Gerald melihat santai rekaman yang menunjukkan seorang perempuan berjalan menuju ruang kerjanya, tergesa.
Hari ini ia datang tidak dengan kepala tertunduk sambil mengusap bulir air mata. Tepat di hari kedua, perempuan itu datang membawa berkas dan beberapa data pendukung mengenai kesalahan event minggu lalu.
“Stok daging dari pabrik baru datang tiga hari lalu dari supplier, Pak. Artinya, daging tersebut masih sangat layak dikonsumsi dan sudah diolah dengan sangat baik.”
“Mengenai pemeliharaan bagian alat di lapangan, semua sudah di service berkala,” sambung Agnes menunjukkan beberapa lembaran pada Gerald.
“Tidak sepenuhnya kesalahan berada di tim saya dan mereka sudah melakukan sebaik mungkin.”
“Apa kamu tidak membaca lengkap kelayakan makanan di resort ini?”
Agnes tertegun.
Ia melihat Gerald menunjukkan berkas lain di sisi tangan kanan pria itu, menyodorkan tepat di hadapan Agnes. “Silakan dibaca saksama.”
Di sana, seluruh peraturan dan kesalahan teknis tidak bisa ditolerir. Termasuk stok daging yang masuk haruslah maksimal dua hari setelah tiba di gudang produksi dan dimasak tidak lebih dari dua hari juga.
Bahkan, Agnes menerima dan membaca konsekuensi dari tiap pelanggaran—kesalahan ringan, sedang dan berat—tergantung dari pemilik resort yang baru. “Ini ... bukan aturan yang saya baca hampir enam bulan lalu.”
Gerald menaikkan sebelah alisnya. “Apa maksud kamu?”
“Sekarang kamu dan karyawan dari divisi lain berada di bawah naungan saya, bukan Bapak Liam Ogawa, selaku Ayah saya.”
“Jadi, peraturan ini sudah direvisi lama, dua minggu sebelum jabatan ini saya ambil alih,” tekannya dan membuat Agnes membeku.
“Kamu memang nggak pernah layak berada di resort ini, Agnes Zefanya.”
“Janda anak satu yang merepotkanku dan merusak reputasi dari salah satu aset terpenting keluargaku. Kamu pikir, aku mau menampung perempuan bodoh seperti kamu?”
Dada Agnes terasa sesak.
Pelupuk matanya kembali berair.
Ucapan Gerald terlalu sakit dirasakan Agnes dalam satu minggu terakhir, termasuk ketika hari ini usahanya tidak dihargai. Perubahan secara mendadak tanpa Agnes ketahui sama sekali, dilakukan Gerald sesuka hati.
“Mau kamu apa, Ge?” suara Agnes tampak bergetar.
“Mauku? Kamu keluar dari sini.” Ia menekan tajam untuk bagian yang selalu diharapkan Gerald.
Agnes menggeleng tegas.
Ia sudah berusaha sebaik mungkin sejak satu hari lalu, mengumpulkan beberapa bukti dan keyakinan akan diberikan kesempatan sekali lagi. Karena Agnes meyakini kinerjanya tidaklah buruk setelah akan genap enam bulan di sini.
“Kamu egois dan kamu semena-mena dengan jabatan barumu. Apa kamu pikir, aku karyawan baru dalam hitungan hari? Selama enam bulan aku berada di sini dan baru minggu lalu ... aku mengetahui kamu anak dari pemilik resort ini, lalu berakhir dengan masalahku selalu dipandang cacat sama kamu,”
“Seharusnya bagus, kan? Kamu bisa sadar kalau kamu nggak perlu ada di sini, satu ruang rapat dan beberapa hal lain yang memungkinkan aku sama kamu dalam keadaan yang sama? Karena dari awal aku membenci kehadiran kamu.”
“Aku masih membiarkan kamu pergi dari resort ini tanpa mengganti uang ganti rugi.”
“Nggak. Aku masih memiliki anak yang harus kupertahankan kehidupannya. Kesempatanku masih ada untuk berada di sini, dilihat dari track record.”
“Aku bakal bertanggungjawab untuk kesalahanku, tapi kasih aku kesempatan sekali lagi.”
Ucapan tegas Agnes menghadirkan tarikan senyum Gerald di sudut bibirnya. “Ini artinya, kamu harus tidur denganku.”
Agnes membeku, merasa ucapan Gerald dua hari lalu hanyalah bualan dan ia merasa pria itu tidak akan pernah melakukannya sama sekali.
“Kamu ....”
“Kenapa? Lupa? Kamu udah nggak terikat sama pria mana pun. Kenapa harus kelihatan kaget dan takut? Siapa yang akan marah?”
“Bukannya kamu juga udah nggak ada harga diri lagi?” tanya dirut itu sekali lagi.
Tubuh Agnes gemetar.
Dadanya bergemuruh kuat kembali diberi luka oleh Gerald. “Apa di mata kamu, aku memang nggak ada harga dirinya lagi, Ge, meskipun kita pernah bersama di masa lalu?”
Pertanyaan tersebut memantik kebencian Gerald.
Rahang pria itu mengetat dan wajah Gerald berubah menggelap. Kedua tangan pria itu mengepal di atas meja bersama deru napas melihat sorot terluka yang dilayangkan Agnes.
“Satu luka yang aku goreskan ke kamu. Tapi lebih dari satu luka yang kamu kasih ke aku? Seburuk itu aku di mata kamu, Ge?”
“Sangat tepat. Karena aku ingin menghancurkan tubuh dan perasaan kamu mulai detik ini, Agnes.”
“Hanya ada dua pilihan.”
“Pergi dari jabatan yang sudah kamu ambil selama hampir enam bulan ini. Atau tidur denganku semalam.”
“Karena perempuan murahan, selayaknya diperlakukan serupa.”
Gerald menilik Agnes dengan tatapan merendahkan.
“Pengkhiatan kamu aku balas dengan kenikmatan. Aku rasa itu nggak buruk dan justru ... menjadi keuntungan tersendiri buat kamu yang nggak pernah disentuh pria manapun lagi.”
**
“Pengkhiatan kamu aku balas dengan kenikmatan.” Agnes menangis di pinggir pantai. Deburan ombak tidak akan membuat tangisnya sampai terdengar orang lain. Ia sendiri. Memeluk kedua lutut dan membiarkan angin malam menusuk kulit tubuhnya yang hanya memakai dress selutut. Kedua bahu Agnes berguncang. Perempuan itu menenggelamkan wajah di antara lutut, merasa kalimat perih itu menggema di telinganya. Pria yang berstatus Atasannya begitu kuat ini menghancurkan diri Agnes. Gerald seolah ingin membuka masa lalu di antara keduanya dan di saat itu ... menjadi titik rendah kehidupan percintaan Agnes. Luka delapan tahun lalu, ternyata tidak mengering sempurna. “Aku nggak pernah ingin menyakiti perasaan kamu, Ge,” lirih Agnes terisak. Sorot nanar itu menatap kejauhan pantai malam hari. Keadaan di sekitarnya jauh dari hiruk pikuk keramaian. Mereka semua berada di sisi kiri Agnes, lebih dari seratus meter dengan lampu dan suasana meriah. Beberapa fasilitas yang memang kerap diisi turis se
“Mama ....” Kedua sudut bibir Agnes tertarik sempurna. Ia melambai penuh haru di layar ponsel miliknya. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, merespons luar biasa dari panggilan khas putra kecilnya. “Sayangnya Mama,” balas perempuan itu nyaris berbisik. Pandangannya sedikit berkabut, tapi berakhir dengan tawa kecil yang terasa getir. Melihat Irvin—si pemilik manik biru—mengingatkan Agnes pada luka beberapa hari lalu. Lebih tepatnya saat ia harus mendapati risiko datang terlambat dan menjadi bagian yang harus dihancurkan Gerald, termasuk membawa anaknya dalam permasalahan ia dan Gerald secara pribadi. “Anak lo kelewat tampan, Nes.” Agnes menoleh sekilas, lalu mengangguk dengan senyum manisnya pada layar ponsel. Putra kesayangannya tengah di gendong babysitter yang sudah menemani Irvin hampir satu tahun ini. “Iya, dong, Fi. Anak gue blasteran gini, udah pasti harus tampan,” cetusnya ikut memuji si rambut coklat gelap di seberang sana. Fiani mengulum senyum. Kedua perempuan itu b
“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”Titania muak dengan
Kamar Gerald dalam keadaan temaram. Suasana itu menyambut kedatangan Agnes dalam balutan mantel panjang. Keadaan terbatas tidak membuat Agnes sulit memandang kamar Gerald yang terkesan luas.Ini kali pertama ia memasuki kamar pemilik resort dan pria yang menemani masa lalunya.Agnes menguatkan hati dan pikiran. Ia memosisikan diri sebagai orang yang diinginkan Gerald. Sekalipun ada rasa perih yang kembali hadir, lalu semakin besar saat langkahnya berada di dekat Gerald.Perempuan itu harus melakukannya dalam satu malam saja, kan? Seharusnya cukup mudah dan Agnes akan melupakan semuanya.Gerald tersenyum miring sambil menenggak wine di sofa sisi ranjang. Ia hanya menunggu setelah mempermudah akses mantan kekasihnya masuk ke unit tanpa mengunci.Lamat-lamat, kening Gerald mengernyit dari balik minuman yang ia tenggak untuk kali ketiga. Ia bisa melihat tatapan tajam Agnes, disusul senyum miring perempuan semampai itu.Temaram dari gorden yang setengah terbuka memperlihatkan raut dewasa d
“Anak Mama!”Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K