Share

Teman

Beberapa mobil diparkir di luar ketika aku pulang ke rumah Rudy setelah bekerja. Paling tidak aku tidak akan memergokinya sedang berhubungan. Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Musik terdengar sangat keras. Aku mulai melangkah ke arah dapur ketika aku mendengar suara seorang perempuan. Perutku terasa tidak nyaman. Aku mencoba untuk mengabaikannya, tapi kakiku rasanya tertanam di lantai. Aku tidak bisa bergerak.

Aku melihat mereka di sofa. Aku tidak bisa melihat ini lagi. Aku harus keluar dari sini. Sekarang.

Aku berputar kembali ke pintu depan, tidak peduli aku melakukannya dengan diam-diam atau tidak. Seketika aku sudah berada di dalam trukku dan keluar dari jalan masuk sebelum salah satu dari mereka menyadari keberadaanku.

Dia tahu jam berapa aku pulang bekerja. Faktanya adalah, dia ingin aku melihatnya. Dia sedang mengingatkanku bahwa aku tidak bisa memilikinya. Sekarang aku tidak menginginkannya.

Aku menyetir ke arah kota dengan marah pada diriku sendiri karena membuang bensin. Harusnya aku berhemat. Aku mencari telepon umum tapi tidak dapat menemukannya dimana pun. Zaman telepon umum sudah lama berlalu, tentu saja. Aku tidak yakin siapa yang akan ku telpon. Aku bisa menelpon Bobi. Aku tidak berbicara dengannya sejak minggu lalu. Biasanya kami bicara sekali seminggu. Tapi tanpa telepon, kami tidak bisa melakukan itu.

Aku punya nomor Jafin yang tersimpan di tasku. Tapi untuk apa aku menelponnya? Aku menepi di tempat parkir sebuah cafe. Aku bisa pergi kedalam dan minum kopi dan melihat majalah selama beberapa jam. Mungkin saat itu Rudy sudah selesai dengan kegiatannya.

Jika dia sedang mencoba untuk memperingatkanku,aku sudah menerimanya dengan tegas dan jelas. Bukan berarti aku tidak membutuhkannya. Aku sudah menerima kalau pria kaya bukan untukku. Aku lebih menyukai pendapat untuk menemukan pria baik dengan pekerjaan yang biasa. Pria yang akan menghargai gaun dan sepatu perakku.

Aku turun dari truk dan mulai menuju cafe ketika aku melihat Beti dan Martin didalam. Setidaknya dia sudah mengajaknya keluar. Aku berharap yang terbaik untuknya dan membiarkan mereka sendiri. dan lagi, aku bukan ibu gadis itu. Dia mungkin lebih tua dariku, setidaknya dia terlihat lebih tua. Dia bisa mengambil keputusan sendiri dengan siapa dia ingin menghabiskan waktunya. Udara laut menggelitik hidungku. Aku berjalan menyebrangi jalan menuju pantai.

Suara ombak menabrak karang begitu sangat menenangkan. Aku berjalan. Aku membiarkan diriku mengingat ibu dan saudaraku secara bersamaan. itu sangat jarang kulakukan karena rasanya terlalu menyakitkan. Malam ini, aku ingin merasakannya. Aku butuh mengingatkan diriku kalau aku pernah mengalami hal yang jauh lebih buruk daripada tingkah bodoh seorang pria yang benar-benar sama sekali tidak memikirkanku. Aku membiarkan kenangan itu membanjiri pikiranku... sambil aku berjalan.

Sudah hampir tengah malam ketika aku mengemudi kembali kerumah Rudy. Tidak ada lagi mobil di luar rumah.

Siapa pun yang tadi ada disini sekarang sudah pergi. Aku menutup pintu truk dan berjalan menuju tangga. Lampu depan membuat rumah terlihat menakutkan di malam hari. Sama seperti Rudy.

Pintu terbuka sebelum aku sampai disana dan Rudy berdiri menghalangi pintu masuk. Apakah dia disini untuk memberitahuku untuk pergi? Lagian aku juga mengharapkan hal itu. Aku melihat sekelilingnya mencari koperku.

"Dari mana saja kau?" Tanyanya dengan suara serak.

Aku menatap padanya. "Apa urusanmu?"

Dia melangkah keluar pintu dan mempersempit jarak antara kami. "Karena aku khawatir."

Dia khawatir? Aku menghela napas dan menyelipkan rambut yang terus saja terbang menutupi wajahku kebelakang telingaku karena angin. "Aku mengerti kalau kenyataanya tidak begitu. Aku yakin kau terlalu sibuk dengan urusanmu malam ini untuk mengkhawatirkan hal lain." Kataku sinis.

"Kau datang lebih awal dari yang ku duga. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu melihat hal itu."

Sepertinya perkataanya membuatnya merasa lebih baik. aku mengangguk dan menggeser kakiku. "Omong kosong. Aku pulang ke rumahmu pada waktu yang sama setiap hari. Aku pikir kau ingin aku melihatnya. Aku tidak punya perasaan padamu Rudy. Aku hanya butuh tempat tinggal selama beberapa hari lagi dan aku akan pindah dari rumahmu dan hidup sendirian."

Dia memaki dan kemudian menatap langit sebelum dia kembali melihat kearahku. "Ada hal tentangku yang kau tidak tahu. Aku bukan salah satu dari pria biasa yang bisa kau miliki. Aku memiliki hidup yang sangat berbeda. Bahkan terlalu berbeda untuk orang sepertimu. Mengingat aku sudah bertemu ayahmu. Kau tidak seperti dia. Dan aku tidak baik untukmu."

Aku tertawa keras. "Benarkah? hanya itu? Aku tidak pernah meminta apapu selain sebuah kamar. Aku tidak mengharapkan atau menginginkanmu. Aku sadar kau dan aku berada di dunia yang berbeda. Kau berada di dunia yang tidak pernah bisa ku gapai. Aku mengenakan gaun mura dan sepasang sepatu perak karena ibuku memakainya di hari pernikahannya. Aku tidak memerlukan barang-barang desainer. Dan kau adalah pecundang."

Rudy meraih tanganku dan menarikku ke dalam. Dia mendorongku ke dinding. "Aku bukan seorang pecundang. Tanamkan itu dalam kepalamu. Aku tidak bisa menyentuhmu. Aku sangat ingin menyentuhmu tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin menyakitimu. Kau terlalu sempurna. Dan pada akhirnya kau tidak akan pernah bisa memaafkanku."

Aku berdebar. Menyakitkan. Kesedihan dimatanya, aku tidak bisa melihatnya. Aku bisa melihat emosi dalam matanya yang indah. dahinya berkerut seolah-olah ada sesuatu yang menyakitinya. Aku menatapnya dalam. Aku tidak ingin dia menjaga jarak dariku. Aku ingin membuatnya tersenyum.

Pertahanan diriku runtuh.

"OKe." Aku tidak akan berdebat lagi. "Bisakah kita berteman? Aku tidak ingin kau membenciku. Aku hanya ingin berteman." Aku terdengar menyedihkan.

Dia menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan menjadi temanmu. Aku akan mencoba sekuat tenaga untuk menjadi temanmu. Dan aku akan berhati-hati. Aku tidak bisa terlalu dekat. Kau membuatku menginginkan hal-hal yang tidak bisa kumiliki. Hanya teman." Katanya kemudian dia menjauh dan berjalan menuju tangga. Aku bersandar di dinding dan melihatnya pergi.

"Aku tidak ingin kau berada di bawah tangga itu. Aku benci itu. Tapi aku tidak bisa membawamu kesini. Aku tidak bisa menjauh darimu. Aku ingin melindungimu." Katanya tanpa melihat ke arahku. tangannya mencengkram tangga sampai jarinya memutih. Dia berdiri disana satu menit sebelum memaksa dirinya untuk melangkah pergi dan menaiki tangga. Ketika aku mendengar pintu tertutup aku merosot ke lantai.

"Rudy, bagaimana kita bisa seperti ini? Aku butuh jarak." Bisikku di ruangan kosong. Aku harus menemukan orang lain. Bukan Rudy. itu adalah satu-satunya cara agar aku tidak jatuh terlalu jauh. Rudy sangat berbahaya untuk hatiku. Jika kami akan menjadi teman, maka aku harus menemukan orang lain untuk memusatkan perhatianku. Secepatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status