Share

Sebuah Peringatan

Mbak Cla tidak senang aku pindah ke restoran. Dia ingin aku tetap di lapangan. Dia juga ingin aku mengawasi Beti. Kata Bet, dia sudah tidak bersama Martin lagi. Dia bertemu Martin karena Martin menelponnya 20 kali sore itu. Dia bilang padanya jika dia adalah rahasia kecil, mereka sudah berakhir.Martin meminta dan memohon padanya, tapi dia menolak untuk mengakui Beti dalam lingkaran pertemanannya, dan.. Beti langsung mencampakkannya.

Aku sangat bangga.

Besok adalah hari liburku dan Beti sudah datang mencariku untuk memastikan kami akan pergi ke klub.

Tentu saja kami akan pergi.Aku butuh seseorang untuk mengalihkan perhatianku dari Rudy.

Aku mengikuti Jery sepanjang hari. Dia mengajarkanku dan memberitahu apa yang harus kulakukan. Dia tampan, tinggi, dan gay. Para wanita tidak tahu itu, tentu saja. Dia menggoda para wanita tanpa malu-malu. Dan anehnya, mereka menyukai itu. Dia akan melihat dan mengedipkan mata ke arahku ketika seseorang mencoba merayunya. Pria ini sangat ahli dalam hal itu.

Setelah jam tugas selesai, kami kembali ke ruang istirahat staff dan menggantung celemek hitam panjang yang harus di pakai atas seragam kami. "Kau akan jadi superstar Aileen. Para pria menyukaimu dan para wanita bahkan lebih menyukaimu.Tidak bermaksud menyinggungmu sayang, Tapi gadis berambut hitam sepertimu biasanya tidak bisa berjalan lurus tanpa tertawa."

Aku tersenyum padanya. "Benarkah? aku tersinggung."

Jery memutar matanya dan mengulurkan tangan untuk menjitak kepalaku. "Tentu saja tidak."

"Mulai mendekati pelayan baru, Jer?" Suara Raka yang  familar terdengar di belakang kami. 

Jery berbalik dan memberinya senyum sombong.

"Kau tahu lebih baik dari itu. Aku punya rasa tertentu." Dia memberikan tekanan pada suaranya saat matanya menelusuri tubuh Raka.

Aku melihat Raka yang cemberut dengan tidak nyaman dan aku tidak bisa menahan tawa. Dan Jery bergabung denganku. "Senang membuat pria normal gelisah." Dia berbisik ditelingaku lalu berjalan keluar pintu.

Raka memutar matanya dan berjalan masuk ke dalam ruangan setelah Jery pergi. "Kau suka bekerja di restoran?" Tanyanya dengan sopan.

Aku menyukainya. Sangat. Ini adalah pekerjaan yang jauh lebih mudah daripada berpanas-panasan di luar dan berurusan dengan para pria tua yang suka menggoda sepanjang hari. "Aku menyukainya. Terima kasih untuk mengijinkanku bekerja disini."

Raka mengangguk. "Terima kasih kembali. Sekarang, bagaimana kalau kita pergi merayakan promosimu dengan makanan italia?"

Dia mengajakku keluar lagi. Aku harus pergi. Mungkin dia bisa mengalihkan perhatianku. Dia bukan tipe pekerja keras yang kucari tapi siapa bilang aku akan menikah dengannya dan melahirkan bayinya?

Sebuah gambaran Rudy terlintas dalam pikiranku dan ekspresi tersiksanya tadi malam. Aku tidak bisa pergi kencan dengan orang yang dia kenal. Kalau dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan semalam, maka aku harus menjaga jarak aman dengannya.

"Mungkin lain kali saja? Aku tidak bisa tidur nyenyak tadi malam dan aku lelah."

Wajah Raka terlihat agak kecewa tapi aku tahu dia tidak akan mempermasalahkan itu dan lagi, dia akan segera menemukan seseorang untuk menggantikan tempatku. "Ada pesta malam ini di rumah Rudy, tapi aku rasa kau tahu itu." Kata Raka melihat bagaimana reaksiku. Aku tidak tahu tentang pesta dan Rudy tidak pernah membicarakan tentang itu.

"Aku yakin aku bisa tidur nanti. Aku sudah terbiasa dengan pestanya." Tentu saja aku berbohong.

"Bagaimana kalau aku datang? Bisakah kau meluangkan waktu untukku sebelum kau tidur?"

Aku ingin berkata tidak tapi aku sadar kalau Rudy akan tidur dengan beberapa gadis malam ini. Dan aku butuh mengalihkan perhatianku dari semua itu. Mungkin saja dia sudah punya seorang wanita yang duduk dipangkuannya begitu aku tiba di rumah.

"Mungkin kita bisa jalan-jalan diluar ditepi pantai?Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus bagimu."

Raka mengangguk dengan cepat. "Oke. Aku menyukainya. Tapi aku punya satu pertanyaan, Aileen." Katanya dan menatapku. "Kenapa? Malam itu dirumah Rudy. Rudy dan aku berteman. Kami tumbuh bersama, dalam lingkungan yang sama. Kami tidak pernah punya masalah. Tapi kenapa? Apakah ada sesuatu di antara kalian berdua?"

Bagaimana aku menjawab itu?

"Kami hanya teman. Dia protektif."

Raka mengangguk pelan tapi aku tahu dia tidak percaya padaku. "Aku tidak keberatan bersaing. Aku hanya ingin tahu apa yang akan aku hadapi."

Dia tidak akan mgnhadapi apapun karena dia dan aku hanya akan berteman. "Aku tidak bisa menjadi bagian dari kelompokmu. Aku tidak berniat untuk berkencan dengan serius dengan siapapun, apalagi dari lingkaran elit sepertimu."

Aku tidak menunggunya untuk membalas perkataanku. Sebaliknya, aku berjalan memutarinya dan keluar dari pintu. Aku harus pulang sebelum pesta jadi terlalu liar.

Itu bukan kekacauan yang liar seperti yang ku bayangkan. Hanya sekitar 20 orang. aku berjalan melewati beberapa dari mereka menuju daput. Beberapa dari mereka sedang menyiapkan makanan dan minuman. Aku tersenyum pada mereka sebelum masuk ke kamarku.

Jika teman-temannya tidak tahu aku tidur di bawah tangga, mereka tahu sekarang. Aku mengganti seragam dan memakai gaun biru es pendek untuk kupakai. Kakiku sakit karena berjalan sepanjang hari jadi aku tidak memakai sendal. Aku mendorong koperku kembali ke bawah tempat tidur dan melangkah keluar dari pintu dan kemudian bertatapan dengan Rudy. Dia bersandar pada pintu yang menuju ke dapur dengan lengan disilangkan diatas dada dan ada kerutan di wajahnya.

"Ada apa?" Aku bertanya.

"Raka disini." Jawabnya.

"Terakhir kali aku tahu dia adalah temanmu."Raka menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dia tidak disini untukku. Dia datang untukmu."

Aku menyilangkan tanganku di atas dadaku. "Apakah kau punya masalah denagn teman-temanmu yang tertarik padaku?"

"Dia tida baik, dia brengsek. Dia tidak boleh menyentuhmu" Katanya dengan nada marah.

Mungkin dia seperti itu. Tapi aku tidak akan membiarkan Raka menyentuhku.

"Aku tidak tertarik pada Raka seperti yang kau bayangkan. Kami hanya teman. itu saja."

Rudy melarikan tangannya di atas kepalanya dan aku melihat cincin perak polos dijempolnya. Aku belum pernah melihatnya memakainya. Siapa yang memberikan itu padanya?

"Aku tidak bisa tidur sementara orang-orang berjalan naik dan turun tangga. Dari pada duduk sendirian disini lebih baik aku keluar dan mengobrol dengan Raka dipantai. Aku butuh teman."

Rudy terkejut seolah aku baru saja memukulnya. "Aku tidak ingin kau mengobrol dengan Raka."

Ini konyol. "Apa masalahmu?"

Rudy berjalan ke arahku dan mendorongku masuk kekamar sampai kami berdua di dalam. "Tinggallah disini dan bicara denganku. Aku akan bicara. Aku bilang kita bisa berteman. kau tidak perlu Raka sebagai teman."

Aku mendorong dadanya dengan tanganku. "Kau tidak pernah bicara padaku. Kau selalu menjauhiku."

Rudy menggeleng. "Tidak sekarang. Kita berteman. Aku akan bicara dan aku tidak akan pergi. Tolong, tinggal disini bersamaku."

Aku mengerutkan dahiku. "Tidak ada banyak ruang disini." Kataku sambil melirik ke arahnya.

"Kita bisa duduk di tempat tidur. Tidak bersentuhan. Hanya bicara. Teman." Dia meyakinkanku.

Aku menghela napas dan mengangguk. Aku tidak bisa menolaknya. Dan ada begitu banyak hal yang ingin aku tahu tentang dia.

Aku duduk di kepala tempat tidur dan bersandar. "Baiklah, kita akan bicara." kataku sambil tersenyum.

Rudy duduk di tempat tidur dan bersandar ke dinding. Dia tertawa dan aku melihat sebuah senyum muncul di wajahnya. "Aku tidak percaya aku baru saja memohon pada seorang wanita untuk dan bicara denganku."

Aku juga tidak percaya.

"Apa yang akan kita bicarakan?" tanyaku, aku ingin dia yang memulainya. Aku tidak ingin dia merasa seolah-olah aku akan menginterogasinya. Aku punya banyak pertanyaan yang berputar dikepalaku.

"Kau punya pacar?"

"Aku pernah jatuh cinta. Namanya Bobi. Dia adalah pacar pertamaku, dan ciuman pertamaku. Dia bilang dia mencintaiku dan mengatakan kalau aku adalah satu-satunya untunya. Lalu ibuku sakit. Aku tidak punya waktu untuk berkencan dan menghabiskan waktu denganya. Dia ingin punya hubungan yang normal. Jadi aku membiarkan dia pergi."

Rudy mengerutkan kening. "Dia tidak menemanimu ketika ibumu sakit?"

Aku tidak suka membicarakan ini.

"Kami masih muda dulu. Dia tidak mencintaiku. Dia hanya berpikir dia mencintaiku. sesimpel itu."

Rudy mendesah. "Kau memang masih muda."

Aku tidak yakin aku menyukai nada dalam suaranya. "Aku 20 tahun Rudy. Aku sudah mengurus ibuku selama 3 tahun dan menguburnya tanpa bantuan dari ayahku. Percayalah, aku merasa berumur 40 tahun hampir tiap hari."

Rudy mengulurkan tangannya di atas tempat tidur dan menutupi tanganku dengan tangannya. "Kau seharusnya tidak melalui semua itu sendiri."

Tentu saja tidak, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku mencintai ibuku. Dia layak mendapatkan yang jauh lebih baik dari yang dia dapatkan. Satu-satunya hal yang meringankan rasa sakit itu adalah mengingatkan diri sendiri kalau ibu dan Freya sedang bersama-sama sekarang. Mereka saling memiliki.

Aku tidak ingin berbicara mengenai kisahku lagi. Aku ingin tahu sesuatu tentang Rudy.

"Apa kau punya pekerjaan?"

Rudy tertawa dan meremas tanganku. "Aku punya cukup uang di bank untuk menjalani sisa hidupku tanpa pekerjaan. berkat ayahku. Setelah beberapa inggu tidak melakukan apa-apa kecuali berpesta aku sadar aku butuh kehidupan lain. Jadi aku mulai bermain-main dengan pasar saham. Ternyata, aku cukup bagus dalam hal itu. Angka-angka selalu menjadi keahlianku. Aku juga menyumbangkan beberapa uangku untuk orang yang berkekurangan. Beberapa bulan dari tahun ini aku jadi lebih hebat dan bekerja dari rumah. Aku datang kesini untuk bersantai saat musim panas."

Aku tidak menyangka semua itu.

"Shock di wajahmu sedikit menghina." Kata Rudy.

"Aku hanya tidak menyangka dengan jawabanmu." kataku jujur.

Rudy mengangkat bahu dan memindahkan tanganya kembali. Aku ingin menggapainya dan meraihnya dan menggenggamnya tapi aku tidak melakukannya. 

"Berapa umurmu?" tanyaku.

Rudy tersenyum. "Terlalu tua untuk berada diruangan ini denganmu dan terlalu sangat tua untuk punya pikiran tentangmu."

"Aku akan mengingatkanmu kalau aku 20 tahun dan akan 21 dalam 6 bulan. aku bukan balita."

"Tidak manis, tentu saja kau bukan bayi. AKu 25 dan capek. Hidupku tidak normal dan karena itu aku punyak masalah serius. Aku sudah bilang ada hal-hal yang kau tidak tahu. Membiarkan diriku untuk menyentuhmu, itu salah."

"Kupikir kau meremehkan dirimu sendiri. Kau itu istimewa."

Rudy menggeleng. "Kau tidak lihat dan tidak tahu yang sebenarnya. Kau tidak tahu apa yang sudah kulakukan."

"Mungkin." jawabku. "Tapi apa yang sudah kulihat, tidak semuanya buruk. Aku hanya berpikir mungkin saja ada bagian lain dari dirimu mengenai itu."

rudy mengangkat wajhanya dan mnatapku. Aku ingin meringkuk dipangkuannya dan hanya menatap matanya selama berjam-jam. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu kemudian menutupnya... dan aku melihat sebuah bola perak di mulutnya.

"Apa yang ada di mulutmua?" Aku bertanya dengan penasaran.

Rudy membuka mulutnya dan perlahan-lahan menjulurkan lidahnya.

Sebuah tindik.

"Apa itu sakit?" Tanyaku. Aku belum pernah melihat orang yang mempunyai tindik dilidah.

"Tidak."

Aku ingat tato di punggungnya. "Tato apa yang ada dipunggungmu?"

"Seekor elang dengan sayap yang lebar." Jawabnya. "Aileen, Aku bukan pria yang romantis. dan kau pantas mendapatkan pria seperti itu. hanya saja orangnya bukan aku. Kau tidak ditakdirkan untuk orang sepertiku. Aku tidak pernah menyangkal kalau aku menginginkanmu. tapi kali ini aku harus mengatakan tidak pada diriku sendiri."

Dia kemudian berdiri dan meraih gagang pintu, aku sadar dia akan pergi dariku, lagi. meninggalkanku.

"Aku tidak bisa bicara lagi. Tidak malam ini. Tidak sendirian disini bersamamu." Kesedihan dalam suaranya membuat hatiku sakit. lalu dia pergi dan menutup pintu dibelakangnya.

Aku bersandar di kepala ranjang dan mengerang frustasi. Kenapa ku membiarkan dia disini? Permainan emosi yang dia mainkan bukan levelku. Aku bertanya-tanya kemana dia pergi sekarang. Ada banyak wanita diluar sana.

Langkah kaki orang-orang diatas tangga membuatku tidak bisa tidur. Aku tidak ingin tinggal disini dan Raka sedang menungguku.Tidak ada alasan untuk membatalkan janji dengannya.

Aku berjalan ke dapur. Punggung Jafin menghadapku dan dia sedang berbicara atau hampir berciuman dengan seorang gadis. Aku diam-diam keluar ke pintu belakang dan melihat Raka sedang berdiri disana sendirian.

"Aku pikir kau tidak akan muncul." Katanya.

Dia menatapku. Aku merasa bersalah padanya. Aku tidak bisa membuat keputusan ketika aku berada di sekitar Rudy.

"Maafkan aku." Kataku.

"Aku melihat Rudy keluar dari pojokan kecil itu."Katanya.

Aku menggigit bibir dan mengangguk. 

"Dia tidak lama. Apakah dia sedang ramah tamah atau dia mengusirmu?"

"Hanya mengobrol itu saja." Aku tersenyum.

"Kita masih bis jalan-jalan dipantai?"

Aku menggeleng. "Sebenarnya, kaki sakit. apa kau keberatan kalau kita hanya akan menghirup udara segar disini?"

Raka memberiku senyum kecewa. "Aku tidak keberatan."

Kami berbicara cukup lama. membicarakan banyak hal dan dia memberikanku beberapa tips bagaimana menanggapi orang-orang yang dengan sennag hati menggodaku saat bekerja. Aku tertawa ketika dia menceritakan tentang jery yang selalu berusaha menggodanya. Sampai ketika ponselnya berbunyi pendek, dia mengambilnya dan mengerutkan dahi.

"maaf, Aku harus pergi. Sesuatu sedang terjadi." katanya sambil tersenyum sedih.

"Tidak masalah." Kataku membalas senyumnya.

Dia berjalan kembali menuju pintu dan berhenti ditengah jalan dan berbalik menatapku. "Aku akan bersaing Aileen. dengan caraku sendiri. Ini peringatan untukmu." Katanya sambil tersenyum, senyum sombong yang selalu kulihat. kemudian dia memasuki rumah tanpa menoleh ke belakang.

Aku menahan napasku. berusaha untuk mencerna kata-kata yang baru saja dia katakan.

Aku membiarkannya pergi selama beberapa menit lalu aku pergi mengikutinya ke dalam. Jafin sudah tidak ada disana dengan gadis itu. Mungkin merea pergi ke tempat yang lebih terpencil. Aku mulai pergi kepintu dapur ke arah kamarku ketika Rudy masuk ke dapur diikuti oleh seorang gadis berambut cokelat yang tertawa. Dia menggantung pada Rudy dan bertindak seolah diat tidak bisa berjalan. Entah itu dari alkohol atau hak sepatu yang dia pakai. kemudian dia mulai mengatakan sesuatu yang tidak jelas dan ya... dia mabuk.

Mata Rudy bertemu mataku. "Aku sudah bilang tidak. Aku tidak tertarik." katanya tanpa berpaling dariku. Rudy menolak ketika gadis itu berusaha menciumnya. Dan dia ingin aku tahu.

Aku mengalihkan pandanganku dan mulai berjalan ketika gadis itu akhirnya melihatku. "hei, gadis itu akan mencuri makananmu." Katanya.

Wajahku memerah. mengapa hal itu sangat mempermalukanku?

"Dia tinggal disini, dia bisa makan apapun yang dia inginkan."Jawab Rudy yang masih menatapku.

"Dia tinggal disini?" tanya gadis itu lagi.

Rudy tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku mengerutkan kening padanya dan aku memutuskan gadis ini akan menjadi saksi kami yang tidak akan mengingat apapun di pagi hari. "jangan dengarkan dia, dia bicara omong kosong. Aku hanya tamu yang tidak diharapkan yang tinggal di bawah tangganya."

Aku tidak menunggu jawabannya. Aku membuka pintu dan langusng melangkah masuk ke kamarku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status