Dia baru 20 tahun. Dia masih naif dan polos karena menghabiskan 3 tahun terakhir merawat ibunya yang sakit. Tapi untuk Rudy Adhitama yang berusia 25 tahun, dia adalah satu-satunya yang terlarang. uang ayahnya yang terkenal, keputusasaan ibunya untuk memenangkan cintanya, dan pesonanya adalah 3 alasan dia tidak pernah ditolak. Aileen Adira meninggalkan rumah kecilnya untuk pindah bersama ayahnya dan istri barunya di rumah pantai mereka yang terletak di Kuta Bali. Dia tidak siap dengan perubahan gaya hidup dan dia tahu dia tidak akan pernah masuk kedalam dunia ini.
view moreTruk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil mahal disini. tempat ini paling tidak memuat setidaknya 20 mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. aku memarkir truk tua berusia 15 tahun milik ibuku di lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun. ayah tidak bilang padaku kalau malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.
Dia juga tidak hadir pada pemakaman ibu. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. aku sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan nenekku untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah baju dan truk ini. Menelpon ayahku, setelah dia tidak pernah datang walaupun hanya sekali selama 3 tahun, ibuku berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Aku menatap pada rumah besar 3 lantai yang mengarah langsung pada pasir putih pantai Kuta, Bali. Ini adalah rumah baru ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.
Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih pistol dan mengayunkannya, mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatukknya.
"Whoa.. Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan jauhkan senjata itu." Seorang pria dengan rambut coklat berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan mata yang melebar.
Aku menatapnya bingung dan tetap mengancungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa pria ini. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Azri Adira?"
Pria itu menelan ludah dengan gugup. "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu masih diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"
Kecelakaan? Benarkah? "Aku tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi maafkan aku jika kau tidak merasa nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata dengan sangat baik."
Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun aku belum siap untuk menurunkan senjataku.
"Azri?" Dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti. "Tunggu, Om Azri adalah ayah tiri baru Rudy. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Tante Diva pergi ke London."
London? Rudy? Apa? Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. aku menurunkan senjataku dan memastikan mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum menyimpan senjata di bawah kursiku. Mungkin dengan begitu pria ini bisa fokus dan menjelaskan.
"Kau punya surat ijin untuk memliki senjata?" Tanyanya ragu.
Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.
"Azri Adira di London?" Tanyaku. Dia tahu akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.
Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"
Tidak juga. Aku menemuinya 2 kali sejak dia meninggalkan ibuku dan aku 5 tahun yang lalu. Aku ingat ayah datang ke pertandingan bulu tangkisku dan memanggang ikan di luar rumah untuk kami. Ayah yang selalu aku miliki hingga hari ini dimana saudara kembarku Freya tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak menelponku untuk memastikan aku baik-baik saja sementara aku menjaga ibuku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.
"Aku putrinya, Aileen."
Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? "Ayo Aileen, aku ingin kau bertemu dengan seseorang, Dia akan menyukaimu."
Aku menatap tangannya dan meraih tasku.
"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.
"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk, Aku ketakutan."
"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengancungkan senjata pada seseorang? Dari mana asalmu? Kebanyakan gadis akan menjerit atau semacamnya."
Kebanyakan gadis tidak terpaksa melindungi dirinya hampir selama 3 tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Aku dari Karangasem." jawabku dan melangkah keluar dari truk.
Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di film. Tapi baunya, bena-benar seperti apa yang aku harapkan. Aku pergi kebelakang truk untuk mengeluarkan koper dan sebuah kotak kardus.
"Sini biar aku saja." Ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper besae ibuku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk 'perjalanan jauh' yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu berbicara tentang bagaimana kami akan mengemudi dan kemudian menuju pantai suatu hari nanti.
"Terima kasih, uh.. aku belum tahu namamu."
Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku. "Apa? kau lupa untuk bertanya setelah kau mengarhakn senjata padaku?"
Aku mendesah.
"Aku Jafin. teman Rudy."
"Rudy?" Nama itu lagi. Siapa dia?
Jafin tersenyum lebar. "Kau tidak tahu siapa dia?" Dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah. "Ayo aku akan memperkenalkanmu."
Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik dalam rumah itu begitu keras saat kami mendekat. Jika ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Diva adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Ayah tidak memberitahuku dengan jelas, dia hanya bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.
"Jadi, Rudy tinggal disini?" Tanyaku.
"Ya, dia tinggal disini, saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim berganti."
"Rumahnya yang lain?"
Jafin tertawa. "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga baru ayahmu kan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan." katanya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Rudy Adhitama adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari artis terkenal Kenzo Adhitama. Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibunya, Tante Diva adalah salah satu penggemarnya saat itu.Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya." Jafin berhenti dan melihat ke belakang pintu da membukanya.
Seorang cewek tinggi, berambut pirang strawberry yang seperti baru saja di cat, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku berdiri menatapku. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi.
"Well, halo Grizelle." Sapa Jafin.
"Siapa dia?" Gadis itu bertanya, mengalihkan pandangannya pada Jafin.
"Teman, Hapus ancaman dari wajahmu G, itu terlihat tidak cocok untukmu." Jawabnya dan meraih tanganku, mendorongku masuk kedalam rumah.
Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. saat kami melewati ruang tamu yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tengah. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku. 2 pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.
"Sebelah sini."Ajak Jafin sambil berjalan menuju sebuah bar. Bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?
Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas.
"Rudy, kenalkan Aileen. Aku yakin dia adalah milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedkit tersesat." Ucap Jafin dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang untuk melihat siapa itu Rudy.
Oh. My.
"Oh ya?" Jawab Rudy dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bis ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."
"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke London dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau.Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."
Rudy mengerutkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya berwarna indah. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan cokelat.Bukan juga hitam. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
"Bukan berarti dia milikku." Akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.
"Kau bercanda kan?"
Rudy tidak menjawab. malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Jafin dan aku bisa melihat pernigatan disana. Aku ingin segera pergi. tidak bagus. Aku hanya punya seratus ribu di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelpon ayahku aku bilang kalau aku membutuhkan tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.
Perhatian Rudy kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk aku katakan? sebuah senyum tipis terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.
"Aku punya banya tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Dia mengalihkan tatapannya pada Jafin. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi ayahnya."
Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata 'ayah', aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukan salahnya. Ayahku yang mengirimku kemari.
Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Jafin. "Dia benar. Aku seharusnya pergi." Aku menarik keras koper dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku.
Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. AKu mendengar jafin berdebat dengan Rudy tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan pria tampan itu tentangku. Itu terlihat sangat jelas. Ayahku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.
"Kau akan segera pergi?" Sebuah suara lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada gadis sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikan bagi semua orang? AKu langsung menjatuhkan tatapanku ke lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan gadis itu melihatku menangis.
Saat aku sampai di luar rumah, aku menangis terisak dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. AKu harus mencari perlindungan. AKu masuk ke dalam trukku, bukan di dalam rumah itu dengan orang-orang sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu ibuku.
Aku benar-benar ingin keluar dari rumah. Rudy tidak ingin aku membawa keenan keluar sejak aku adalah sumber makanan bagi Keenan. Dia tetap menolak menggunakan botol bayi. Keenan hanya ingin aku. Sama seperti ayahnya yang sangat protektif terhadap kami berdua jika ada orang lain yang datang untuk menggendongnya.Minggu pertama saat kami pulang ke rumah sangat mudah. Aku kelelahan dan Keenan tidak tidur saat malam jadi aku terjebak bersamanya di tempat tidur saat siang hari. Aku merasa tidak enak karena tidak pergi ke pemakaman ayah Raka. Raka dalah temanku dan aku tidak suka melihatnya bersedih karena dia kehilangan ayahnya. Rudy meyakinkanku kalau Raka akan baik-baik saja.Aku menaruh Keenan di sofa saat dia tidur di ruang keluarga, aku akan menggunakan waktu itu untuk melakukan beberapa yoga. Aku ingin mengembalikan tubuhku sama seperti aku belum hamil Keenan.Bell pintu berbunyi sebelum aku bisa membuka vidionya jadi aku menyimpan kembali ponselku
Dia sangat sempurna. Rudy menghitung jari kaki dan jari tangannya dan aku mengecup salah satu tangannya. Dia juga sangat kecil. Aku tidak tahu kalau seorang bayi bisa sangat sekecil ini."Kita harus memutuskan sebuah nama untuknya sekarang." Kataku melihat Rudy setelah aku akhirnya di pindahkan ke ruangan perawatan.kami sudah melihat beberapa ide untuk sebuah nama tapi tidak ada yang cocok. jad kami memutuskan untuk menunggu hingga saatnya dia lahir dan memberinya sebuah nama saat melihatnya."Aku tahu, kita sudah melihatnya sekarang. Kita harus memberinya nama. Apa yang kau pikirkan?" Tanya Rudy."Aku pikir dia terlihat cocok dengan Joshua." Kataku dan tersenyum padanya. Rudy terlihat tidak menyukai nama itu."Kau memikirkan kakakmu?" Tanya Rudy.Aku tersenyum konyol padanya. "Aku ingin namamu ada padanya tapi jika kita menamainya Joshua itu akan terdengan aneh."Rudy terlihat bahagia. Dia menyukai ide tentang namanya ada pada bayi
Aku sangat ketakutan. Dan itu tidak membantu ketika aku berbalik ke arah Rudy dan dia sudah terlihat panik dan lebih takut. Aku butuh dia untuk lebih tenang. Aku sudah cukup lelah dengan bereriak karena kesakitan.Rasa sakit lainnya kembali datang dan aku memegang dengan erat pinggiran tempat tidur rumah sakit dan membiarkan air mata keluar. Terakhir kali perawat datang dan mengecek aku baru pembukaan tujuh. Aku butuh sampai ke pembukaan sepuluh."Apakah aku harus pergi memangil perawat? Apakah kau membutuhkan es? Kau ingin meremas tanganku?" Rudy tetap bertanya padaku. Aku tahu dia bermaksud untuk membuatku merasa lebih baik tapi untuk saat ini aku benar-benar tidak peduli. Aku meremas bajunya dan menariknya agar wajahnya dekat padaku."Aku bersyukur karena aku tidak punya pistolku di sini karena saat ini mungkin aku akan menembakmu agar membuatmu tetap diam." Bentakku dan melepaskan bajunya dan memegang perutku saat kontraksi lain datang."Saatnya
Aku senang akhirnya kami kembali lagi ke rumah setelah tiga bulan tidak tinggal di sini. Rudy membawaku keluar kota untuk honeymoon. kami membeli banyak baju dan mainan untuk anak kami nanti. Kami belum mempunyai nama untuknya dan kami pikir kami akan menamainya setelah dia lahir ketika melihatnya. Kami berdua menikmati waktu dengan membongkar belanjaan untuk si bayi dan menaruhnya di lemari.Jafin akhirnya datang dan membawa Rudy untuk pergi bermain golf setelah dia tau kalau kami sudah kembali. Tidak makanan di sini dan aku kelaparan. Aku memutuskan untuk pergi ke restoran klub dan menemui Jery. Aku mengambil kunci mobilku. Rudy memberlikanku sebuah mobil Mercedes Benz. Aku mengambil pistolku dan menyimpannya di bawah kursi. Aku harus memindahkannya saat anakku mulai belajar berjalan nanti.Saat aku sampai di ruang makan restoran, Jery berjalan keluar dari dapur dan tersenyum padaku. "Lihat dirimu. Kau terlihat sangat sexy walaupun kau mempunyai bola basket yan
"Aku punya sesuatu untukmu." kata Rudy.Aku mengangguk bingung dan membawaku menaiki tangga dan berhenti tepat di depankamar yang dulunya pernah aku tinggali. Aku tidak pernah ke sini sejak terakhir kali aku menunjukkan kamar ini untuk Elen sebelum pernikahan. Rudy memberikanku sinyal untuk membuka pintu kamar itu. Aku benar-benar bingung sekarang.Aku membuka pintu kamar perlahan dan membiarkan pintu itu terbuka lebar. hal pertama yang ku lihat adalah tempat tidur bayi di tengah-tenga ruangan dan beberapa ornamen binatang menghiasi menggantung di atas tempat tidur itu.Rudy menyalakan lampu dan hiasan itu berputar dan memainkan lagu saat aku melangkah ke altar pernikahan namun dengan suara Rudy yang menyanyikannya. Semua yang bisa kulakukan hanya menutup mulutku dengan tanganku.Aku melangkah masuk dan sebuah kursi goyang ada di pinggir jendela dengan sebuah selimut tipis berwarna biru diatasnya. Sebuah tempat untuk mengganti popok, beberapa lemari
"Aku harap kita tidak memiliki banyak tamu malam ini." Kataku."Tidak usah pedulikan itu. Kita tidak akan tinggal di sini." Jawab Rudy.Aku menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"Dia tersenyum. "Kau benar-benar berpikir kalau aku akan berbagi rumah dengan semua orang ini saat malam pertamaku? Tentu saja tidak. Kita akan pergi ke apartemen klub yang sedang menunggu kita saat kita meninggalkan tempat ini.""Baguslah." jawabku.Dia tertawa dan aku melihat sekeliling dan kembali melihat semua teman kami ada di sini. Di respsi pernikahan kami. Semua yang kami cintai kecuali adik perempuannya dan ibunya. mereka berdua tidak akan menerima ini. Aku merasa bersalah karena mereka tidak ada di hari besar Rudy. Aku hanya berharap mereka bisa tetap menjadi bagian dari kehidupan kami untuk Rudy. Aku tahu itu walaupun Rudy tidak pernah mengungkitnya lagi.Mataku terkunci pada mata Bobi yang berdiri tidak jauh dari tempat kami berdansa."Aku mungk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments