasalnya, algojo itu bukan menawarinya minuman. Itu adalah hal terburuk yang akan Sasi ingat. Ruangan itu gelap serta lembab, bau busuk serta karat besi menguar menjadi satu. Terdengar suara nyaring antara besi bertemu dengan kulit, tapi tidak ada jeritan. Segala mimpi buruk seakan bersatu ada di tempat itu, mimpi yan