Share

2. Mempertahankan Jabatan

Deg!

Kenop pintu itu tidak jadi digerakkan Agnes.

Tubuh Agnes membeku bersama permintaan yang lugas, terdengar jelas di telinga perempuan itu.

Kepalanya menoleh perlahan dengan sorot nanar dan dibalas senyum merendahkan Gerald. “Bukan hal sulit dibandingkan harus resign, kan?”

“Dari dulu kamu sudah mempersilakan banyak pria menikmati tubuh kamu.”

Dentuman keras menohok dalam dada Agnes bersama luka menganga, kian tergores semakin dalam. Gerald menarik luka masa lalu di antara keduanya.

“Jadi, aku juga ingin mendapatkan keuntungan yang sama. Karena aku sudah lama nggak mencicipi tubuh kamu lagi,” tekannya tersenyum puas.

Tangan Agnes bergetar, membuka terburu kenop pintu dan meninggalkan ruang kerja Gerald dengan bulir air mata yang semakin deras turun membasahi kedua pipi Agnes.

Perempuan itu menulikan indera pendengaran saat kalimat Gerald terngiang, menghentak dan meremukkan perasaan Agnes.

Ia memilih menjauh dari siapa pun, kembali ke unit di mana para karyawan memiliki kamar masing-masing di resort.

Hari ini Agnes hancur dan dipermalukan tanpa bisa diberi kesempatan untuk dihargai. Jabatan yang sudah diterima dan dinikmati Agnes tiap harinya, dilalui semakin sulit. Posisi Agnes berada di bawah satu tingkat Gerald, tapi ia layaknya seorang bawahan rendah yang tidak bisa diberikan perlakuan baik. 

**

“Saya tidak sengaja melakukannya, Bu ....”

Agnes bersandar lemah di kursi kerjanya. Kepala perempuan itu berdenyut, meskipun isak tangis salah seorang perempuan yang duduk di hadapannya terus saja terdengar jelas.

“Tapi keadaan kemarin memang sangat kacau dan pihak mereka tidak mentolerir kesalahan tersebut.”

Karyawan dari Divisi Food & Production itu menunduk sambil menjelaskan kesalahan fatalnya. Agnes memijat pelipis, mendapati kesalahan ada pada stok daging dan peralatan elektronik resort.

Dua orang bersangkutan dari divisi tersebut mengakui kelalaian mereka tidak melakukan observasi kembali, termasuk beberapa jam sebelum pesta dimulai.

“Ini rekaman CCTV yang memperlihatkan pihak pesta marah di ruang peralatan kami, Bu,” cetus pria yang lima tahun lebih tua dari Agnes menyodorkan iPad-nya.

Ia bertanggung jawab sebagai engineering.

Agnes menyugar kasar rambutnya dan merasa gelisah ketika menatap dua orang di hadapannya. “Kenapa kalian tidak ada satupun yang mengabari saya tentang permasalahan ini sejak kemarin? Kenapa harus saya yang mencari tahu lebih dulu?”

Perempuan itu mendesah frustrasi.

“Maaf, Bu. Tapi tepat hari minggu pesta akan dimulai. Ponsel Bu Agnes tidak aktif.”

“Ya Tuhan ....”

Agnes menyangga kepalanya dengan satu tangan di atas meja. Ia merutuki kebodohannya, lupa mengenai ponselnya sendiri dan waktu acara yang berlangsung.

Ia mematikan total ponsel saat berada di Jakarta. Perempuan itu berniat menghabiskan banyak waktu dengan putra kecilnya, menikmati kebersamaan yang sudah dua minggu lebih tidak ia temui.

Sebelum kembali ke Jakarta, Agnes sudah memastikan observasi di lapangan telah rampung dan ia yakin semua acara akan berlangsung lancar tanpa kehadirannya. Namun, kali ini ia salah besar dan tidak memikirkan risiko selanjutnya.

Perempuan itu memutuskan untuk sendiri, memikirkan hal apa yang masih bisa ia lakukan. Ruang kerja Agnes hening, membiarkan dirinya kembali menyesali dan mencoba mengingat semua hal teknis dan persediaan daging tidak ada yang buruk.

“Lo emang nggak pantas ada di jabatan ini, Agnes.”

Suara mengejek itu membuat Agnes mendongak.

Titania tersernyum miring sambil berjalan masuk ke arah meja kerja Agnes. “Gimana? Udah puas selama enam bulan lo di posisi ini, merasa selalu aman?”

“Lihat, kan? Sekali tersandung masalah, lo ngerasa paling frustrasi?”

Rahang Agnes mengetat melihat perempuan seusianya—menganggap ia sebagai rival—mengejek kinerja Agnes bersama tim.

Sorot angkuh dengan melipat kedua tangan di dada, membuat Agnes muak berhadapan dengan Titania. “Mereka sudah melakukan yang terbaik. Kesalahan pertama yang dilakukan beberapa orang selama mereka dalam naungan gue hampir enam bulan ini,” cetusnya mengabaikan Titania.

Perempuan dengan tinggi 169 senti itu mendengkus, menatap sinis Agnes yang mengabaikannya. “Lo emang nggak pantas berada di jabatan ini. Seharusnya gue yang berada di sini dan lo lebih baik pergi dan mengurusi anak yang lo tinggal di Jakarta.”

“Bisa berhenti bawa anak gue dalam permasalahan ini?” tanya Agnes tajam.

Posisi Titania sebagai Assistant General Manager tidak pernah menguntungkan Agnes.

Kali pertama setelah resort dipimpin Gerald satu minggu lalu. Titania mulai menunjukkan topeng aslinya, membenci Agnes habis-habisan. Posisi yang diinginkan Titania, dirasakan perempuan itu sudah direbut Agnes. Karena Titania jauh lebih dulu bekerja di salah satu aset penting keluarga Ogawa, tiga tahun lalu.

Titania membiarkan Agnes berdiri dan menatapnya datar. “Lo nggak pernah berpikir, kalau gue tersandung masalah, artinya lo juga kena? Kita masih ada hubungan pekerjaan dan selayaknya lo membantu gue.”

“Buat apa? Gue nggak peduli, tuh,” balasnya menyeringai puas mendapati wajah kulit putih Agnes memerah.

Ia bahagia kehadiran bos baru pengganti Liam Ogawa semakin memudahkan Titania menghancurkan Agnes.

Titania tertawa renyah. “Well, gue berharap lo hengkang dari jabatan dan juga tempat ini. Biar gue ada kesempatan menduduki posisi lo.”

“Gue nggak akan pergi dari sini,” desis Agnes dan membuat Titania membeku, mendapati sorot tajam Agnes tanpa diduga Titania.

“Karena mencari pekerjaan iini nggak mudah gue dapatkan dan terlebih ... posisi ini sangat menguntungkan gue, menguntungkan kehidupan gue yang nggak sendirian di Jakarta.”

“Banyak pengeluaran yang harus gue tutupi sebagai single parent, termasuk membayar babysitter. Lo terlalu mudah berpikir karena berstatus lajang. Jadi, jangan menyuruh gue pergi dari sini untuk hal yang nggak lo pikirkan sebelumnya.”

“Tanggung jawab gue lebih besar dibandingkan lo ... anak manja,” desis Agnes berlalu dari ruangan dan menutup kasar pintu.

Titania tertegun dan beralih dengan senyum tidak sempurna. Ia merasa diinjak harga diri, dipermalukan oleh Agnes setelah sebelumnya Titania puas melihat Agnes di ruang rapat.

“Sial!” umpat Titania menyugar kasar rambutnya.

“Berani-beraninya dia menghina gue,” ucap Titania mengetukkan heels, merasa darah perempuan itu mendidih dan emosi yang tidak stabil.

Titania akan membuat perhitungan pada Agnes di lain waktu. “Gue nggak pernah mau berada di bawah tekanan lo, Agnes. Tunggu ... gue pastikan lo akan keluar dari resort ini,” lanjutnya berlalu cepat, meninggalkan ruangan memuakkan bagi Titania.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status