Deg!
Kenop pintu itu tidak jadi digerakkan Agnes.
Tubuh Agnes membeku bersama permintaan yang lugas, terdengar jelas di telinga perempuan itu.
Kepalanya menoleh perlahan dengan sorot nanar dan dibalas senyum merendahkan Gerald. “Bukan hal sulit dibandingkan harus resign, kan?”
“Dari dulu kamu sudah mempersilakan banyak pria menikmati tubuh kamu.”
Dentuman keras menohok dalam dada Agnes bersama luka menganga, kian tergores semakin dalam. Gerald menarik luka masa lalu di antara keduanya.
“Jadi, aku juga ingin mendapatkan keuntungan yang sama. Karena aku sudah lama nggak mencicipi tubuh kamu lagi,” tekannya tersenyum puas.
Tangan Agnes bergetar, membuka terburu kenop pintu dan meninggalkan ruang kerja Gerald dengan bulir air mata yang semakin deras turun membasahi kedua pipi Agnes.
Perempuan itu menulikan indera pendengaran saat kalimat Gerald terngiang, menghentak dan meremukkan perasaan Agnes.
Ia memilih menjauh dari siapa pun, kembali ke unit di mana para karyawan memiliki kamar masing-masing di resort.
Hari ini Agnes hancur dan dipermalukan tanpa bisa diberi kesempatan untuk dihargai. Jabatan yang sudah diterima dan dinikmati Agnes tiap harinya, dilalui semakin sulit. Posisi Agnes berada di bawah satu tingkat Gerald, tapi ia layaknya seorang bawahan rendah yang tidak bisa diberikan perlakuan baik.
**
“Saya tidak sengaja melakukannya, Bu ....”
Agnes bersandar lemah di kursi kerjanya. Kepala perempuan itu berdenyut, meskipun isak tangis salah seorang perempuan yang duduk di hadapannya terus saja terdengar jelas.
“Tapi keadaan kemarin memang sangat kacau dan pihak mereka tidak mentolerir kesalahan tersebut.”
Karyawan dari Divisi Food & Production itu menunduk sambil menjelaskan kesalahan fatalnya. Agnes memijat pelipis, mendapati kesalahan ada pada stok daging dan peralatan elektronik resort.
Dua orang bersangkutan dari divisi tersebut mengakui kelalaian mereka tidak melakukan observasi kembali, termasuk beberapa jam sebelum pesta dimulai.
“Ini rekaman CCTV yang memperlihatkan pihak pesta marah di ruang peralatan kami, Bu,” cetus pria yang lima tahun lebih tua dari Agnes menyodorkan iPad-nya.
Ia bertanggung jawab sebagai engineering.
Agnes menyugar kasar rambutnya dan merasa gelisah ketika menatap dua orang di hadapannya. “Kenapa kalian tidak ada satupun yang mengabari saya tentang permasalahan ini sejak kemarin? Kenapa harus saya yang mencari tahu lebih dulu?”
Perempuan itu mendesah frustrasi.
“Maaf, Bu. Tapi tepat hari minggu pesta akan dimulai. Ponsel Bu Agnes tidak aktif.”
“Ya Tuhan ....”
Agnes menyangga kepalanya dengan satu tangan di atas meja. Ia merutuki kebodohannya, lupa mengenai ponselnya sendiri dan waktu acara yang berlangsung.
Ia mematikan total ponsel saat berada di Jakarta. Perempuan itu berniat menghabiskan banyak waktu dengan putra kecilnya, menikmati kebersamaan yang sudah dua minggu lebih tidak ia temui.
Sebelum kembali ke Jakarta, Agnes sudah memastikan observasi di lapangan telah rampung dan ia yakin semua acara akan berlangsung lancar tanpa kehadirannya. Namun, kali ini ia salah besar dan tidak memikirkan risiko selanjutnya.
Perempuan itu memutuskan untuk sendiri, memikirkan hal apa yang masih bisa ia lakukan. Ruang kerja Agnes hening, membiarkan dirinya kembali menyesali dan mencoba mengingat semua hal teknis dan persediaan daging tidak ada yang buruk.
“Lo emang nggak pantas ada di jabatan ini, Agnes.”
Suara mengejek itu membuat Agnes mendongak.
Titania tersernyum miring sambil berjalan masuk ke arah meja kerja Agnes. “Gimana? Udah puas selama enam bulan lo di posisi ini, merasa selalu aman?”
“Lihat, kan? Sekali tersandung masalah, lo ngerasa paling frustrasi?”
Rahang Agnes mengetat melihat perempuan seusianya—menganggap ia sebagai rival—mengejek kinerja Agnes bersama tim.
Sorot angkuh dengan melipat kedua tangan di dada, membuat Agnes muak berhadapan dengan Titania. “Mereka sudah melakukan yang terbaik. Kesalahan pertama yang dilakukan beberapa orang selama mereka dalam naungan gue hampir enam bulan ini,” cetusnya mengabaikan Titania.
Perempuan dengan tinggi 169 senti itu mendengkus, menatap sinis Agnes yang mengabaikannya. “Lo emang nggak pantas berada di jabatan ini. Seharusnya gue yang berada di sini dan lo lebih baik pergi dan mengurusi anak yang lo tinggal di Jakarta.”
“Bisa berhenti bawa anak gue dalam permasalahan ini?” tanya Agnes tajam.
Posisi Titania sebagai Assistant General Manager tidak pernah menguntungkan Agnes.
Kali pertama setelah resort dipimpin Gerald satu minggu lalu. Titania mulai menunjukkan topeng aslinya, membenci Agnes habis-habisan. Posisi yang diinginkan Titania, dirasakan perempuan itu sudah direbut Agnes. Karena Titania jauh lebih dulu bekerja di salah satu aset penting keluarga Ogawa, tiga tahun lalu.
Titania membiarkan Agnes berdiri dan menatapnya datar. “Lo nggak pernah berpikir, kalau gue tersandung masalah, artinya lo juga kena? Kita masih ada hubungan pekerjaan dan selayaknya lo membantu gue.”
“Buat apa? Gue nggak peduli, tuh,” balasnya menyeringai puas mendapati wajah kulit putih Agnes memerah.
Ia bahagia kehadiran bos baru pengganti Liam Ogawa semakin memudahkan Titania menghancurkan Agnes.
Titania tertawa renyah. “Well, gue berharap lo hengkang dari jabatan dan juga tempat ini. Biar gue ada kesempatan menduduki posisi lo.”
“Gue nggak akan pergi dari sini,” desis Agnes dan membuat Titania membeku, mendapati sorot tajam Agnes tanpa diduga Titania.
“Karena mencari pekerjaan iini nggak mudah gue dapatkan dan terlebih ... posisi ini sangat menguntungkan gue, menguntungkan kehidupan gue yang nggak sendirian di Jakarta.”
“Banyak pengeluaran yang harus gue tutupi sebagai single parent, termasuk membayar babysitter. Lo terlalu mudah berpikir karena berstatus lajang. Jadi, jangan menyuruh gue pergi dari sini untuk hal yang nggak lo pikirkan sebelumnya.”
“Tanggung jawab gue lebih besar dibandingkan lo ... anak manja,” desis Agnes berlalu dari ruangan dan menutup kasar pintu.
Titania tertegun dan beralih dengan senyum tidak sempurna. Ia merasa diinjak harga diri, dipermalukan oleh Agnes setelah sebelumnya Titania puas melihat Agnes di ruang rapat.
“Sial!” umpat Titania menyugar kasar rambutnya.
“Berani-beraninya dia menghina gue,” ucap Titania mengetukkan heels, merasa darah perempuan itu mendidih dan emosi yang tidak stabil.
Titania akan membuat perhitungan pada Agnes di lain waktu. “Gue nggak pernah mau berada di bawah tekanan lo, Agnes. Tunggu ... gue pastikan lo akan keluar dari resort ini,” lanjutnya berlalu cepat, meninggalkan ruangan memuakkan bagi Titania.
**
Gerald melihat santai rekaman yang menunjukkan seorang perempuan berjalan menuju ruang kerjanya, tergesa. Hari ini ia datang tidak dengan kepala tertunduk sambil mengusap bulir air mata. Tepat di hari kedua, perempuan itu datang membawa berkas dan beberapa data pendukung mengenai kesalahan event minggu lalu. “Stok daging dari pabrik baru datang tiga hari lalu dari supplier, Pak. Artinya, daging tersebut masih sangat layak dikonsumsi dan sudah diolah dengan sangat baik.” “Mengenai pemeliharaan bagian alat di lapangan, semua sudah di service berkala,” sambung Agnes menunjukkan beberapa lembaran pada Gerald. “Tidak sepenuhnya kesalahan berada di tim saya dan mereka sudah melakukan sebaik mungkin.” “Apa kamu tidak membaca lengkap kelayakan makanan di resort ini?” Agnes tertegun. Ia melihat Gerald menunjukkan berkas lain di sisi tangan kanan pria itu, menyodorkan tepat di hadapan Agnes. “Silakan dibaca saksama.” Di sana, seluruh peraturan dan kesalahan teknis tidak bisa ditolerir. T
“Pengkhiatan kamu aku balas dengan kenikmatan.” Agnes menangis di pinggir pantai. Deburan ombak tidak akan membuat tangisnya sampai terdengar orang lain. Ia sendiri. Memeluk kedua lutut dan membiarkan angin malam menusuk kulit tubuhnya yang hanya memakai dress selutut. Kedua bahu Agnes berguncang. Perempuan itu menenggelamkan wajah di antara lutut, merasa kalimat perih itu menggema di telinganya. Pria yang berstatus Atasannya begitu kuat ini menghancurkan diri Agnes. Gerald seolah ingin membuka masa lalu di antara keduanya dan di saat itu ... menjadi titik rendah kehidupan percintaan Agnes. Luka delapan tahun lalu, ternyata tidak mengering sempurna. “Aku nggak pernah ingin menyakiti perasaan kamu, Ge,” lirih Agnes terisak. Sorot nanar itu menatap kejauhan pantai malam hari. Keadaan di sekitarnya jauh dari hiruk pikuk keramaian. Mereka semua berada di sisi kiri Agnes, lebih dari seratus meter dengan lampu dan suasana meriah. Beberapa fasilitas yang memang kerap diisi turis se
“Mama ....” Kedua sudut bibir Agnes tertarik sempurna. Ia melambai penuh haru di layar ponsel miliknya. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, merespons luar biasa dari panggilan khas putra kecilnya. “Sayangnya Mama,” balas perempuan itu nyaris berbisik. Pandangannya sedikit berkabut, tapi berakhir dengan tawa kecil yang terasa getir. Melihat Irvin—si pemilik manik biru—mengingatkan Agnes pada luka beberapa hari lalu. Lebih tepatnya saat ia harus mendapati risiko datang terlambat dan menjadi bagian yang harus dihancurkan Gerald, termasuk membawa anaknya dalam permasalahan ia dan Gerald secara pribadi. “Anak lo kelewat tampan, Nes.” Agnes menoleh sekilas, lalu mengangguk dengan senyum manisnya pada layar ponsel. Putra kesayangannya tengah di gendong babysitter yang sudah menemani Irvin hampir satu tahun ini. “Iya, dong, Fi. Anak gue blasteran gini, udah pasti harus tampan,” cetusnya ikut memuji si rambut coklat gelap di seberang sana. Fiani mengulum senyum. Kedua perempuan itu b
“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”Titania muak dengan
Kamar Gerald dalam keadaan temaram. Suasana itu menyambut kedatangan Agnes dalam balutan mantel panjang. Keadaan terbatas tidak membuat Agnes sulit memandang kamar Gerald yang terkesan luas.Ini kali pertama ia memasuki kamar pemilik resort dan pria yang menemani masa lalunya.Agnes menguatkan hati dan pikiran. Ia memosisikan diri sebagai orang yang diinginkan Gerald. Sekalipun ada rasa perih yang kembali hadir, lalu semakin besar saat langkahnya berada di dekat Gerald.Perempuan itu harus melakukannya dalam satu malam saja, kan? Seharusnya cukup mudah dan Agnes akan melupakan semuanya.Gerald tersenyum miring sambil menenggak wine di sofa sisi ranjang. Ia hanya menunggu setelah mempermudah akses mantan kekasihnya masuk ke unit tanpa mengunci.Lamat-lamat, kening Gerald mengernyit dari balik minuman yang ia tenggak untuk kali ketiga. Ia bisa melihat tatapan tajam Agnes, disusul senyum miring perempuan semampai itu.Temaram dari gorden yang setengah terbuka memperlihatkan raut dewasa d
“Anak Mama!”Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes