Home / Romansa / Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO / Takkan Pernah Kulepaskan!

Share

Takkan Pernah Kulepaskan!

Author: Caramelly
last update Last Updated: 2025-03-26 13:36:03

“Lucien, jangan, uuuh!”

Lizbeth merasakan napas Lucien yang mulai memburu. Dia sadar, pria itu tak akan menggubris permohonannya, apalagi melepaskannya.

Kemejanya kini terbuka sepenuhnya, memperlihatkan bra dan tanda merah yang belum sepenuhnya pudar dari malam itu. Lizbeth merasa malu setengah mati. Saat Lucien melihatnya.

Tanpa diduga, Lucien membuat tanda di tempat yang sama. Lizbeth menggigit bibirnya saat sensasi malam itu kembali menyeruak. Setelah selesai membuat tanda merah di tempat yang sama, Lizbeth melihat ekspresi puas di wajah Lucien.

“Aku mohon lepaskan aku!” pinta Lizbeth, matanya mulai berkaca-kaca.

Lucien mendekatkan wajah ke telinganya. Lizbeth mengira ia akan membisikkan sesuatu, tapi yang terjadi, Lucien justru mengecup telinganya, lalu kembali melumat bibirnya dengan paksa.

Tubuh Lucien sepenuhnya mendominasi, hampir menindih Lizbeth. Dia tak punya ruang untuk melawan. Ciuman Lucien makin liar. Membuat Lizbeth semakin tidak bisa melawan. Tangannya merobek paksa bagian belakang stocking Lizbeth.

“Berhenti!” seru Lizbeth, Lucien sempat menarik wajahnya. Lizbeth takut kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Tapi Lucien tak menggubrisnya. Dia  kembali menciumi dan terus mencium Lizbeth, mencumbu tiap jengkal kulitnya. Membuat tubuh Lizbeth semakin merasakan panas dari sentuhan Lucien. Saat Lucien menyesap tengkuknya, suara Lizbeth terdengar lirih.

“Aku mohon berhenti ...”

Namun permintaan itu tetap diabaikan. Lucien kembali mencium bibir Lizbeth, membuatnya nyaris kehabisan napas. Ia menarik diri sejenak, menatap mata Lizbeth yang membara.

“Aku tidak akan berhenti sebelum kau memberiku jawaban yang memuaskan.”

Ia meraih kepala Lizbeth dan kembali menyesap bibirnya. Lizbeth berontak, tapi sia-sia. Nafasnya makin berat, tubuhnya lunglai.

Mata mereka bertemu, napas keduanya terengah.

“Aku mengingatnya ... aku sudah mengingatnya!” seru Lizbeth. “Sekarang, bisakah kamu melepaskanku?”

Lucien tampak ragu melepaskannya Lizbeth menyadari kalau Lucien sudah menyadari kalau dirinya adalah perempuan yang tidur dengannya malam itu.

“Maaf jika hari itu aku menyinggungmu. Itu cuma one night stand. Tak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Tolong jangan pecat aku. Aku berjanji akan bungkam,” ucap Lizbeth lirih, mencoba meyakinkan.

Lucien tersenyum miring dan akhirnya menjauhkan tubuhnya. Lizbeth buru-buru menutupi dadanya, turun dari meja, dan mengancingkan kemejanya satu per satu.

“Tolong jangan buat saya malu lagi!” ucap Lizbeth berusaha tenang. “Tolong lupakan malam itu. Anggap saja tidak pernah terjadi. Tapi jika kau tetap ingin memecatku ... aku tak bisa melawan.”

Lucien menatapnya tajam, dan mencekal tangan Lizbeth. “Aku tidak sedang mempermainkanmu. Tapi kau harus tahu, dunia ini tidak sesederhana permintaan maaf.”

Ketegangan di antara mereka mencapai puncaknya. Lizbeth menarik napas panjang.

“Jika Anda ingin membalas saya karena malam itu… lakukanlah dengan cara yang profesional, bukan begini.”

Lucien mengerutkan kening, ekspresinya berubah. Untuk sesaat, ia terlihat ragu, lalu melepaskan tangan Lizbeth.

“Keluar,” ucapnya singkat.

Lizbeth terdiam. “Apa saya dipecat?”

Lucien kembali ke meja kerjanya dan duduk. Dia sama sekali tidak memberikan jawaban kepada Lizbeth. Hati Lizbeth terasa perih.

Dengan tubuh gemetar, Lizbeth membungkuk sopan dan melangkah keluar. Saat pintu tertutup, Lucien menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit. Tangannya meremas profil Lizbeth yang masih terbuka di meja.

"Gadis lima juta... Kau sungguh tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi."

Darah Lucien berdesir mengingat kenangan panas yang membakar tubuhnya dan membuatnya tidak  dapat melepaskan hasrat yang ingin dituang kembali.

Lizbeth yang baru keluar dari ruangan kerja Lucien, menghela napas. Tubuhnya masih terasa lemas dan jantungnya masih berdegup kencang. Matanya berbinar dan sempat terpejam.

“Hah, apa yang harus kulakukan sekarang? Apa hidupku sudah berakhir!” gumamnya pelan. Setetes air mata jatuh. Ia tahu mencari pekerjaan di zaman sekarang tidaklah mudah.

Tabungannya semakin menipis. Jika dia kehilangan pekerjaannya sekarang. Maka dunianya benar-benar hancur.

Lizbeth masuk ke toilet. Setelah memastikan tidak ada orang, ia menatap lehernya di cermin. Bekas merah itu terlihat jelas. Ia menarik napas dalam, melepas stocking-nya, dan membuangnya ke tempat sampah.

Hingga detik ini, napas Lucien masih membekas di pikirannya.

Ia kembali ke meja resepsionis. Angela mengerutkan kening saat melihatnya.

“Eh, kacamatamu?”

Lizbeth baru sadar kacamatanya entah di mana. Angela menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, menyadari sesuatu yang berbeda.

“Kamu... dimarahi ya?”

“Aku terjatuh di toilet. Kacamataku patah,” jawab Lizbeth cepat. Dan tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya.

Melihat ekspresinya, Angela tak bertanya lebih lanjut. Seolah sudah bisa menebak segalanya.

Hari itu Lizbeth tetap bekerja seperti biasa, meski hatinya tahu, dia sudah dipecat. Tapi ia tak mau pergi sebelum menyelesaikan pekerjaannya.

Menjelang senja, Lizbeth baru pulang ke penginapan. Ia merasa sangat lelah. Ia membawa beberapa belanjaan untuk makan malam.

Tak disadari, sebuah mobil mengawasinya dari kejauhan.

Malam itu Lizbeth hanya makan burger seadanya. Ia harus berhemat. Lucien sudah memecatnya. Saat mengunyah, air mata kembali menetes. Ia merindukan masakan ibunya, dan kehangatan keluarga.

“Mom, aku merindukanmu! Aku ingin sekali mencicipi masakanmu.” Lizbeth memeluk lututnya, larut dalam tangisannya.

Seumur hidupnya, dia tidak akan pernah lagi mencicipi masakan ibunya. Hatinya semakin sakit.

Lizbeth, hanya ingin bahagia. Tapi mungkinkah itu terlalu berlebihan baginya?

Sementara itu, Lucien baru saja tiba di mansion megahnya. Para pelayan berdiri berjejer menyambutnya.

“Selamat datang kembali, Tuan,” ucap kepala pelayan bernama Freya, sambil membungkuk.

Lucien berjalan menuju kamarnya. Ia melucuti pakaiannya dan berendam dalam jacuzzi. Kilian menuangkan segelas wine ke gelasnya, dan musik klasik mengalun tenang.

Lucien menyesap wine perlahan. Pikirannya kembali berpusat kepada Lizbeth. Ciuman mereka masih membekas, membangkitkan gejolak di dalam dirinya.

“Lizbeth Cassiel Llewellyn ... kau tak akan pernah kulepaskan,” ucap Lucien sambil memejamkan mata, menekan hasrat yang kembali bangkit

***

Dering ponsel terus berbunyi, panggilan tak henti, memaksa Lizbeth membuka mata. Jam baru menunjukkan pukul 06.30. Dengan mata sepet, ia menjawab panggilan itu.

"Halo?"

"Sepertinya tidurmu nyenyak. Cepat bangun! Kamu lupa kalau hari ini kamu masuk kerja?" suara Sonia, atasannya, terdengar dari seberang.

Lizbeth terperanjat. Diam sejenak. Apa dia tak salah dengar? Atau masih bermimpi?

"A-a-aku tidak jadi dipecat?" tanyanya tergesa.

"Kamu beruntung, Lizbeth. Saat sampai di kantor nanti, berterima kasihlah pada pak Lucien."

Panggilan itu berakhir. Ponselnya jatuh ke kasur. Perasaannya saat ini bercampur senang, dia tidak tahu apa harus sedih lagi. Atau harus senang karena tidak jadi dipecat?

"Kenapa dia tiba-tiba berubah pikiran? Lucien ... seandainya malam itu aku tak menidurimu..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rna 1122
semakin seruuuu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Tidak Takut Padanya

    Lizbeth menghela napas. Ia berpikir keras, siapa yang menjadi dalangnya. Jika memang orang itu memiliki kuasa, maka mereka setara dengan Lucien, atau bahkan dirinya. Namun, di rumah ini hanya ada mereka. Semua orang yang berada di rumah ini adalah orang yang dimusuhi oleh Alessandro.Lizbeth kembali memikirkan semua itu, atau mungkin seperti yang dipikirkan oleh Lucien ada orang yang memiliki kendali. Tanpa mereka sadari, orang itu memanfaatkan celah memasukkan mereka ke dalam Rosehall, dan memanipulasi semua akses selama ini. Siapakah orang itu?“Lilibeth,” panggil Lucien membuyarkan lamunan istrinya.Lizbeth menatap Lucien, terkejut dan memegang tangan Lucien. “Lucien, mengenai hal ini kamu harus lebih waspada lagi. Kita harus membuat rencana lain, agar orang itu mampu menunjukkan celahnya. Dengan begitu kita tahu. Siapa orangnya.”“Maksudmu?” Lucien menatap istrinya. Lizbeth menarik tangan Lucien, lalu dia berbisik di telinga Lucien. Hal itu membuat Lucien terkejut.“Tidak, ini sa

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Aku Akan Mengkahirinya

    Langit malam itu, tidak sehangat biasanya. Jarak villa dan mansion hanya 30 menit. Namun, tempat ini sangat luas. Di depan sana masih ada pepohonan yang lebat, serta jalanan yang gelap. Bagaimanapun, mereka belum tahu siapa yang bermain di sini. Lizbeth berdiri di depan pintu, menggenggam erat tangan Edwina.“Aku hanya akan pergi sebentar. Setelah semuanya aman, aku akan kembali,” kata Edwina, mencoba terdengar yakin. Tapi suaranya gemetar.Lizbeth memaksakan tersenyum. “Tentu.”Tidak lama, Lucien datang bersama Jason. Sopir sudah siap, dan mobil menunggu untuk mengantarkan Edwina kembali ke mansion.“Jason, akan memastikan kamu sampai dengan selamat,” ucap Lucien, menatap adiknya dengan pandangan yang sulit diartikan.Edwina menatap mata kakaknya. “Tolong jaga Kak Lizbeth?”Lucien mengangguk pelan. “Dengan seluruh hidupku. Aku pasti menjaganya.”Edwina mendekat. Ia memeluk Lizbeth sekali lagi, lama dan hangat. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia masuk ke dalam mobil. Lizbeth menahan

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Kamu Harus Pergi

    Lizbeth terkejut. “Mata-mata katamu?”“Lucien, aku sangat yakin dengan hal ini. Apa kamu tidak pernah merasakannya, ada yang tidak beres di sini?”Lucien menggeleng pelan. “Orang yang bekerja di sini, adalah orang lama yang dipekerjakan oleh nenekku. Selain itu, harusnya tidak ada yang ber—-”Lucien tidak melanjutkan ucapannya. Namun, dia seolah terjebak dalam ucapannya dan menyadari sesuatu.“Jason, kau harus menemukan aku mata-mata itu. Mungkin saja dia sudah tahu kalau Lizbeth—”Lucien menatap foto itu dalam-dalam. Gambar yang nyaris buram itu menunjukkan Lizbeth berdiri di halaman belakang villa, memegang segelas jus di tangannya. Tapi, yang membuat napasnya tercekat, ada sosok samar di belakang, di antara bayangan pohon. Seseorang sedang mengawasi. Jaraknya tidak lebih dari dua puluh meter.Lizbeth merasakan tubuhnya gemetar, tanpa ia sadari. “Itu kapan diambil?” Lizbeth menghela napas. “Aku bahkan tidak sadar kalau ada mata-mata.”“Dua hari lalu,” jawab Jason pelan. “Seseorang m

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Mata-mata

    Lizbeth menunduk pelan. Matanya yang berkaca-kaca kini mulai meneteskan air mata haru. Tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa hangat perasaan di hatinya saat ini. Untuk pertama kalinya, Victoria menerima kehadirannya bukan hanya sebagai menantu, bukan sebagai istri Lucien, tapi sebagai bagian dari keluarga. Kini Victoria sudah sepenuhnya menerimanya, entah dia tersadar atau memang karena Lizbeth akan melahirkan garis keturunan pertama dari kedua darah.Lizbeth tidak peduli, selama hubungannya membaik dan ada harapan baru untuk awal yang baik antara dirinya dan Victoria.Samantha dan Cameron berdiri di lorong, tidak jauh dari kamar Victoria. Mereka tak sengaja mendengar semuanya, namun tidak ada niat untuk mencampuri. Wajah Samantha yang semula khawatir kini melunak dengan senyum yang tenang. Dia menoleh pada Cameron di sampingnya.“Keputusan yang bagus,” ucapnya lembut.Cameron menatap ibunya, dan kemudian menatap kembali ke arah kamar Victoria. Ada ketenangan baru di wajahnya

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Restu Victoria

    Lizbeth mengangkat wajahnya saat mendengar suara langkah kaki yang sudah sangat ia kenal, pelan dan hampir tidak terdengar menyusuri lorong villa. Lucien akhirnya kembali.Lizbeth menarik Edwina ke sofa yang ada di dapur.“Lucien,” ucapnya pelan.Lucien muncul dari balik pintu, dan langsung menghampiri mereka. Pandangannya pertama kali tertuju pada Lizbeth yang duduk di sofa, lalu berpindah kepada Edwina yang memeluk bantal dengan mata sembab.“Ada apa?” tanyanya pelan, namun dengan nada sedikit tegas.Lizbeth tersenyum tipis. “Kami hanya berbicara dari hati ke hati. Tidak ada yang serius.”Lucien mengerutkan dahi. Ia menatap Edwina sejenak, namun adiknya itu hanya tersenyum kecil lalu berdiri.“Aku akan menyiapkan teh. Kalian pasti ingin bicara berdua,” ucap Edwina sebelum berlalu.Lucien duduk di sebelah Lizbeth dan langsung meraih tangannya. Ia menggenggamnya erat.“Kamu pucat,” bisiknya khawatir. “Apa kamu mual lagi?”Lizbeth mengangguk pelan. “Tapi sudah jauh lebih baik. Edwina m

  • Jatuh ke Pelukan Panas Tuan CEO   Menjaga Lizbeth

    Lizbeth menatap suaminya. “Ada Edwina, di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir lagi.”Lucien mengecup kening Lizbeth dan kembali mengecup bibirnya.”Hubungi aku kalau ada apa-apa.”Edwina tertegun, dia tidak pernah melihat kakaknya protektif itu kepada keluarganya. Namun, berbeda pada Lizbeth, istrinya. Lucien pergi, ia sempat menoleh kepada Edwina sesaat. Dan mobilnya meninggalkan villa, Edwina tersenyum tipis kepada Lizbeth.Edwina mengamati wajah Lizbeth yang pucat. Sorot mata kakak iparnya yang membuatnya merasa khawatir. Lizbeth memang selalu bisa menyembunyikan perasaannya, namun tidak dari gadis yang sudah lama hidup dalam tekanan seperti Edwina.“Kak, wajahmu pucat. Apa kamu sedang sakit?” tanya Edwina.“Tidak, aku hanya sedikit kelelahan saja.”Namun, Edwina tidak bisa mempercayainya begitu saja.“Kak, kamu benar-benar baik-baik saja?” tanya Edwina pelan, sambil membawakan sebotol air putih dan sapu tangan bersih miliknya.Lizbeth tersenyum lemah, ia menggeleng pelan dan mena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status