‘Mungkin ini hanya perasaanku saja.’
“Sebaiknya kamu jangan melamun. Jika CEO killer melihatnya, kamu bisa habis diomelinya.”
“CEO Killer?” tanya Lizbeth saat ia dan Angela berjalan kembali ke meja resepsionis.
“Kamu tidak tahu CEO kita?”
Lizbeth menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu apa pun.”
“Ada desas desus kalau bos kita keturunan mafia! Dia sangat kejam, resepsionis sebelummu, hanya bertahan selama satu minggu!” bisik Angela.
Mendengar cerita Angela, membuat Lizbeth cemas. Dapatkah dia bertahan, bagaimanapun dia membutuhkan uang.
Angela memandang Lizbeth dari atas sampai ujung kakinya. Angela menggelengkan kepala. Memuat Lizbeth mengerutkan keningnya.
“Jujur saja, kamu tidak cantik. Sebagai resepsionis, kita harus tampil menarik. Ada baiknya kamu tak lagi memakai kacamata, pakailah lensa kontak. Dan makeup-mu... duh, lalu gaya rambutmu itu, kuno sekali. Sepertinya kamu tidak akan bertahan lama di sini.”
Lizbeth terkejut. Matanya melotot. “Apa maksudmu?”
Angela tidak lagi menjawab. Ucapan Angela membuat Lizbeth sedikit gelisah. Mereka pun mulai fokus kepada pekerjaan masing-masing.
Setelah beberapa waktu berlalu. Lizbeth menerima kiriman bunga aster untuk seseorang bernama Lucien. Lizbeth ingat, kalau Lucien adalah naman bosnya. Ia mencoba menghubungi sekretaris Lucien, tapi tak diangkat. Karena itu, ia memutuskan mengantar langsung bunga tersebut.
Angela yang baru kembali dari toilet mendapati Lizbeth masuk ke dalam lift dengan membawa bunga itu. Ia panik dan berlari mencoba menghentikannya, tapi pintu lift sudah menutup.
“Gawat!” gumam Angela sambil menekan tombol lift dengan cemas.
Sesampainya di lantai atas, Lizbeth melangkah menuju ruang CEO dan mengetuk pintu. Suara dari dalam mempersilakan masuk.
“Selamat siang, Pak. Ada kiriman bunga untuk—”
Lizbeth masuk ke dalam dengan kepalanya sedikit tertunduk. Lizbeth terdiam saat melihat pria yang duduk di balik meja mewah itu, memandangnya mata dingin. Pria itu berdiri perlahan, tatapannya menusuk diam-diam.
Sebelum ia berkata sesuatu, Angela menerobos masuk dengan napas memburu.
“Pak, mohon maaf. Ada kesalahan. Bunga ini bukan milik Anda!” serunya sambil mengambil bunga dari tangan Lizbeth dan membungkuk dalam-dalam.
Lizbeth terpaku, matanya tak lepas dari wajah pria yang kini berdiri tegak. Angela menarik tangannya, hendak membawanya pergi.
Namun, suara Lucien menghentikan langkah kaki mereka. “Berhenti.”
Mereka terdiam, Lizbeth tidak berani menoleh. Bahkan untuk menggerakkan tubuhnya pun membuatnya takut.
“Kau resepsionis baru?” tanya Lucien menatap dalam-dalam.
Angela berbalik badan, dan menjawab gugup. “Benar, Pak.”
“Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya padanya.”
Dengan gugup. Lizbeth memutar tubuhnya menunduk. “Benar, Pak. Saya resepsionis baru.”
Lucien menatapnya dalam-dalam. Angela yang berdiri di samping Lizbeth tampak ketakutan. Tatapan Lucien berpindah ke name tag yang bertuliskan nama Lizbeth. Ekspresinya sedikit berubah, seperti sedang mengingat sesuatu.
Saat itu, Sonia datang membungkuk dan mencoba mencari pengampunan untuk Lizbeth.
“Mohon maaf Pak, dia baru masuk hari ini. Saya janji, ini tidak akan terulang lagi. Angela, bawa Lizbeth kembali ke bawah.”
Angela dan Lizbeth menuruni lift. Lizbeth saat ini masih terkejut, sampai tidak memedulikan Angela yang terus menerus mengomel.
Saat lift terbuka, Lizbeth langsung pergi menuju toilet. Lizbeth tidak pernah menyangka dipertemukan kembali dengan pria yang ditidurinya dengan cara seperti ini. Dia merasa dunia begitu sempit, dari banyaknya orang di dunia ini, kenapa harus Lucien yang menjadi bosnya.
“Kenapa dari sekian banyaknya pria, harus dia?” gumamnya pada bayangan dalam cermin.
Lizbeth berdiri di depan cermin wastafel, dia menghela napas. Jantungnya berdegup kencang, kakinya terasa lemas. Lizbeth teringat malam panas itu, dan kini pria itu Lucien, CEO-nya.
“Apakah dia mengenaliku?” gumamnya, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Sementara itu, di ruangan kerjanya Lucien duduk memandangi profil Lizbeth yang baru saja diserahkan oleh Sonia.
“Saya akan meminta Sonia memecatnya,” ucap Kilian.
Lucien tidak menjawab. Ia hanya menatap foto Lizbeth dan berkas itu, diam namun matanya terlihat emosi. Kilian pergi meninggalkan ruang kerja Lucien. Di waktu yang sama, bayangan malam panas terus berputar kembali di kepalanya.
Setelah kejadian itu, Sonia menegur Lizbeth dengan tegas. Ia melarang Lizbeth menerima atau mengantar apapun yang berhubungan dengan Lucien, terutama bunga. Semua kiriman bunga untuk Lucien kini langsung dibuang ke tong sampah.
***
Dua hari berlalu. Sejak insiden itu, Lucien tidak lagi menyinggung soal bunga. Lizbeth bekerja seperti biasa. Hari itu, ia diminta membantu menyiapkan ruang rapat.
“Dua puluh menit lagi rapat. Pastikan semuanya siap. Jangan sampai ada kesalahan,” perintah Sonia.
“Dua puluh menit lagi meeting, cek kembali semua perlengkapannya. Jangan sampai ada kesalahan,” kata Sonia.
Lizbeth baru saja merapikan barang di depannya. “Semuanya sudah siap,” ujar Lizbeth kepada Sonia dan membungkuk dan keluar bersama rekannya yang lain.
Di luar ruang rapat, Lizbeth berpapasan dengan Lucien. Semua staf membungkuk, termasuk dirinya. Lucien berjalan begitu saja, tak melirik sedikit pun ke arahnya.
Lizbeth menghela napas pelan.
‘Sepertinya dia memang tidak mengingatku.’
Meski belum sepenuhnya lega, ada sedikit kelegaan di hati Lizbeth dan berharap semuanya akan selalu berjalan dengan normal.
Saat memasuki ruangan rapat, para staf terdiam dan membungkuk. Lucien duduk di kursinya dan memulai rapat. Saat dalam ruangan rapat, dia sempat teringat kepada Lizbeth yang baru berpapasan dengannya, Lucien melirik sekretarisnya. “Yang kuminta, sudah kau dapatkan?”
“Setelah selesai rapat, saya akan menyerahkannya kepada Anda.”
Lucien menyeringai kecil. Sorot matanya tidak bisa diartikan.
“Gadis lima juta... beraninya kau pura-pura tidak mengingatku.”
Air mata Lizbeth menetes. Lucien merasakan kesedihan di hati kekasihnya, Lucien mendekat dan perlahan meraih tangan Lizbeth.“Aku hanya sedikit lelah, lebih tepatnya aku tidak ingin melihat perempuan yang kucintai dipermainkan. Terlebih orang itu adalah ibu sendiri. Lizbeth, kamu ingin melindungiku dan sekarang aku sedang melindungimu. Kita impas.”Lizbeth tercengang nyaris tidak percaya atas apa yang dikatakan oleh Lucien.“Apa kamu yang tidak percaya sekarang, kalau aku bisa melindungimu dengan caraku? Bukan karena sekarang aku Kingsley. Tapi, aku percaya aku bisa menjagamu. Melindungimu, apa kamu tidak percaya?”Lucien menghela napas. Ia tahu saat ini Lizbeth sedang emosi, justru pilihan Lucien bagi Lizbeth hanya akan memperburuk reputasinya di mata keluarga pihak ibunya dan Lizbeth tidak ingin melihat itu semua. Melihat orang yang dicintainya dipermainkan. Dijadikan ejekan, mengingat Lucien sangat sempurna dan tidak tersentuh.Lizbeth tidak ingin menjadi kelemahan Lucien. Malam se
Dua jam berlalu, di ruangan kerja yang dipenuhi rak buku tua dan lukisan keluarga, Cameron berdiri membelakangi pintu. Bahunya tegap, tapi sorot matanya mulai goyah. Di tangannya, segelas scotch yang belum tersentuh. Matanya menatap keluar jendela, ia masih memikirkan perkataan sang istri belum lama ini. Pintu terbuka. Victoria masuk perlahan, membawa dua gelas anggur. Seperti biasa, penuh perhitungan dan keanggunan yang berbahaya.“Aku tahu kau belum tidur,” ucapnya pelan, menaruh gelasnya di meja marmer. “Kau selalu begini saat merasa kalah.”Cameron tak menjawab. Ia hanya menatap gelas di tangannya. Lalu menghela napas panjang.“Caspian kembali, membawa satu nama yang selama ini tidak kita kenal, dan tiba-tiba dunia harus tunduk padanya,” gumamnya, lebih seperti berbicara pada diri sendiri.Victoria mendekat, menyentuh lengannya pelan. “Kau lupa seberapa keras kamu berjuang dulu, sayang, saat kakakmu masih koma, dan ayahmu masih hidup. Kau hanya anak kedua. Tapi kau berdiri, mengg
Lucien tidak langsung menjawab. Ia berdiri, lalu menepuk kepala singa putihnya sebelum melangkah mendekat.“Tidak. Aku hanya ingin mencari ketenangan saja,” sahut Lucien, dengan nada yang sama seperti semalam. Lembut, datar, tapi mengandung sesuatu yang dalam.Lizbeth menatap matanya, mencoba membaca apakah ada luka di hati pria yang dicintainya. Tapi Lucien pandai menyembunyikan apa pun yang dia rasakan. Dia tidak ingin kekasihnya terluka dan semakin memiliki banyak tekanan.“Aku pikir kamu marah…” gumamnya.Lucien menggeleng, lalu menatap ke arah singa yang sedang berbaring santai.Lizbeth tersenyum kecil. “Kamu lebih memilih singa daripada aku?”Lucien akhirnya menoleh lagi. Menatapnya lekat.“Aku memilih kamu,” katanya pelan. “Tapi dunia yang mengelilingimu penuh kebencian. Dan sepertinya kamu tidak yakin padaku.”Lizbeth menunduk. Ia tahu maksud Lucien. Mereka belum benar-benar bebas. Bahkan ketika Caspian sudah mengumumkan semuanya ke publik, bahkan saat satu per satu anggota ke
Setelah makan malam selesai, Caspian mengajak Cameron dan Samantha masuk ke ruangan kerja mendiang ayah mereka. Ruangan itu tidak berubah. Masih kaku, dingin, penuh kenangan. Samar-samar aroma kayu tua dan parfum lawas menyelimuti ruangan itu.Caspian duduk di kursi lama ayahnya. Cameron berdiri di dekat jendela, sementara Samantha duduk di sofa. Hingga suaranya mulai terdengar.“Caspian, sekarang kamu sudah kembali. Bisakah kamu akhiri perdebatan ini. Mommy sudah lama menunggumu pulang, bukan untuk berada dalam pertengkaran hebat, ataupun dikelilingi kebencian.”“Caspian, apa yang dikatakan Mommy benar. Apa semuanya tidak bisa diperbaiki? Apa kita sekeluarga tidak bisa lagi seperti dulu?”Caspian yang membelai meja sang ayah menghela napas berat. “Seperti dulu? Di saat kamu mengambil kekasihku, mengambil perusahaan dariku?” Caspian menatap ibu dan adiknya bersama kesedihan. “Kalian tidak hanya membuatku kecewa. Kalian juga tidak ingin Lizbeth diakui di dalam keluarga Kingsley. Aku ha
“Kau gila, Lucien?”“Ya, aku sudah gila,” jawab Lucien pelan. Sorot matanya tidak goyah sedikit pun. “Lalu, sekarang kamu sudah tidak menginginkan aku lagi?”Lizbeth menggigit bibirnya. Hatinya sakit, tapi dia tahu harus kuat. Bukan karena sudah tidak cinta. Justru karena dia terlalu mencintai Lucien. “Atau kamu merasa terbebani dengan hubungan keluarga kita?” lanjut Lucien lagi, suaranya nyaris seperti bisikan.Lizbeth tidak menjawab. Dia menunduk. Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi semuanya terjebak di tenggorokan. Dia ingin Lucien berhenti. Bukan karena dia menyerah, tapi karena dia ingin Lucien tetap aman, tidak ikut hancur. Bukan karena malu, akan hubungan darah atau pandangan keluarga. Tapi bagaimana Lizbeth bisa menjaga Lucien. Lizbeth ingin melindungi Lucien dengan caranya sendiri. Meski itu berarti tidak bersamanya.“Lucien,” bisiknya akhirnya. “Aku hanya tidak ingin kamu terluka.”Lucien menghela napas pelan, seperti menahan amarah dan kesedihan dalam satu tarikan.
Caspian sangat marah, saat tahu, rapat keluarga Kingsley yang seharusnya digelar di New York masih ditunda tanpa kejelasan. Artinya, Kingsley masih enggan mengakui Lizbeth. Mereka tidak siap menerima keberadaan putrinya, tidak siap mengukuhkan posisinya sebagai bagian dari darah Kingsley.Caspian menatap laporan-laporan media yang disusun oleh Joseph. Gerak diam keluarga Kingsley bisa diartikan sebagai penghindaran, atau bahkan penolakan. Tapi Caspian tahu permainan macam apa yang sedang berlangsung. Ini bukan soal kehormatan keluarga, tapi tentang siapa yang pantas duduk di atas. Dan mereka takut. Bukan karena Lizbeth lemah. Justru karena mereka tahu, Lizbeth punya darah Caspian Damien Kingsley.“Jika keluarga Kingsley masih saja enggan membuat pertemuan keluarga. Jangan salahkan aku membuat konferensi pers, bahkan jika itu harus merugikan Kingsley.”Caspian mengepal tangannya, dia kesal. Karena Samantha masih diam perihal ini, bahkan setelah tahu kalau Lizbeth adalah cucu yang secar